PENAMPILANNYA sangat sederhana, gaya bicaranya pun sangat santun. Tapi siapa nyana dalam pribadi yang santun dan sederhana itu tersimpan ide brilian yang mampu membuat dunia berpaling memperhatikan apa yang dilakukannya. Maria Yovita Meta-Bastian, begitu nama lengkap wanita paruh baya ini.
Dialah orang pertama dari Indonesia yang hari ini akan menerima penghargaan Prince Claus Award, sebuah penghargaan bagi pelestari seni tradisional dan kebudayaan yang diberikan oleh Prince Claus Fund, lembaga nirlaba yang awalnya didirikan untuk memperingati ulang tahun ke-70 Pangeran Claus, yang berpusat di Den Haag, Belanda.
Lembaga inilah yang diam-diam memperhatikan kerja keras Ibu Vita, begitu Yovita biasa dipanggil, dalam mengembangkan seni tenun tradisional Biboki, Timor. Saat ditemui Koran Tempo di kediamannya, Jalan Seroja, Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Jumat pekan lalu, Direktur Yayasan Tafen Pah ini terlihat sumringah. "Ya, saya telah mendapat surat pemberitahuan dari Mr. Els van der Plas, Directur Prince Claus Fund, tentang penghargaan itu. Juga telepon dari sekretaris Prince Claus Fund, Fariba Bruin," ujar Ibu Vita saat Koran Tempo menanyakan kabar penghargaan yang bakal diterimanya.
Menurut Ibu Vita, ia tak akan menerima sendiri penghargaan itu di Den Haag yang resminya akan diberikan hari ini. Seperti pemberitahuan melalui e-mail yang diterimanya dari Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, penghargaan itu akan diterimanya bersamaan dengan pembukaan pameran Yayasan Tafen Pah di Erasmus Huis, Jakarta, pada 14 Januari 2004.Saat ditanya apakah ia senang dengan penghargaan itu, ia hanya tersenyum.
"Sebenarnya dengan segala keterbatasan yang saya miliki, sedikit pun saya tidak pernah bermimpi bahwa pada suatu saat saya akan mendapat penghargaan dari dunia internasional, " kata Ibu Vita merendah. "Yang menjadi harapan saya adalah kaum kecil dapat menolong diri mereka sendiri dan memperbaiki status sosial kaum perempuan serta melestarikan budaya leluhur mereka," ujarnya lagi tentang apa yang dikerjakannya selama ini.
Barangkali memang sudah menjadi pembawaan Yovita bila ia tak pernah merasa lebih besar dibandingkan siapa pun yang selama ini diajaknya mengembangkan tenun Biboki. Ia mengaku, sebenarnya dia hanyalah melakukan apa yang diamanahkan orangtuanya dulu."Orangtua saya sejak kecil mengajarkan agar kami sekeluarga bisa bermanfaat bagi sesama, sehingga prinsip itulah yang saya gunakan," katanya.Bagi saya, akunya, setiap orang yang mendapat kesempatan untuk hidup telah dikaruniakan talenta dari Tuhan. Karena itu, kalau Tuhan masih memperkenankan seseorang untuk hidup, hidup itu harus berguna. "Untuk itulah, saya harus melakukan sesuatu sehingga paling tidak orang tahu bahwa saya punya kontribusi untuk masyarakat."
Ungkapan tulus wanita kelahiran Kefamenanu, 4 Desember 1955, ini bukan sekadar basa-basi. Buktinya bisa ditengok dari kerja kerasnya mempertahankan budaya dan menanamkan rasa cinta terhadap hasil karya tenun ikat Timor yang telah dilakukan sejak lebih dari 10 tahun silam. Secara bertahap, Yovita mencoba terus mengembangkan tenun dengan motif asli Biboki, sebuah kecamatan di TTU, dengan inovasi dan pendekatan yang lebih modern. "Saya memulai usaha untuk melestarikan tenun ikat Timor, dengan filosofi membangun daerah dengan apa adanya dan sebagaimana adanya."
Berlandaskan filosofi itulah, wanita yang mengaku lebih betah hidup sebagai dan dengan warga di desa ini, memulai kerja kerasnya. Usaha untuk melestarikan tenun ikat Timor, ia tekuni sejak Juli 1989. "Waktu itu, kami mulai membina satu kelompok perajin tenun ikat dengan jumlah anggota hanya 8 orang. Mereka adalah warga Desa Matabesi, Kecamatan Biboki Selatan. Sekarang, sudah ada kelompok-kelompok tenun, dan saya dipercayakan sebagai koordinator sanggar. Sanggar kami namanya Sanggar Biboki, di bawah Yayasan Tafen Pah," kata Yovita, yang juga pernah menerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto atas jasanya dalam mengembangkan home industry.
Ternyata, apa yang dilakukannya, diam-diam mendapat penilaian dari para pemerhati budaya internasional. Mungkin, bagi Indonesia, apa yang dilakukan Yovita Meta merupakan hal yang biasa-biasa saja. Tetapi, bagi dunia internasional, kerja keras dan prestasi yang dilakukan Yovita merupakan hal yang luar biasa dan layak mendapat pengakuan dunia.
Menurut Yovita, ia mulai memperkenalkan tenun Biboki ke dunia internasional dari kerja yang tak sengaja. Ketika itu, katanya, lembaga yang dikembangkannya kesulitan dalam memasarkan produk kelompok binaannya. Kemudian, dengan modal kerja yang sangat kecil, ia mencoba untuk membeli produk yang dikembangkan kelompoknya. Dari sana, ia berusaha memasarkan dan mulai menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga yang mendukung pengembangan usaha ini.
Pada 1990, Yovita mengaku, lembaganya berhasil menjalin kerja sama dengan NTT-IADP. Kemudian, atas kebaikan Ibu Cecilia Ng. dari NTT-IADP, kerja Tafen Pah terdengar ke negara lain. Menurut Yovita, Ibu Cecilia berkirim surat kepada temannya yang kebetulan bekerja sebagai kurator di Museum Northern Territory Museum of Arts and Sciences bulocky Poit, Fannie Bay Darwin, Australia. Tak lama setelah itu, pihak museum tersebut mengirimkan uang 1.000 dolar Australia. "Saat itu kami tukar dengan uang Indonesia menjadi Rp 1.445.000," ujar Yovita tentang cikal bakal modal usaha yang membuat tenun Biboki mendunia.
Menurut dia, dorongan untuk mengembangkan usaha tenun ikat Timor sebenarnya pertama kali muncul saat dirinya melakukan studi banding ke Pulau Sabu (salah satu pulau di NTT) atas biaya NADP, sebuah lembaga internasional. "Pada 1989 kami diajak NADP untuk studi banding ke kelompok tenun Ikat milik Radja Haba yang ada di wilayah Sabu. Setelah studi banding, saya seperti ditantang. Mengapa Radja Haba bisa melakukan pendampingan terhadap kelompok tenun ikat dan sukses, sedangkan saya tidak?" katanya.
Sejak itulah ia nekat untuk terjun mengembangkan tenun Biboki. Diawali dengan hanya satu penenun, dengan delapan anggota, di satu desa, kini berkembang menjadi 12 desa dengan 406 anggota dan 25 kelompok usaha. Semua hasil tenunan menggunakan bahan lokal yang berasal dari kapas, akar mengkudu, daun tarum, daun kunyit, dan sejenis lumpur berwarna biru.
"Lumpur itu digunakan sebagai bahan pewarna, sedangkan bahan lainnya berfungsi sebagai pengawet, penambah warna, dan pelekat," katanya. Untuk menghasilkan sebuah tenunan khas Biboki, seperti selendang kain kapas, dibutuhkan waktu yang tidak terlalu lama, tergantung pada ukuran dan motif yang diinginkan.
Motif kain tenun Biboki yang berhasil dikembangkannya, kini bisa dijual dengan harga bervariasi, Rp 185 ribu hingga jutaan rupiah. "Dengan adanya sanggar dan kelompok usaha tenun ikat di 12 desa di Kecamatan Biboki Selatan, penghasilan warga yang mulanya hanya berkisar sekitar Rp 50 ribu per bulan, berkembang menjadi ratusan ribu setiap bulan," dia melanjutkan.
Dengan adanya kelompok-kelompok usaha tersebut, secara ekonomis dapat memacu perekonomian warga sekaligus melestarikan budaya daerah yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia dan tidak mungkin dimiliki oleh negara lainnya. (jems de fortuna/KORAN TEMPO, Rubrik Budaya, Edisi 2003-12-10
Data Diri :
Nama Lengkap : Maria Yovita Meta-Bastian
Tempat/Tanggal Lahir : Kefamenanu, 4 Desember 1955
Suami: Drs. AJ Meta (alm.)
Penghargaan yang pernah diterima:
* Upakarti (Trofi) : 31 Desember 1992 dari Presiden Soeharto di
Istana Negara Jakarta.
* Nasabah terbaik dalam bidang kredit umum pedesaan dari Bapak Djokosantoso Mujono/Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia di Jakarta untuk penghargaan tingkat cabang.