Oleh Dion DB Putra
ASYIK menyerang, memainkan bola dengan sangat piawai dari kaki ke kaki, kepala ke kepala, mempertontonkan aksi individu nyaris tanpa cacat -- tetapi hasil akhir, Ajax kalah! Itulah drama paling menggetarkan dan mengharukan di Stadion De Meer Amsterdam, Rabu malam atau Kamis dini hari Wita (4/4/1996). Di hadapan publik sendiri, Danny Blind dkk tak berkutik.
Kekalahan Ajax pada masa kritis (injury time) itu - merupakan kado Paskah paling menyakitkan. Ajax yang tak pernah kalah dalam kompetisi Eropa selama dua tahun terakhir serta melahirkan prestasi monumental selama 1995 - membuat publik dunia terkesima dan heran. Rasanya seperti mimpi, Ajax ditumbangkan Panathinaikos Yunani, tim yang tak banyak dijagokan.
Kalau ditanya, siapa yang paling dikenang ribuan penggemar Ajax saat ini - maka Kryzstov Warzycha-lah orangnya. Gol anak Polandia pada menit ke-87 ini, menaifkan kebesaran Ajax. Menyimak pertandingan itu, Ajax sebenarnya tampil bagus. Ajax hampir 90 persen mendominasi jalannya pertandingan 2x45 menit itu. Sejak kick off babak pertama, permainan praktis hanya berlangsung setengah lapangan.
Kalau ada serangan Panathinaikos, cuma sesekali mengandalkan counter attack (serangan balik). Namun, di sinilah kepiawaian pelatih Panathinaikos asal Argentina, Juan Ramon Rocha. Rocha rupanya sadar benar bahwa anak buahnya menghadapi tim yang melahirkan kultur sepakbola menyerang (total football), sehingga jalan satu-satunya bermain defensif dengan menjaga risiko melakukan pelanggaran terhadap lawan sekecil mungkin.
Hal ini benar-benar tampak. Rocha memerintahkan delapan pemain untuk melakukan pertahanan total. Praktis cuma dua pemain yang agak ke depan untuk sesewaktu melakukan counter attack, yakni George Donis dan Warzycha. Playmaker asal Argentina, Juan Jose Borelli di tengah sebagai penghubung. Selebihnya tak sedikitpun berani keluar sarang. Mereka sangat disiplin menjaga zona pertahanan sekaligus man to man marking ketat tatkala lawan mengepung di luar atau dalam kotak terlarang.
Akibatnya, Patrick Kluivert, Jari Litmanen, Nwanko Kanu dan Finidi George berkali-kali gagal menembus gawang Panathinaikos yang dikawal Josef Wandzik. Meski penampilan Ajax dipengaruhi kurang fitnya jari Litmanen, Ronaldo de Boer, Edgar Davis dan Michael Reiziger yang baru pulih dari cedera, namun pasukan Louis van Gaal itu melakukan kesalahan fatal karena terjebak pola permainan lamban yang diterapkan anak asuh Ramon Rocha.
Rocha, selain melakukan pertahanan berlapis juga memperlambat tempo. Taktik ini sangat jitu, sehingga pemain-pemain Ajax yang biasanya melakukan sentuhan satu dua - menggempur tanpa henti secara sporadis ke semua lini - menjadi ompong sama sekali.
Ketika memasuki kotak penalti, para pemain Ajax suka sekali mengutak-atik bola dari kaki ke kaki. Prinsip kerjasama tim yang diinstruksikan Van Gaal tak dapat diragukan, namun akibatnya mereka kurang berani melepaskan tembakan ke gawang. Pemain-pemain Ajax tampaknya ingin mencetak gol indah, tak mau berspekulasi.
Nwanko Kanu memang mendapatkan peluang manis itu, yakni pada menit ke-20 dan 34 babak pertama. Namun, tembakannya melebar hanya beberapa senti di sisi kiri gawang Josef Wandzik. Keragu-raguan melakukan spekulasi tendangan jarak jauh juga dikarenakan Ajax memang tidak memiliki pemain khusus dengan kualifikasi penembak lini kedua (second line).
Kemampuan seperti ini, sesungguhnya ada pada Marc Overmars dan Danny Blind. Sayang, Overmars cedera sejak Desember 1995 dan mungkin absen sampai tiga bulan mendatang. Kapten Danny Blind, entah kenapa tidak pernah memanfaatkannya. Edgar Davids hanya sekali mencoba menit ke-58, tapi tendangannya melenceng jauh di samping kanan gawang.
Sisi lemah Ajax justru di sini, ketiadaan penembak second line. Mereka punya segudang striker murni, di antaranya Kanu dan Kluivert. Tetapi pertahanan berlapis Yunani, tak dapat ditembus sama sekali. Gol tunggal Wazycha menit ke-87, merupakan buah dari titik konyol sepakbola menyerang. Gol itu, harus diakui merupakan imbas dari keasyikan Ajax menyerang lalu lupa bertahan. Secara individu, Michael Reiziger patut disalahkan karena tidak disiplin menjaga wilayahnya.
Dengan hasil itu, sungguh berat perjuangan Ajax dalam pertandingan tandang di kandang Panathinaikos, 17 April mendatang. Ajax harus menang 2-0 untuk lolos ke final. Ini jelas tidak mudah, karena Panathinaikos susah dikalahkan di depan publik sendiri. Sejarah mencatat, tim tamu selalu keok di Athena. Apalagi bila Ajax tetap pada penampilan dua hari lalu, tak mungkin mampu membungkam juara Yunani itu.
Kerja agak enteng, bakal dilakoni Juventus yang menang 2-0 atas Nantes (Perancis) di kandang sendiri. Vialli dkk tinggal mencari hasil seri untuk lolos ke final di Roma 22 Mei 1996. Keruntuhan Ajax di Stadion De Meer Kamis dini hari, sekaligus mengingatkan Anda, untuk sesaat melupakan grand final impian Juventus versus Ajax. ** Dipublikasikan Pos Kupang edisi Sabtu, 6 April 1996.
ASYIK menyerang, memainkan bola dengan sangat piawai dari kaki ke kaki, kepala ke kepala, mempertontonkan aksi individu nyaris tanpa cacat -- tetapi hasil akhir, Ajax kalah! Itulah drama paling menggetarkan dan mengharukan di Stadion De Meer Amsterdam, Rabu malam atau Kamis dini hari Wita (4/4/1996). Di hadapan publik sendiri, Danny Blind dkk tak berkutik.
Kekalahan Ajax pada masa kritis (injury time) itu - merupakan kado Paskah paling menyakitkan. Ajax yang tak pernah kalah dalam kompetisi Eropa selama dua tahun terakhir serta melahirkan prestasi monumental selama 1995 - membuat publik dunia terkesima dan heran. Rasanya seperti mimpi, Ajax ditumbangkan Panathinaikos Yunani, tim yang tak banyak dijagokan.
Kalau ditanya, siapa yang paling dikenang ribuan penggemar Ajax saat ini - maka Kryzstov Warzycha-lah orangnya. Gol anak Polandia pada menit ke-87 ini, menaifkan kebesaran Ajax. Menyimak pertandingan itu, Ajax sebenarnya tampil bagus. Ajax hampir 90 persen mendominasi jalannya pertandingan 2x45 menit itu. Sejak kick off babak pertama, permainan praktis hanya berlangsung setengah lapangan.
Kalau ada serangan Panathinaikos, cuma sesekali mengandalkan counter attack (serangan balik). Namun, di sinilah kepiawaian pelatih Panathinaikos asal Argentina, Juan Ramon Rocha. Rocha rupanya sadar benar bahwa anak buahnya menghadapi tim yang melahirkan kultur sepakbola menyerang (total football), sehingga jalan satu-satunya bermain defensif dengan menjaga risiko melakukan pelanggaran terhadap lawan sekecil mungkin.
Hal ini benar-benar tampak. Rocha memerintahkan delapan pemain untuk melakukan pertahanan total. Praktis cuma dua pemain yang agak ke depan untuk sesewaktu melakukan counter attack, yakni George Donis dan Warzycha. Playmaker asal Argentina, Juan Jose Borelli di tengah sebagai penghubung. Selebihnya tak sedikitpun berani keluar sarang. Mereka sangat disiplin menjaga zona pertahanan sekaligus man to man marking ketat tatkala lawan mengepung di luar atau dalam kotak terlarang.
Akibatnya, Patrick Kluivert, Jari Litmanen, Nwanko Kanu dan Finidi George berkali-kali gagal menembus gawang Panathinaikos yang dikawal Josef Wandzik. Meski penampilan Ajax dipengaruhi kurang fitnya jari Litmanen, Ronaldo de Boer, Edgar Davis dan Michael Reiziger yang baru pulih dari cedera, namun pasukan Louis van Gaal itu melakukan kesalahan fatal karena terjebak pola permainan lamban yang diterapkan anak asuh Ramon Rocha.
Rocha, selain melakukan pertahanan berlapis juga memperlambat tempo. Taktik ini sangat jitu, sehingga pemain-pemain Ajax yang biasanya melakukan sentuhan satu dua - menggempur tanpa henti secara sporadis ke semua lini - menjadi ompong sama sekali.
Ketika memasuki kotak penalti, para pemain Ajax suka sekali mengutak-atik bola dari kaki ke kaki. Prinsip kerjasama tim yang diinstruksikan Van Gaal tak dapat diragukan, namun akibatnya mereka kurang berani melepaskan tembakan ke gawang. Pemain-pemain Ajax tampaknya ingin mencetak gol indah, tak mau berspekulasi.
Nwanko Kanu memang mendapatkan peluang manis itu, yakni pada menit ke-20 dan 34 babak pertama. Namun, tembakannya melebar hanya beberapa senti di sisi kiri gawang Josef Wandzik. Keragu-raguan melakukan spekulasi tendangan jarak jauh juga dikarenakan Ajax memang tidak memiliki pemain khusus dengan kualifikasi penembak lini kedua (second line).
Kemampuan seperti ini, sesungguhnya ada pada Marc Overmars dan Danny Blind. Sayang, Overmars cedera sejak Desember 1995 dan mungkin absen sampai tiga bulan mendatang. Kapten Danny Blind, entah kenapa tidak pernah memanfaatkannya. Edgar Davids hanya sekali mencoba menit ke-58, tapi tendangannya melenceng jauh di samping kanan gawang.
Sisi lemah Ajax justru di sini, ketiadaan penembak second line. Mereka punya segudang striker murni, di antaranya Kanu dan Kluivert. Tetapi pertahanan berlapis Yunani, tak dapat ditembus sama sekali. Gol tunggal Wazycha menit ke-87, merupakan buah dari titik konyol sepakbola menyerang. Gol itu, harus diakui merupakan imbas dari keasyikan Ajax menyerang lalu lupa bertahan. Secara individu, Michael Reiziger patut disalahkan karena tidak disiplin menjaga wilayahnya.
Dengan hasil itu, sungguh berat perjuangan Ajax dalam pertandingan tandang di kandang Panathinaikos, 17 April mendatang. Ajax harus menang 2-0 untuk lolos ke final. Ini jelas tidak mudah, karena Panathinaikos susah dikalahkan di depan publik sendiri. Sejarah mencatat, tim tamu selalu keok di Athena. Apalagi bila Ajax tetap pada penampilan dua hari lalu, tak mungkin mampu membungkam juara Yunani itu.
Kerja agak enteng, bakal dilakoni Juventus yang menang 2-0 atas Nantes (Perancis) di kandang sendiri. Vialli dkk tinggal mencari hasil seri untuk lolos ke final di Roma 22 Mei 1996. Keruntuhan Ajax di Stadion De Meer Kamis dini hari, sekaligus mengingatkan Anda, untuk sesaat melupakan grand final impian Juventus versus Ajax. ** Dipublikasikan Pos Kupang edisi Sabtu, 6 April 1996.