Oleh Dion DB Putra
SEKITAR lima menit saya tak sanggup berkata-kata ketika Bapak Marcel Weter Gobang, Wakil Pemimpin Umum Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang menginformasikan kabar duka itu, Selasa malam tanggal 3 Mei 2005. "Dion, Pak Valens Doy sudah tidak bersama kita lagi."
"Dion, Om-mu sudah pergi," cuma itu kata-kata yang keluar dari mulut Bapak Damyan Godho, Pemimpin Umum Pos Kupang dari balik telepon. Saat menelepon, Om Damy (begitu sapaan akrab pimpinan saya itu) berada di kamar Jenazah RS Sanglah-Denpasar. Kecuali pernah menjadi rekan kerja yang sama-sama merintis berdirinya Pos Kupang tahun 1992, hubungan antara Damyan Godho dan Valens Goa Doy sangat erat. Mereka adalah keponakan dan paman.
Om Valens meninggal dunia sekitar pukul 21.30 Wita, Selasa 3 Mei 2005. Ah, perasaan yang gundah-gulana sejak hari Minggu, 1 Mei 2005 menjadi kenyataan. Hari itu saya menerima pesan singkat (SMS) dari Alberth Djoko, mantan murid Om Valdo di Harian Surya Surabaya. "Mas Dion, Om Valens kena serangan jantung di Denpasar. Kata dokter tak ada harapan. Kita berdoa semoga Om cepat baikan lagi. Tolong teruskan kepada teman-teman..." Begitu pesan Alberth.
Belum sempat SMS itu kulanjutkan, datang beruntun 12 SMS dengan pesan serupa dari mantan anak buah sekaligus murid-murid Om Valens yang saat ini bekerja di hampir semua media cetak dan elektronik di Jakarta maupun di kota-kota lainnya di Indonesia. Kabar sakitnya Om Valens sungguh mengiris perasaan kami, anak-anak yang pernah dia asuh menjadi jurnalis.
Hari Senin (2/5/2005) petang kabar menggembirakan datang dari Herry Prabowo. Herry mengirim SMS kepada Hyeronimus Modo, Redaktur Pelaksana SKH Pos Kupang. Hery, anak didik Om Valens yang langsung terbang dari Jakarta ketika mendengar Om masuk RS Sanglah itu menulis pesannya bahwa masa kritis Om Valens sudah berakhir. Kondisinya semakin membaik.
Kami gembira mendapat kabar itu. Ketika Viktus Murin, Redaktur Harian Proaksi-Jakarta menelepon pada Selasa 3 Mei 2005 sekitar pukul 19.00 Wita menanyakan kondisi terakhir beliau, saya mengabarkan bahwa Om sudah membaik. Tapi sekitar sejam kemudian datang lagi SMS yang mengejutkan. "Kondisi Om Valens drop lagi, mohon doanya."
Saya sungguh tidak tenang saat berdiskusi dengan teman-teman di ruang rapat redaksi. Perasaan tak karuan. Dan, telepon dari Om Marcel Gobang melahirkan air mata. Akhirnya Om Valens benar-benar meninggalkan kita semua.
***
PENGALAMAN paling berkesan saat bekerja dengan Om Valens adalah semangatnya dalam mendidik wartawan. Keras, disiplin tinggi tapi penuh kebapaan. Saya bersyukur bersama rekan-rekan seperti Yulius Lopo (kini Pemred Timika Pos), Azis Tokan (Kepala Biro LKBN Antara Kupang), Paul Burin, Viktus Murin, Benny Dasman, Ferry Jahang, Mariana Dohu, Etty Turut, Niko Sine, Evie Harzufri Pello, Paul Bola dan lainnya pernah menjadi muridnya antara tahun 1992-1994 di Pos Kupang (koran harian pertama di Propinsi NTT).
Sebagai anak muda saat itu -- usia saya belum genap 23 tahun -- saya terkaget-kaget ketika mendapat binaannya. Selama dua bulan dididik menjadi calon wartawan Pos Kupang, kenangan mendalam adalah pelajaran soal deskripsi. Selama tiga hari berturut-turut saya disuruh mendeskripsikan patung Komodo di taman depan Kantor Gubernur NTT.
Deskripsiku tak pernah benar. Dalam sehari lebih dari lima kali disuruh ke lokasi yang sama, mengerjakan hal yang sama. Baru pada hari ketiga dan laporan deskripsi yang kesekian kalinya, Om Valens berkata, "You lulus deh!"
Dalam mendidik, Om Valens tidak pernah setengah-setengah. Dia total dan tak memberi ruang untuk wartawan yang cengeng, gampang mengeluh dan merasa sudah pintar dan sok tahu! Saya pernah dibentak ketika menangis di ruang redaksi Pos Kupang di Jl. Soeharto No. 53 (kini Hotel Sylvia-Kupang) pada tanggal 12 Desember 1992.
Sekitar 20 menit setelah gempa dan tsunami meluluhlantakkan Flores, saya menangis karena mengingat nasib orangtua saya di Ende. Komunikasi telepon putus total sehingga tidak tahu bagaimana nasib mereka. Saya ingat ayah yang sedang sakit (stroke). Jangan-jangan gempa dan tsunami itu telah merenggut nyawanya.
"Kenapa kau ini? Jadi wartawan bukan untuk keluarga. Kalau ingat keluarga, berhentilah sekarang. Ayo, berangkat. Pantau situasi Kota Kupang! Cari informasi sebanyak-banyaknya tentang gempa," kata Om Valens dengan nada tinggi. Sambil menghapus air mata, saya dan teman-teman bergegas keluar. Saya meluncur menuju Kantor Gubernur NTT dan gedung DPRD di Jl. El Tari Kupang. Ternyata benar, ada retak-retak di kantor gubernur dan gedung wakil rakyat.
Hampir sebulan penuh pada masa emergency ketika itu tugas saya siang malam berada di Posko Satkorlak PBA di Kantor Gubernur NTT, persisnya di ruang kerja Biro Binsos. Melaporkan perkembangan detik demi detik tentang gempa Flores.
Setiap hari saya "piket" di sana hingga pukul 01.00 dinihari, bersamaan dengan deadline Pos Kupang. Kata-kata Om Valens "menjadi wartawan bukan untuk keluarga" saya abadikan dalam skripsiku ketika menyelesaikan studi di FIA Undana Kupang tahun 1995. Kata-kata itu sungguh bernas nilainya.
Pria kelahiran Boawae, Kabupaten Ngada, Flores (NTT) 2 Agustus 1944 itu teliti, cermat bahkan cenderung perfeksionis. Kejuaraan sepakbola Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat adalah kesempatan emas saya belajar dari almarhum dalam hal menulis sepakbola.
Saya pernah berdebat hebat dengan Om Valdo -- kami kerap menyapanya demikian -- soal gol pemain bintang Swedia, Thomas Brolin ke gawang Rumania pada babak perempatfinal di Stadion Stanford, San Fransisco-AS, hari Minggu 10 Juli 1994 atau Senin, 11 Juli 1994 waktu Indonesia.
Saya ngotot bahwa gol Brolin ke gawang Rumania 11 menit sebelum pertandingan berakhir ditembak dengan kaki kirinya. "Ah, sompret lu. You salah melihat kakinya. Dion, jadilah wartawan bukan penonton atau penggemar bola," kata si Om.
Saya bersikeras bahwa penglihatan saya benar. Om Valens mengajak nonton rekaman ulang dan beliau benar. Brolin menaklukkan kiper Rumania, Florin Prunea dengan kaki kanan. Skor 1-1 dan Swedia lolos ke semifinal setelah menang 5-4 dalam drama adu penalti. Saya tersipu malu karena ditelanjangi oleh perasaan sok tahu dan merasa benar sendiri.
Pesan Om Valens itu sangat berarti bagi karir jurnalistik saya sampai sekarang. Bahwa pembaca Pos Kupang kemudian mengenal saya sebagai penulis sepakbola yang baik dan digemari (tidak bermaksud menyombongkan diri) -- tidak bisa tidak karena peran seorang Valens Goa Doy. Saya belajar khusus mengenai gaya tulisannya, diksi (pilihan kata) yang manis, indah, lugas dan mengesankan. Plot dalam merangkai jalan cerita yang utuh.
Pilihan kata Om Valens dalam tulisannya selalu tepat sasaran karena berisi, penuh rincian dan proporsional. Om Valens tidak berniat menggurui. Dia membuka wawasan dan argumentasi, menawarkan solusi.
Seperti pengakuan Hendry Ch Bangun (dalam Elegi bagi Valens Doy, Kompas, 6 Mei 2005), saat ini hampir tidak mudah lagi menemukan tulisan seperti karya Om Valens meski jumlah wartawan olahraga dan halaman olahraga di media cetak jauh lebih banyak ketimbang di masa dia berkarya. Berita olahraga di "zaman televisi" ini penuh dengan angka dan data statistik yang kering. Tanpa jiwa. Merosot jauh sisi keindahannya.
Ketika pembaca Kompas berteriak nyaring karena kolumnis terkemuka Sindhunata jarang menulis pada perhelatan Euro 2004, misalnya, fakta itu sekadar menunjukkan betapa olahraga tidak sekadar data dan angka. Olahraga menyentuh sisi kemanusiaan yang utuh. Bukan cuma menang kalah, beruntung atau tidak beruntung. Dan, Valens Goa Doy mewariskan hal itu kepada pers Indonesia.
*** Sebagai anak muda saat itu -- usia saya belum genap 23 tahun -- saya terkaget-kaget ketika mendapat binaannya. Selama dua bulan dididik menjadi calon wartawan Pos Kupang, kenangan mendalam adalah pelajaran soal deskripsi. Selama tiga hari berturut-turut saya disuruh mendeskripsikan patung Komodo di taman depan Kantor Gubernur NTT.
Deskripsiku tak pernah benar. Dalam sehari lebih dari lima kali disuruh ke lokasi yang sama, mengerjakan hal yang sama. Baru pada hari ketiga dan laporan deskripsi yang kesekian kalinya, Om Valens berkata, "You lulus deh!"
Dalam mendidik, Om Valens tidak pernah setengah-setengah. Dia total dan tak memberi ruang untuk wartawan yang cengeng, gampang mengeluh dan merasa sudah pintar dan sok tahu! Saya pernah dibentak ketika menangis di ruang redaksi Pos Kupang di Jl. Soeharto No. 53 (kini Hotel Sylvia-Kupang) pada tanggal 12 Desember 1992.
Sekitar 20 menit setelah gempa dan tsunami meluluhlantakkan Flores, saya menangis karena mengingat nasib orangtua saya di Ende. Komunikasi telepon putus total sehingga tidak tahu bagaimana nasib mereka. Saya ingat ayah yang sedang sakit (stroke). Jangan-jangan gempa dan tsunami itu telah merenggut nyawanya.
"Kenapa kau ini? Jadi wartawan bukan untuk keluarga. Kalau ingat keluarga, berhentilah sekarang. Ayo, berangkat. Pantau situasi Kota Kupang! Cari informasi sebanyak-banyaknya tentang gempa," kata Om Valens dengan nada tinggi. Sambil menghapus air mata, saya dan teman-teman bergegas keluar. Saya meluncur menuju Kantor Gubernur NTT dan gedung DPRD di Jl. El Tari Kupang. Ternyata benar, ada retak-retak di kantor gubernur dan gedung wakil rakyat.
Hampir sebulan penuh pada masa emergency ketika itu tugas saya siang malam berada di Posko Satkorlak PBA di Kantor Gubernur NTT, persisnya di ruang kerja Biro Binsos. Melaporkan perkembangan detik demi detik tentang gempa Flores.
Setiap hari saya "piket" di sana hingga pukul 01.00 dinihari, bersamaan dengan deadline Pos Kupang. Kata-kata Om Valens "menjadi wartawan bukan untuk keluarga" saya abadikan dalam skripsiku ketika menyelesaikan studi di FIA Undana Kupang tahun 1995. Kata-kata itu sungguh bernas nilainya.
Pria kelahiran Boawae, Kabupaten Ngada, Flores (NTT) 2 Agustus 1944 itu teliti, cermat bahkan cenderung perfeksionis. Kejuaraan sepakbola Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat adalah kesempatan emas saya belajar dari almarhum dalam hal menulis sepakbola.
Saya pernah berdebat hebat dengan Om Valdo -- kami kerap menyapanya demikian -- soal gol pemain bintang Swedia, Thomas Brolin ke gawang Rumania pada babak perempatfinal di Stadion Stanford, San Fransisco-AS, hari Minggu 10 Juli 1994 atau Senin, 11 Juli 1994 waktu Indonesia.
Saya ngotot bahwa gol Brolin ke gawang Rumania 11 menit sebelum pertandingan berakhir ditembak dengan kaki kirinya. "Ah, sompret lu. You salah melihat kakinya. Dion, jadilah wartawan bukan penonton atau penggemar bola," kata si Om.
Saya bersikeras bahwa penglihatan saya benar. Om Valens mengajak nonton rekaman ulang dan beliau benar. Brolin menaklukkan kiper Rumania, Florin Prunea dengan kaki kanan. Skor 1-1 dan Swedia lolos ke semifinal setelah menang 5-4 dalam drama adu penalti. Saya tersipu malu karena ditelanjangi oleh perasaan sok tahu dan merasa benar sendiri.
Pesan Om Valens itu sangat berarti bagi karir jurnalistik saya sampai sekarang. Bahwa pembaca Pos Kupang kemudian mengenal saya sebagai penulis sepakbola yang baik dan digemari (tidak bermaksud menyombongkan diri) -- tidak bisa tidak karena peran seorang Valens Goa Doy. Saya belajar khusus mengenai gaya tulisannya, diksi (pilihan kata) yang manis, indah, lugas dan mengesankan. Plot dalam merangkai jalan cerita yang utuh.
Pilihan kata Om Valens dalam tulisannya selalu tepat sasaran karena berisi, penuh rincian dan proporsional. Om Valens tidak berniat menggurui. Dia membuka wawasan dan argumentasi, menawarkan solusi.
Seperti pengakuan Hendry Ch Bangun (dalam Elegi bagi Valens Doy, Kompas, 6 Mei 2005), saat ini hampir tidak mudah lagi menemukan tulisan seperti karya Om Valens meski jumlah wartawan olahraga dan halaman olahraga di media cetak jauh lebih banyak ketimbang di masa dia berkarya. Berita olahraga di "zaman televisi" ini penuh dengan angka dan data statistik yang kering. Tanpa jiwa. Merosot jauh sisi keindahannya.
Ketika pembaca Kompas berteriak nyaring karena kolumnis terkemuka Sindhunata jarang menulis pada perhelatan Euro 2004, misalnya, fakta itu sekadar menunjukkan betapa olahraga tidak sekadar data dan angka. Olahraga menyentuh sisi kemanusiaan yang utuh. Bukan cuma menang kalah, beruntung atau tidak beruntung. Dan, Valens Goa Doy mewariskan hal itu kepada pers Indonesia.
SEKADAR itukah warisan Valens Goa Doy? Tidak bung! Bagi orang-orang yang bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (KKG) seperti saya, nama Valens Goa Doy identik dengan koran-koran daerah KKG selain ikut membidani lahirnya media olahraga seperti tabloid Bola yang kini telah melahirkan banyak 'anak' bahkan 'cucu'.
Setidak-tidaknya selama enam tahun, antara tahun 1988 dan 1994, Om Valens Doy dipercayakan oleh pemimpin puncak KKG untuk melobi pemilik koran-koran terbitan luar Jakarta agar bersedia bergabung atau bekerja sama dengan KKG.
Hal ini dilakukan sesuai imbauan pemerintah (Departemen Penerangan/Deppen), kala itu, kepada pemilik koran-koran nasional yang telah mapan agar membantu koran-koran kecil di daerah-daerah yang hidup enggan mati tak mau. Di antara koran-koran daerah itu, ada yang bergabung dengan mengalihkan sebagian sahamnya kepada KKG, dan ada yang hanya meminta bantuan kerja sama dalam pembenahan manajemennya baik di bidang redaksi maupun bisnisnya.
Di bawah payung PT Indopersda Primamedia -- Divisi Pers Daerah KKG --, sejak 1988, beberapa koran daerah yang bergabung dan bekerja sama dengan KKG itu adalah Harian Serambi Indonesia di Banda Aceh, Harian Sriwijaya Post di Palembang-Sumatra Selatan, Harian Surya di Surabaya, Jawa Timur, Harian Bernas di Yogyakarta, Harian Pos Maluku di Ambon dan Migguan Tifa Irian di Jayapura, Irian Jaya (sekarang Papua).
Satu per satu masuknya koran-koran daerah itu ke dalam KKG membuat Om Valens Doy melanglang buana dari satu daerah ke daerah lain. Pada tahun 1988, Om Valens bersama timnya berangkat dari Jakarta menuju Aceh untuk membenah Harian Serambi Indonesia di Banda Aceh. Dari Aceh, pada tahun yang sama, ia bersama timnya menuju Palembang di Sumatra Selatan untuk membenahi Harian Sriwijaya Post.
Pada tahun berikutnya, Om Valens (ada juga muridnya memanggil Om Kribo) menuju Surabaya untuk menata kembali Mingguan Surya milik Harmoko yang bergabung dengan KKG. Mingguan Surya resmi berubah menjadi harian, terbit setiap hari, sejak 10 November 1989. Di Surabaya, ia memimpin Harian Surya hingga sekitar medio Februari 1991. Dan, sejak Februari 1991 ia ditarik ke Jakarta memimpin Divisi Pers Daerah KKG.
Selain sebagai salah seorang perintis berdirinya SKH Pos Kupang tahun 1992, pada awal tahun 1993 bersama Salvador J Ximenes, Valens Goa Doy juga mendirikan Harian Suara Timor Timur (STT) di Dili, ibu kota Propinsi Timor Timur kala itu. Harian itu bertahan hingga sekarang dengan nama baru, Suara Timor Lorosae. Pers Timor Leste adalah pers warisan Valens Goa Doy. Tak bisa dipungkiri sebagian besar jurnalis negara Timor Leste itu dilahirkan Valdo.
Om Valens tentunya ada di hati para jurnalis negara kecil itu.Walau tidak lagi terikat secara organik, hingga akhir hayatnya Om Valens Doy adalah konsultan koran-koran daerah KKG. Secara periodik ia memberi penajaman, membagi pengetahuan dan ilmu baru. Pengetahuannya sangat luas. Dia seolah tak pernah kehabisan ide.
Namun, sebagai manusia biasa, Om Valens Doy punya kelemahan dan keterbatasan. Di mata saya, sifat Om Valens yang murah hati mengandung kekuatan sekaligus kelemahan. Sifat murah hatinya membuat Om Valens cenderung boros. High cost, begitu kata mereka yang pernah bekerja dengan almarhum mengelola media. Tetapi hal itu juga kekuatan pribadinya.
Perhatiannya yang tulus, mengenal dengan sangat baik seluruh anak buahnya, tak kenal lelah memberi motivasi, adalah sesuatu yang tak banyak dimiliki para pemimpin media massa.
Om Valens juga dikenal sebagai tokoh yang tidak betah. Suka berpindah-pindah. Jangan pernah membayangkan Om Valdo ingin berlama-lama di suatu tempat, di suatu media yang digarapnya. Dia tidak pernah mau mengambil porsi itu. Bila suatu media sudah mulai jalan dan bertumbuh, segera ditinggalkannya kepada orang lain untuk meneruskannya.
Valens Goa Doy seolah ditakdirkan sekadar perintis, pembuka jalan, pendobrak. Om Valens bukan tipe manajer dengan kemampuan merawat atau menumbuh-kembangkan media. Padahal kalau mau, hal itu bukan sesuatu yang sulit bagi wartawan kawakan dengan kemampuan nyaris sempurna itu.
Valens Goa Doy ibarat lilin, memberi terang kepada orang lain sambil menghancurkan-menghabisi dirinya sendiri. Begitulah hidup dan karya Valens Goa Doy. Pers Indonesia kehilangan salah seorang gembala jurnalis terbaik. Selamat jalan guruku... Kurilis ulang tulisan ini (dimuat dalam buku MENJADI LILIN BAGI SESAMA, Dion DB Putra 2005) -- menjelang HUT ke-15 SKH Pos Kupang. *