IKAN BAKAR — Menikmati ikan bakar di pantai Kupang (1997) bersama Bildad (paling kiri), Paul Bolla dan pasangannya, kemudian Ana Jukana, Peter A Rohi, dan Hans Christian Louk. Ikan termasuk murah di Kupang, terutama kalau kita mau beli langsung dari nelayan pas mereka naik dari laut. Ikan segar itu langsung dibersihkan dengan air laut, dibakar, disantap. Gurih sekali.
Buku Kiriman Dion
“KAKA.. Ini be kirim buku 15 Tahun Pos Kupang. Baca sudah! Tapi jang bilang-bilang orang laen. Be cuma bawa beberapa sa untuk ketong pung teman yang perna di Kupang, na!”
ITULAH yang dibisikkan Dion Dosi Bata Putra, Pemimpin Redaksi Pos Kupang
di sela-sela Rapat Kerja pimpinan koran-koran daerah Persda di Ciater,
Subang, Jawa Barat, 5 Desember 2007. Ia merogoh ransel, mengeluarkan
buku bersampul biru.
Saat membacanya kemudian, saya tersedot kembali ke Kupang. Kembali ke masa-masa belajar dari para guru, mulai dari Bildad sampai Pius Rengka. Dari pendeta Paul Bolla, sampai Pater Jan Menjang (alm). Dari Daniel Rattu sampai guru besar Damyan Godho, dan masih banyak nama lagi yang harus saya sebut dengan rasa hormat karena telah begitu bermurah hati membagikan ilmu mereka.
Saya teringat kembali ketika untuk pertama
kali menjejakkan kaki di Pulau Karang itu pertengahan tahun 1995. Apa
yang disaksikan lewat jendela pesawat, tanah tandus kecoklatan dengan
tonjolan-tonjolan karang, jadi lebih nyata beberapa saat setalah
mendarat di bandara El Tari.
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Domu Warandoy dan Evi H Pello
yang menjemput saya, menunjukkan tempat-tempat di kiri kanan jalan yang
kami lalui. Aduh! Tak terbayangkan bagaimana sulitnya mengembangkan
koran di tempat seperti ini. Tempat di mana beli dan baca koran entah
jadi prioritas keberapa dalam kehidupan sehari-hari warganya.
Pertama terbit 1 Desember 1992, sampai saat itu (1995) Pos Kupang
terbit teratur sebagai koran harian berformat tabloid delapan halaman.
Ya, tabloid. Ya, cuma 8 halaman. Atau setara dengan selembar koran broadsheet! Dicetak hitam-putih, dengan logo POS KUPANG di
kiri atas. Jadi, meskipun “setebal” delapan halaman, koran ini jadi
tipis jika selesai dibaca langsung kita lipat-lipat, masuk saku.
Sekarang, setelah berusia 15 tahun, tentu saja Pos Kupang tidak
seperti dulu lagi. Ia terbit dalam bentuk broadsheet 16 halaman, dengan
empat halaman warna. Ia pun sudah melakukan cetak jarak jauh di Ende
dan di Maumere (Flores) di seberang laut. Nah, buku kiriman Dion itu
antara lain berkisah tentang jejak langkah perjalanan Pos Kupang.
Ada testimoni dari pada pelaku, maupun
mantan pelaku (banyak yang sudah berhasil di berbagai bidang, baik di
NTT maupun di ibu kota dan di daerah lain), dan lebih banyak lagi berisi
telaah mengenai peran Pos Kupang
pada berbagai sisi kehidupan masyarakat di provinsi itu. Tokoh
masyarakat, ilmuwan, kaum rohaniwan, kalangan birokrat, mantan pejabat
dan lain sebagainya menuliskan pandangan kritis mereka terhada surat
kabar ini.
Dus, meski buku ini diterbitkan menandai 15
tahun surat kabar itu, ia terhindar dari kesan sebagai kecap dapur yang
biasanya lebih banyak berisi puji-pujian atas diri sendiri. Ia sekaligus
jadi referensi yang cukup bernas mengenai perkembangan pers dan
perannya di dalam kehidupan masyarakat setempat.
Tapi, bagi saya, buku itu seakan membawa
saya kembali ke Kupang. Melalui buku ini, saya “bertemu” lagi dengan
para guru yang luar biasa gairahnya membangun koran di negeri kering dan
serba minim. Saya “bertemu” lagi dengan Pius Rengka yang kata-katanya luar biasa tajam, kokoh, dan indah.
“Bertemu” lagi dengan Hans Ch Louk yang
ramah, suaranya pelan dan seperti tak pernah punya marah, namun
tulisan-tulisannya lugas dan menyentak. “Betemu” lagi dengan pak
pendeta, Yulius O Lopo yang kini jadi direktur pemberitaan Top TV Papua. Kepada merekalah –tentu pula dengan Dion dan Om Damyan Godho yang jadi tokoh sentral Pos Kupang–
saya belajar banyak bagaimana gairah, ruh, spirit, bahu-membahu untuk
menjalankan sebuah niat, membangun koran. Dan, mereka berhasil.
Santap malam sebelum rapat kerja: “Ai Kaka… di Bandung, nasi pun berpayung ko? “
***
SAYA masih ingat betul, bagaimana sulitnya merekrut tenaga wartawan. Ketika itu, Pos Kupang baru saja ditinggal “bedol desa” oleh sejumlah wartawan dan redakturnya yang ikut Valens Goa Doy yang diberi kepercayaan mengelola Berita Yuda versi baru. Belakangan, proyek Berita Yuda itu tak berlanjut.
Rekrutmen pertama, berhasil menghimpun
kemudian menyaring calon wartawan. Empat orang! Kami melatihnya secara
penuh, kelas dan lapangan. Sampai akhir masa pelatihan, tak ada satu pun
yang memadai. Bisa dipaksakan, tapi akan menyiksa mereka sendiri dan
mungkin mengganggu sistem. Maka, buka lagi rekrutmen. Hasilnya, nihil
lagi.
Toh, akhirnya dapat juga. Itu setelah
berlangsung rekrutmen “ronde” ketiga. Dari sejumlah pelamar yang masuk
dan lulus testing, kali ini tampak bibit-bibit yang sangat potensial.
Dan terbukti, sebagian di antara mereka kini menduduki posisi-posisi
penting di Pos Kupang. Satu dua lainnya, juga jadi tokoh jurnalis di luar Pos Kupang.
Itu dari satu sisi, SDM. Sisi lain,
infrastruktur, jalur distribusi, persebaran penduduk di puluhan pulau,
adalah tantangan lain yang hanya akan bisa diterobos dengan gairah yang
dimiliki para awak Pos Kupang. Jika tidak, koran itu mungkin kini
tinggal nama, bukan lagi jadi satu pilar yang kokoh dalam kehidupan
demokrasi dan bisnis di NTT sebagaimana sosoknya yang tampak hari-hari
ini.
Sebelum belajar ke Pos Kupang, saya sudah “sekolah” di Bandung (Bandung Pos, Mingguan Pelajar, Salam, dan kemudian Mandala – saat koran ini digandeng Kelompok Kompas-Gramedia), di Yogya (Bernas), di Palembang (Sriwijaya Post).
Sarana, fasilitas dan infrastruktur di koran-koran itu boleh dibilang
termasuk sederhana untuk ukuran sebuah industri koran di Jawa dan
Sumatera saat itu. Tapi, begitu masuk ke Pos Kupang, saya seperti sedang menyaksikan dan ikut dalam sebuah gegar tekonologi (jika istilah ini ada).
Sampai pada proses pracetak, infrastruktur Pos Kupang tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang digunakan di Bernas. Tapi begitu masuk proses cetak, ya ampun. Saya seperti terlontar ke masa silam. Masa sekitar tahun 70-an, manakala saya sering ngintil paman saya mengantarkan naskah untuk korannya ke percetakan Ganaco NV di Bandung. Itu pun, mesinnya sudah agak lebih “modern” dibanding dengan yang digunakan Pos Kupang.
Sebagai ilustrasi, untuk mencetak 3000-4000 Pos Kupang
saat itu, kami membutuhkan waktu antara 6-7 jam! Selain mesin, puluhan
orang –tetangga sekitar– juga terlibat dalam penerbitan surat kabar ini.
Tiap pagi, mulai pukul 03.00 belasan orang berderet di meja lipat di
sisi lain percetakan. Ya, mereka jadi juru lipat dan juru sisip koran
tabloid “setebal” delapan halaman itu!
Itu jika mesin tidak ngadat. Namanya mesin
sepuh yang “berpengalaman” panjang, tentu pula acapkali macet. Ada saja
gangguannya. Sampai-sampai pernah Om Damy meminta khusus pastor
memberkati mesin itu. Menyembahyangi, kemudian memercikkan air suci.
Toh, mesin tak jua mau kompromi, sesekali
penyakitnya datang lagi. Sampai sekali waktu, Om Damy mendatangkan
paranormal untuk –jika ada– mengusir demit penyakit yang ngendon di itu
mesin. Upacara pun digelar di lantai pelat baja sisi mesin. Potong ayam
dan mengucurkan darahnya di lantai. Lalu ditaruhlah telur di atas
genangan kecil darah itu. Beberapa saat kemudian, darah terserap entah
ke mana!
Paranormal itu bermeditasi, merapal mantra,
lalu bangkit bergerak ke arah mesin. Ia menunjuk sebuah titik hitam di
sisi luar dinding mesin itu. Mengorek-ngoreknya sebentar, dan…. seperti
ujung rambut, sepotong kawat mencuat. Ditariklah kawat itu, ternyata
panjang. Seperti terkait ke suatu mekanisme di dalam mesin.
Dan ternyata, mesin itu tetap saja dengan
sifat tuanya. Sesekali masih ngadat dan ogah mencetak. Jika sudah
begini, tak ada jalan lain kecuali memindahkan cetakan ke Percetakan
Negara Republik Indonesia (PNRI) milik Deppen setempat.
Tapi, bagi saya, “pastor” maupun “pawang” mesin itu yang sesungguhnya adalah Ign Setya Mudya Rahartono (kini mengepalai unit cetak Pos Kupang). Putra Yogya inilah yang dengan telaten ngopeni mesin peninggalan zaman “purba” itu hingga mampu mengantar Pos Kupang menuju masa-masa kejayaan.
Tokoh lain yang menurut saya berperan besar adalah Bildad yang berhasil memegang kunci pengelolaan infrastruktur teknologi informatika Pos Kupang.
Yang mengagumkan saya dari Bildad, adalah dia belajar secara otodidak
mengenai IT. Pada masa itu, di Kupang belum ada lembaga, bahkan sebatas,
kursus mengenai komputer/IT. Ilmu yang berhasil dikuasasinya ternyata
menjadi tulangpunggung kelancaran proses kerja penerbitan surat kabar di
Tanah Timor itu.
Selain soal mesin dan keterbatasan
infrasutrktur pendukung, kertas juga jadi masalah utama, karena sangat
tergantung pada pengriman dari Surabaya. Kapal pengirim, tergantung
cuaca. Pernah sekali waktu, proses pracetak sudah rampung, tapi
percetakan tak bisa bergerak karena kertas habis. Kiriman belum masuk
karena kapal tertahan jauh dari pelabuhan. Belum bisa merapat.
Maka, menjelang tengah malam, Om Damy dan
Domu melesat ke seantero pojok kota Kupang, menggedori toko yang menjual
kertas ukuran plano. Dapat! Beberapa rim, cukup untuk oplaag hari itu.
Mesin cetak pun bergerak. Dan hari itu Pos Kupang terbit
warna warni. Kertasnya, yang warna warni! Ada yang warna telur-asin,
hijau muda, kuning muda, putih, ada yang gabungan antara kertas putih
dan warna lain!
Hebatnya, koran itu tetap laris dibeli orang!
***
Usai rapat kerja, 6 Desmber 2007, singgah ke Tribun Jabar. Ayo foto bersama! ajak Dion. Klik, dan di antara “kebersamaan” itu, cuma satu orang yang melirik ade nona! Hehehehehe…. Atas: Sempat pula pi pesiar sambil borong abis macam-macam barang. Saya diapit Dion dan Daud (Pemimpin Perusahaan Pos Kupang)
***
ITU cuma sekelumit dari gambaran nyata keadaan saat itu. Kini cerita itu tentu tinggal kenangan. Para kerabat kerja Pos Kupang
telah mulai mereguk hasil kerja keras mereka yang tiada henti. Koran
ini sudah mendarah daging dan jadi bagian hidup warga NTT, menjadi ruh
informasi mereka, menjadi penerang, jadi penggerak opini publik, jadi
pengontrol yang awas dan dipercaya.
Dion yang kini jadi pemimpin redaksi koran itu selalu
bersemangat saat menceritakan, membandingkan dan menggugat, jika kami
sedang rapat kerja, setidaknya setahun sekali. Keadaan sekarang, mungkin
sudah jauh berubah. Setidaknya, sarana, fasilitas, dan infrastruktur
pendukung, mungkin sudah lebih baik dibanding 12-15 tahun silam.
Tapi, tentu segalanya masih jauh tertinggal oleh
perkembangan yang terjadi di daerah-daetah lain di luar NTT, terutama di
Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Toh Dion Cs tetap dalam
spiritnya, tetap dalam gairah yang sama dengan saat-saat saya mulai
berguru kepada mereka 12 tahun silam. Hebat!
Buku yang dihadiahkannya itu sedikit mengobati kerinduan
saya untuk menghirup kembali udara Kupang. Setidaknya, lewat buku itu
saya bertemu dan “mendengar ” pembicaraan mereka, tidak saja mengenai Pos Kupang, melaikan mengenai hal-hal lain yang ingin saya ketahui dalam konteks kekinian.
Terimakasih, Dion. Terimakasih Om Damyan Godho. Terimkasih para guru besar saya di Kupang !! **
“Orang Bandung cuma makan daun ko, Kaka?”