Tampilkan postingan dengan label Good News of NTT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Good News of NTT. Tampilkan semua postingan

Gubernur Lebu Raya Teteskan Air Mata

Frans Lebu Raya
Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Frans Lebu Raya meneteskan air mata ketika mendengar sambutan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Dr. H. Harry Azhar Azis, MA tentang hasil pemeriksaan  BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) TA 2015 Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT. Untuk pertama kali daerah ini meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) LKPD ini berlangsung dalam rapat paripurna istimewa DPRD NTT di Kupang, Senin (13/6/2016).

Paripurna istimewa dipimpin Ketua DPRD  NTT, Anwar Pua Geno, dihadiri para wakil ketua dan anggota DPRD NTT. Hadir pula Kepala BPK RI Perwakilan  NTT, Dra. Dewi Ciantrini M.Fin Mngmt, pimpinan SKPD lingkup Pemprov NTT, Forkompimda NTT, Walikota Kupang, Jonas Salean dan Wakil Walikota, Herman Man serta undangan lainnya.

Ketika Ketua BPK RI, Dr. H. Harry Azhar Azis, menyampaikan bahwa hasil pemeriksan terhadap  LKPD NTT tahun 2015 dengan predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),  Frans Lebu Raya mengambil tisu lalu menyeka kedua matanya. Sekitar dua sampai tiga kali Lebu Raya menyeka wajahnya dengan tisu.

Selama mendengar sambutan Ketua BPK RI, Harry Azhar, Lebu Raya terus memalingkan wajah dan posisi duduknya ke arah podium di mana Ketua BPK RI berdiri.
Suasana  ini mengharukan ini benarkan Sekda NTT, Frans Salem, S.H, M.Si. Ia mengatakan, saat mendengar LHP LKPD NTT tahun 2015 dinyatakan meraih WTP, ia  melihat Gubernur Lebu Raya meneteskan air mata.

Ketika Ketua BPK RI, Dr. H. Harry Azhar Azis , MA mengatakan, penyerahan LHP ini dalam rangka memenuhi Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK  serta UU terkait lainnya.

Azis mengatakan, pemeriksaan atas LKPD ditujukan untuk memberikan opini atas kewajaran LKPD dengan memperhatikan kesesuaian Laporan Keuangan dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, kecukupan pengungkapan, efektivitas sistem pengendalian internal dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

"Laporan Keuangan Pemprov NTT tahun anggaran 2015, BPK RI memberikan opini WTP. Pencapaian opini WTP ini adalah yang pertama kali diraih Pemprov NTT. Ini juga sekaligus yang pertama bagi seluruh entitas pemerintah daerah di Provinsi NTT," kata Azis.

Ia menjelaskan, LKPD tahun anggaran 2015 telah disajikan dengan basis aktual dari sebelumnya berbasis Cash Toward Accrual (CTA), sehingga jumlah  laporan keuangan yang disajikan berubah dari tiga laporan menjadi tujuh laporan, yaitu laporan realisasi anggaran, laporan perubahan saldo anggaran lebih, laporan neraca, laporan operasional, laporan arus kas dan laporan perubahan ekuitas serta catatan atas laporan keuangan.

"LKPD Tahun 2015 ini diserahkan kepada BPK RI tepat waktu pada tanggal 31 Maret 2016. Tepat dua bulan sejak diserahkan, BPK RI sesuai amanat UU juga dapat menyelesaikan laporan hasil pemeriksaannya secara tepat waktu pada tanggal 31 Mei 2016. Dan dapat diserahkan pada hari ini tanggal 13 Juni 2016," kata Azis.

Azis menyatakan, BPK RI  menghargai dan memberi apresiasi berbagai upaya yang telah dilakukan Pemprov NTT dalam perbaikan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah.

"BPK berharap  Provinsi NTT pada masa mendatang dapat mempertahankan opini WTP ini dan menjadi motivasi bagi pemerintah daerah lainnya di Provinsi NTT untuk memperoleh opini WTP," harapnya.  BPK RI, lanjut Azis,  juga berharap agar Gubernur NTT segera menindaklanjuti setiap permasalahan yang menjadi catatan BPK. 

                                                Terkadang Keras
Gubernur NTT, Frans Lebu Raya mengatakan, hasil LHP LKDP 2015  yang diserahkan oleh BPK RI telah melewati berbagai tahapan sebagaimana diatur dalam UU yang berlaku. "Saya ucapkan terima kasih kepada Pak Sekda NTT dan seluruh jajaran pimpinan SKPD lingkup  Pemprov NTT, yang mana terkadang saya harus bertindak keras, tetapi semua berjalan baik dan akhirnya kita dapat hasil yang memuaskan hari ini," kata Lebu Raya

Gubernur Lebu Raya menjelaskan, selama ini ia terus mendorong semua jajaran dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah sehingga hasilnya bisa WTP.

Kepada seluruh jajaran  Forkompimda NTT , Lebu Raya juga mengucapkan terima kasih. Khusus kepada  BPK RI dan Perwakilan BPK RI NTT, ia menyampaikan terima kasih yang tinggi karena selalu mendorong dan memberi perhatian kepada pemerintah NTT dalam rangka pengelolaan keuangan daerah NTT. "Kami selalu berkonsultasi, baik kepada BPK maupun BPKP sehingga hasilnya dapat memuaskan," katanya.

Lebu Raya mengharapkan seluruh SKPD segera menindaklanjuti hasil temuan dari BPK RI yang sudah disampaikan dalam waktu yang singkat dan terus berjuang mempertahankan opini WTP. "Masyarakat juga saya minta supaya dukung pemerintah NTT agar bisa bekerja lebih baik. Berdaya guna dan lebih maju lagi demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat NTT," kata Lebu Raya. (yel)

Item Pemeriksaan BPK
-  Pendapatan  Realisasi Rp 3,31 triliun dari anggaran Rp 3,35 triliun
- Belanja dan transfer  realisasi Rp 3,32  triliun dari  anggaran Rp 3,52 triliun
- Total aktiva dan pasiva Rp  4,49 triliun
- Anggaran belanja dari pendapatan Rp  2,42 triliun atau 72,9 persen
- Pendapatan Asli Daerah (PAD)  Rp 884,57 miliar atau 26,6 persen
- Pendapatan daerah tahun 2015 naik 18,95 persen dibanding tahun 2014
- Belanja tahun 2015 naik 23,79 persen
- Kenaikan ini pada belanja pegawai
   kenaikan 10,04 persen
- Belanja barang turun 24,94 persen
- Belanja modal naik  48,85 persen
- Belanja hibah turun 25,64 persen
- Belanja bantuan  sosial turun 5,56 persen 
- Bantuan keuangan turun 6,12 persen
- Belanja tak terduga turun  94,4 persen
- Transfer turun  18,93 persen.
Sumber: BPK RI Perwakilan NTT


Sekda Ancam Pimpinan SKPD

SEKRETARIS Daerah NTT, Frans Salem, S.H, M.Si mengatakan, pihaknya pernah mengancam pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup Pemerintah Provinsi (Pemrov)  NTT dalam pengelolaan aset yang merupakan salah satu item pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).

"Kami  pernah menandatangi  komitmen dengan pimpinan SKPD dan ancam, kalau tidak data aset dengan baik, pimpinan SKPD harus mundur," kata Salem. Ia menjelaskan, dalam komitmen  yang ditandatangani pimpinan SKPD ditegaskan bahwa jika SKPD tidak menyelesaikan  pendataan  aset, maka kepala SKPD-nya harus mundur.

"Pak Gubernur merasa tidak setuju untuk melakukan. Kemudian kami   beri saran beliau setuju dan hasilnya tadi (opini Wajar Tanpa Pengecualian, Red) kita semua terima," ujarnya, Senin (13/6/2016).

Prestasi yang diperoleh, demikian Salem, bukan tiba-tiba tetapi melalui proses panjang  dan  dalam proses itu, ia sendiri melihat gubernur sempat meneteskan air mata. "Memang terkadang beliau (Gubernur, Red) marah soal tindak lanjut  rekomendasi dari BPK, terutama aset. Dan kami kasih masukan soal komitmen dengan SKPD, akhirnya beliau setuju juga," katanya.

Menurut dia, opini WTP ini hasil pergumulan dan jerih lelah dari semua jajaran Pemprov NTT. Selama ini jika diperbaiki atau ditindaklanjuti satu temuan, maka akan muncul lagi temuan lain sehingga sulit mendapat opini WTP.

 "Kita bersyukur atas opini WTP yang sudah kita  capai. Tetapi juga harus perhatikan bagaimana kita pertahankan. Terutama penataan aset yang sudah kita temukan formulanya menjadi titik awal pengelolaan aset di NTT," ujarnya.

Frans Salem menjelaskan, ke depan Pemprov NTT akan menerima pengalihan aset  bidang pendidikan dari kabupaten/kota. Karena itu, lanjutnya, perlu menjadi perhatian serius semua jajaran Pemprov NTT.

Ia mengatakan, gubernur memiliki komitmen agar pengelolaan keuangan daerah di NTT harus benar-benar akuntabel, sehingga tidak jarang gubernur marah sekali apabila ada aparat yang bekerja tidak bertanggung jawab.

Mengenai opini WTP, Salem mengatakan,  Pemprov NTT memiliki roadmap sehingga dalam evaluasi kalau roadmap  tersendat, maka gubenrur tidak segan-segan marah.
"Roadmap ini kita lakukan untuk peroleh opini WTP dan target ini tercapai. Awalnya banyak yang pesimis, apakah bisa dapat WTP atau tidak. Hari ini sudah terbukti," ujar Salem. (yel)


Anwar Pua Geno: Motivasi untuk Berbenah
KETUA DPRD NTT, Anwar Pua Geno,  meminta kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT untuk memperhatikan dan menjadikan  hasil LHP BPK RI menjadi motivasi untuk terus berbenah dalam pengelolaan keuangan daerah.

"Ini harus jadi motivasi bagi Pemprov NTT yang baru pertama kali dapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kerja keras ini harus tetap dijaga sehingga terus mempertahakan opini WTP," saran Anwar.

Menurut dia, prestasi itu menjadi harapan bagi Pemprov NTT dalam mengelola keuangan daerah. "Opini ini harus dipertahankan melalui kerja keras dan bertanggung jawab dari Pemprov NTT.  Hasil yang diraih ini merupakan kerja keras kurang lebih dua tahun belakangan, yang mana sudah ada roadmap sehingga kinerja pengelolaan keuangan terukur jelas," kata Anwar.

Menurut dia, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) No.  71/2010 tentang Standar Akuntasi Pemerintah, maka mewajibkan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk menerapkan standar akuntansi berbasis aktual dalam pengeloalan laporan keuangan daerah. "Regulasi ini  bertujuan agar pemerintah  dapat melakukan pengelolaan keuangan yang akuntabilitas dan dapat terukur. Sekali lagi saya harapkan opini ini harus terus dipertahankan," tegas Anwar.

Anggota Komisi II DRPD NTT,  Kasmirus Kollo mengatakan, opini WTP yang diraih Pemprov NTT ini sebagai cambuk  bagi pemerintah  agar  mempertahankan predikat ini. "WTP ini tidak selamanya berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat NTT. Apakah dengan opini ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat, sabar dulu.  BPK ini hanya memberi penilaian pada rencana  anggaran, sedangkan implementasinya di lapangan itu soal lain," kata Kasmirus.

Dikatakannya, opini WTP harus ada koreksi lebih lanjut  pada masyarakat. "Ini perlu dievaluasi karena BPK  RI hanya menilai APBD di atas kertas, tidak melihat di lapangan  berupa implementasi anggaran di masyarakat. Ini baru pertama kali dan tentu kita beri apresiasi, namun harus terus dievaluasi,"  ujarnya.

Wakil Ketua DPRD NTT, Alex Ofong,  mengatakan,  prestasi ini tidak berarti Pemprov NTT terlena. "Ini harus diimbangi dengan kinerja implementasi program sehingga predikat ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat," demikian Alex. (yel)


NEWS ANALYSIS
Dr. Thomas Ola Langodai
Dosen Fakultas Ekonomi Unwira Kupang

Tularkan ke Kabupaten

PEMERINTAH Provinsi NTT jangan berbangga dulu dengan  opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Senin (13/6/2016).


Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah provinsi mengingat  sampai saat ini semua kabupaten/kota di NTT masih memiliki opini dari BPK RI, yakni WDP, malah ada yang diberikan opini disclamair setiap tahun. Pemerintah Provinsi NTT pun baru pertama kali mendapatkan opini WTP dari BPK.

Bagi saya, mendapatkan yang baru lebih mudah ketimbang mempertahankan prestasi. Sebagai pembina kabupaten/kota, pemerintah provinsi juga harus mampu menularkan prestasi ini kepada semua pemerintah kabupaten/kota di NTT.

Opini BPK dibagi menjadi beberapa bagian, yakni tidak berpendapat, disclamer, wajar dengan pengecualian (WDP) dan wajar tanpa pengecualian (WTP). Pemerintah Provinsi NTT baru kali ini mendapat opini WTP, dan tahun-tahun sebelumnya WDP. Ini artinya, tahun-tahun sebelumnya semua laporan keuangan Pemerintah Provinsi NTT  sudah memenuhi syarat pemeriksaan BPK, tetapi bukan berarti sudah beres atau baik. Baru kali ini mendapatkan opini WTP, yang artinya sudah melaksanakan rekomendasi BPK atau sudah menindaklanjuti rekomendasi BPK lalu dijalankan dengan baik dan benar.

Dengan melihat perkembangan dan rekomendasi tahun-tahun sebelumnya, BPK berpendapat sudah baik sesuai dengan aturan yang berlaku. Dan, Pemprop NTT menjadi contoh yang baik bagi pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan keuangan dan aset daerah secara baik dan benar.

Memang terlepas dari prestasi ini, masih ada praktik korupsi yang menyelimuti Pemprop NTT yang membuat daerah ini menjadi nomor empat daerah korupsi di Indonesia, terlepas dari isu ini benar atau tidak. Tapi itu persoalan lain.

Tugas Pemprov NTT adalah menularkan prestasi ini (WTP) kepada semua pemerintah daerah di NTT. Jadi, Pemprov  NTT  harus bisa membina daerah kabupaten/kota bagaimana membuat laporan keuangan dan aset yang baik dan benar. Pemprov  NTT tidak bisa membiarkan daerah kabupaten/kota berjalan sendiri.

Prestasi WTP ini harus dipertahankan. Kalau tahun depan dan seterusnya tidak mendapatkan opini WTP lagi, patut dipertanyakan. Ada apa dengan BPK RI?  Mudah- mudahan semua berjalan baik, dan opini yang diberikan BPK ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Pemprov NTT sungguh memenuhi syarat.  (nia)

Sumber: Pos Kupang 14 Juni 2016 hal 1

Jalan Berliku Yabes Roni Malaifani

Selebrasi  Yabes seusai mencetak gol ke gawang Filipina di GBK 10-10-2013
MIMPI  masyarakat di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyaksikan putra daerah membela tim nasional Indonesia akhirnya terwujud. Yabes Roni Malaifani tampil pertama kali membela Timnas Indonesia U-19 di pertandingan babak kualifikasi Grup G Piala Asia U-19.

Pelatih Timnas Indonesia U-19, Indra Sjafri, menurunkan pemain 18 tahun itu di pertandingan melawan Filipina U-19 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (10/10/2013) malam. Yabes masuk menggantikan Dinan Yahdian pada pertengahan babak kedua, dia membuktikan kelasnya sebagai pemain berpotensi.

Pada menit ke-82, Yabes mencetak gol setelah bekerja apik dengan Paulo Sitanggang. Gol itu menggandakan kedudukan Indonesia U-19 menjadi 2-0 dari Filipina U-19. Kemenangan pun diraih skuat Garuda Jaya, sekaligus membuka peluang Timnas Indonesia U-19 lolos ke putaran final Piala Asia U-19 di Myanmar pada 2014.

Perjalanan panjang harus ditempuh oleh Yabes demi mewujudkan mimpi membela Timnas Indonesia. Dia lahir di Moru, Pulau Alor, pada 6 Februari 1995. Ketika duduk di kelas 2 SD, ayahnya meninggal dunia. Praktis, Yabes kecil tinggal bersama seorang ibu dan adiknya. Dia sempat tidak diperbolehkan bermain bola dikarenakan mengurus adiknya yang berjarak umur 4 tahun dengan dirinya. Sementara ibunya menghidupi keluarga dengan menjadi buruh tani.

"Ayah meninggal sewaktu saya kelas 2 SD. Saya sempat tidak boleh main bola, karena diminta ibu menjaga adik. Kami cuma dua bersaudara. Adik saya namanya Erit, dia kini duduk di kelas 2 SMP," tutur Yabes kepada Tribun di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (11/10/2013).

Setelah memberi keyakinan kepada ibu, dia akhirnya diperbolehkan bermain bola. Yabes rela meninggalkan pelajaran di sekolah, demi belajar sepak bola.  Perjalanan jauh ditempuhnya untuk dapat mengolah si kulit bundar. Diperlukan waktu sekitar 2 jam dari tempat tinggalnya di Moru  menuju ke ibukota Pulau Alor di Kalabahi.

Pulau Alor memang tidak seperti daerah lainnya di Indonesia. Penduduk di pulau seluas 2.119 km persegi itu  hidup dalam keterbatasan. Yabes bercerita, selama bermain bola di kampung halaman, dia tidak berlatih di tempat sepakbola yang mempunyai fasilitas memadai.

"Di sana tidak ada Sekolah Sepak Bola (SSB). Latihan di klub yang terletak di ibukota Pulau Alor. Peralatan di sana terbatas, beda sama tempat latihan di sini. Kalau mau latihan sepak bola agak susah, tempat tinggal saya jauh dari ibukota. Harus dua kali naik kendaraan umum. Diperlukan waktu selama 1 jam. Kadang kalau mau main bola, saya harus bolos sekolah," katanya.

Takdir Tuhan mempertemukan Yabes dengan pelatih Timnas Indonesia U-19, Indra Sjafri. Pelatih 50 tahun asal Sumatera Barat itu berkesempatan melakukan pencarian pemain di daerah Kupang, Nusa Tenggara Timur pada bulan Juni 2013.

Selama empat hari Indra Sjafri ditemani Rudi Eka Priambodo, salah satu anggota tim High Performance Unite (HPU) menggelar sesi coaching course dan seleksi pemain.    Yabes berkeinginan mengikuti seleksi itu. Namun, kejadian kecelakaan pesawat MA 60 hingga terbelah dua di Bandara El Tari Kupang, NTT pada 10 Juni 2013 lalu menunda keinginannya.

Ketika itu, pesawat dari daerah Pulau Alor dan daerah lainnya tidak diperkenankan mendarat di bandara. Alhasil, Yabes pun terancam tidak dapat mengikuti seleksi.

Namun, nasib berkata lain. Pelatih Indra Sjafri menunggu kedatangan pemuda asal Alor itu di Kupang. Yabes pun mengikuti seleksi. Secara keseluruhan selama menggelar seleksi di Kupang, NTT, Indra Sjafri mendapatkan 5 orang. 4 orang asal Pulau Alor dan 1 orang asal Kupang. Mereka pun berhak mengikuti seleksi lanjutan di Yogyakarta.

"Ketika itu saya sempat khawatir tidak dapat mengikuti seleksi, namun pelatih Indra Sjafri memberikan kebijakan kepada saya untuk dapat ikut seleksi. Dia tidak jadi pulang ke Jakarta, tiket penerbangannya dipindah ke hari lain. Kami kemudian mengikuti TC di Yogyakarta, dari kelima teman saya, hanya saya yang bertahan sampai saat ini," tuturnya.

Timnas Indonesia U-19 menjalani pemusatan latihan nasional di Yogyakarta pada 23 Juni 2013. Pesepakbola terbaik dari seluruh penjuru tanah air berlatih di bawah arahan Indra Sjafri. Pemusatan latihan dimaksudkan sebagai persiapan berlaga di Piala AFF U-19 dan babak kualifikasi Piala Asia U-19.

Yabes harus beradaptasi dengan lingkungan baru berbeda seperti di Pulau Alor. Untuk pertama kalinya dia pergi merantau ke luar kota. Tempaan hidup yang berat sejak lahir membuat dia mampu bertahan. Melalui sepak bola dia ingin mengubah kehidupan keluarga. Di waktu senggang, dia menghubungi ibu dan adiknya untuk menanyakan kabar.

"Saya sering kangen sama rumah, kalau lagi kangen telepon orangtua. Uang saku timnas yang saya dapatkan, saya kirim ke orangtua. Uang itu untuk biaya sekolah adik dan saya yang masih duduk di kelas 3 SMA," ujarnya. 

Pelatih Indra Sjafri tidak menyertakan Yabes mengikuti Piala AFF U-19 di Jawa Timur pada September 2013. Namun, itu tidak menjadi masalah baginya. Dia terus berlatih meningkatkan kemampuan permainan.

Akhirnya, kesempatan itu datang di babak kualifikasi Grup G Piala Asia. Yabes memang tidak bermain di pertandingan perdana melawan Laos, dia baru dimainkan saat Indonesia bertemu Filipina.

"Ini pertama kali pemain asal Pulau Alor bermain di timnas. Di pertandingan pertama, saya mencetak gol lagi. Ke depan saya berjanji untuk bermain lebih baik," ucapnya.

Yabes berharap, melalui keberadaan dia di Timnas Indonesia U-19, masyarakat tidak lagi memandang sebelah mata orang dari Pulau Alor dan Nusa Tenggara Timur umumnya. Kemudian kepada pemerintah, dia meminta supaya memberikan perhatian lebih kepada pesepakbola di daerah yang mempunyai potensi wisata bahari. "Potensi sepakbola dapat dilihat di Pulau Alor, sayang tidak ada perhatian," tandasnya prihatin. (tribunnews.com/glery lazuardi)

Sumber: Tribun Manado


Keindahan Motif Kain Tenun Nusa Tenggara Timur

KECINTAAN Musa Widyatmodjo pada budaya Indonesia membuat desainer ini selalu fokus pada eksplorasi kain-kain khas Indonesia. Setelah mengeluarkan koleksi The (Ine) Kelimutu beberapa bulan lalu, dalam ajang Jakarta Fashion and Food Festival kali ini ia mengeluarkan koleksi terbarunya, The Flobamora Indone(she)aku.

"Koleksi ini banyak bercerita tentang berbagai keindahan dan kekayaan motif kain tenun dari Nusa Tenggara Timur," ungkap Musa menjelang show-nya di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (23/5/2012) lalu. Dalam koleksinya kali ini Musa banyak menggunakan kain-kain dari "Flobamora", yang tak lain singkatan dari pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, yaitu Flores, Sumba, Timor, dan Alor.

Tak mudah mengolah kain tenun. Kesulitannya sangat terasa ketika proses pemotongan bahannya, karena jika salah potong maka pola garis di kain tenun ini akan menjadi tidak simetris atau tidak sejajar. "Setiap kain tenun punya motif dan warnanya sendiri-sendiri. Namun, Musa bisa mengombinasikan aneka motif dan warna tenun yang berbeda-beda ini dalam satu paduan busana yang serasi," puji Lusia Leburaya, Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT.

Musa memadukan kain tenun dengan ketrampilan khas dari kawasan lain di Indonesia, seperti bordir bunga anggrek timbul dari Tasikmalaya, motif selendang sulam suji dari Koto Gadang, dan juga batu kaca (glass bead) dari Jombang.

"Namun, kain tenun yang digunakan untuk baju ini adalah kain tenun ikat, dan bukan kain tenun sotis. Ini dilakukan untuk menekan biaya produksi dan harga jualnya," ungkap desainer yang terkenal dengan karakter simplicity with handycraft detailing in.

Ia menggunakan beberapa jenis kain tenun dari NTT ini untuk menghasilkan 99 busana siap pakai yang bergaya simpel dan bisa dikenakan oleh semua perempuan dari beragam usia, warna kulit, dan bentuk tubuh. Ia banyak mengolah sarung, selendang, dan scarf menjadi busana dengan style dress, blus, rok, celana, lengkap dengan detailnya yang cantik.

Show The Flobamora Indone(she)aku terbagi dalam tiga bagian. Di bagian pertama, Stripe A Pose tampil sebagai koleksi Musa yang banyak menampilkan motif garis dengan kain tenun yang warnanya cenderung gelap namun kuat. Dengan motif garis, kain tenun yang dihadirkan dalam mini dress, bolero, dan kardigan, ini terlihat sangat tegas. Perpaduan kain tenun NTT dengan kain modern yang bergaris juga membuat kesan ringan dan nyaman saat mengenakan busananya.

Di sesi kedua, Musa menghadirkan tema Aesthetics, yang lebih kontemporer. Sedangkan di sesi ketiga, Musa menghadirkan koleksi yang bernuansa over the village. Desain yang digunakan menghadirkan kesan yang modern, berkat tambahan bordir bunga seperti pada pinggang, dada, atau bahu.

Melalui busana ini Musa ingin menunjukkan bahwa kain tradisional seperti tenun juga bisa bernuansa lebih modern. Blus bergaya formal, gaun dengan V-line yang agak lebar, serta sentuhan gaun backless, juga menambah pesona koleksi busana Musa yang didominasi warna-warna tenun ikat yang khas dan dalam. (*)

Sumber:  Kompas.Com

Kekayaan Kain Tenun Nusa Tenggara Timur

Tenun Ikat NTT
INDONESIA memiliki banyak kekayaan budaya dalam bentuk kain tradisional. Setiap daerah di Indonesia memiliki berbagai jenis kain yang indah, seperti songket, batik, tenun, dan lain sebagainya. Salah satu provinsi yang dikenal memiliki kain tenun dengan motif yang begitu kaya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).

NTT memiliki 20 kabupaten dan satu kota yang dihuni oleh 15 suku atau etnis tertentu, dengan adat dan kebudayaan masing-masing.

"Masing-masing suku ini memiliki kreasi kain tenun mereka sendiri sesuai dengan adat, budaya, dan kesenian mereka. Ini terlihat dari corak hias atau motif tenunannya," ungkap Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT, Lusia Leburaya, menjelang show Musa by Musa Widyatmodjo "The Flobamora Indone(she)aku" di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (23/5/2012) lalu.

Lusia mengungkapkan, setiap suku memiliki ragam hias tenunan, yang menampilkan berbagai tokoh mitos, binatang, tumbuhan, dan motif abstrak yang dijiwai dari penghayatan akan alam semesta. Lusia menambahkan, di Alor saja dapat ditemukan hampir sekitar 81 motif tenun.

Kain tenun yang dikembangkan oleh setiap suku di NTT ini merupakan seni kerajinan tangan yang diajarkan secara turun-temurun kepada anak-cucu. Kain tenun ini secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai busana sehari-hari, busana untuk tarian atau upacara adat, sebagai mas kawin, alat penghargaan dalam upacara kematian, alat pembayar denda adat, alat tukar (uang), perlambang strata sosial seseorang, alat penghargaan kepada tamu, sampai alat untuk menolak bencana.

Dalam masyarakat NTT, kain tenun dianggap sebagai harta kekayaan yang bernilai tinggi karena kain ini pembuatannya sangat sulit dan membutuhkan waktu lama. "Selain dibedakan dari motifnya, kain tenun juga dibedakan menurut proses pembuatannya, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun sotis," jelas Lusia.

1. Tenun ikat
Disebut kain tenun ikat karena proses pembentukan motifnya dilakukan melalui pengikatan benang-benang. Sedikit berbeda dengan di daerah lain dalam menggunakan cara benang pakannya  (benang yang dimasukkan melintang pada benang lungsin ketika menenun kain), masyarakat NTT menenun dengan mengikat benang lusi (lungsi). Kain tenun ikat banyak ditemukan tersebar merata di semua kabupaten NTT, kecuali di kabupaten Manggarai dan sebagian kabupaten Ngada.

2. Tenun buna
Tenun buna ini merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat sekitar di Timor Tengah bagian utara, dan banyak terdapat di kabupaten Kupang, Timor Tengah bagian selatan, Belu, dan Timor Tengah bagian utara. Proses pembuatan tenun buna dilakukan dengan mewarnai benang terlebih dulu. Benang yang sudah diwarnai kemudian digunakan untuk membentuk motif yang berbeda-beda pada kain.

3. Tenun lotis atau sotis

Lotis merupakan perpaduan dari kain tenun dengan gaya sulam. Tampilannya mirip dengan tenun songket. Proses pembuatannya mirip dengan tenun buna dimana benang harus diberi warna lebih dulu. Perajin tenun lotis biasanya akan melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu menenun dan menyulam beberapa motif, sehingga dalam satu kain akan terlihat motif seperti tiga dimensi karena jahitan yang agak menonjol keluar.

Gaya tenun ini banyak terdapat di Kupang, Timor Tengah bagian selatan, Timor Tengah utara, Belu, Alor, Flores Timur, Lembata, Sikka, Ngada, Manggarai, Sumba Timur, dan Sumba Barat. "Jenis kain inilah yang paling rumit proses pembuatannya, dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tak heran kalau harganya lebih mahal," tutur desainer Musa Widyatmodjo. (*)


Sumber: Kompas.Com

Belaraghi: Menghidupkan Tradisi Menjamu Tamu


Dusun tradisional di Belaraghi, Flores, NTT
PASAR Bajawa masih belum ramai tetapi beberapa angkutan kota berwarna biru sudah menunggu penumpang di pagi hari. Di atasnya sudah naik seorang kernet mengatur tumpukan karung dan beberapa kardus berisi buah-buahan segar.

Pergi ke Belaraghi, sebuah dusun tradisional yang masih mempertahankan hampir seluruh aspek tradisi masyarakat Ngada, sebaiknya dilakukan pagi hari karena selain dusunnya yang menjadi tujuan utama juga semua keaslian dan perkembangan masyarakatyang dilalui di sepanjang jalan menuju Aimere begitu menarik.

Ngada terkenal karena jeratan daya tarik masyarakatnya yang memilih untuk mempertahankan gaya hidup yang tradisional. Sebenarnya kita tak pernah tahu kemampuan mereka untuk dapat memiliki berbagai hal seperti masyarakat kontemporer lainnya. Akan tetapi, secara jelas mereka nampak cukup bahagia dengan apa yang mereka punya.

Di titik puncak keaslian dan jauh dari popularitas yang disandang desa tradisional lainnya, Belaraghi seperti museum kehidupan masyarakat Ngada. Kehidupannya terpisah dari keramaian dengan bentang alam yang menjadi benteng alam sekaligus jembatan yang tak mudah dilalui.

Dalam satu aspek kepentingan, keterpencilan ini menjadi sebuah keuntungan karena dengannya keaslian dan otentisitas dusun ini akan lebih lama terjamin dan tidak akan berubah modern terlalu cepat. Di sisi lain, bentang alam yang tak mudah ini masih memerlukan pengembangan infrastruktur dan fasilitas yang bertanggung jawab.

Trekking adalah pembuka petualangan mengunjungi Belaraghi. Anda dapat memilih satu dari dua altenatif trek yang tersedia. Bila ingin menaklukkan keperkasaan alam Flores maka jalur 11 km bisa menjadi sebuah penghormatan sepanjang umur. Apabila waktu menjadi variabel yang agak mahal maka jalur 2 atau 3 km pun adalah perjuangan yang akan terbayar setimpal.

Bagi warga Belaraghi, berjumpa tamu yang mengunjungi dusun mereka bagaikan cinta pada pandangan pertama. Mereka akan menyambut dengan suka  cita dan menuangkan segala kerinduan pada tamu yang mereka nanti-nantikan dengan menyediakan suguhan-suguhan kehormatan.

Di rumah tamu, rebus ubi, pisang, dan talas disuguhkan dengan kopi atau arak. Sambal cabe rawit Flores tak lupa disertakan dalam piring sederhana.Tak lama, makan siang yang merupakan bagian dari tradisi ti'i ka ebunusi, yaitu ‘menyajikan masakan untuk leluhur', dipersembahkan dengan mengorbankan seekor babi hutan yang banyak dipelihara masyarakat Flores.

Arti pengunjung bagi warga Belaraghi ialah tamu bukan wisatawan. Maka dari itu, sikap penghormatan tak setengah hati dan dilakukan di rumah tamu, sao one, salah satu rumah paling sakral karena tamu dikenalkan kepada para leluhur.

Warga Belaraghi memiliki komitmen mempertahankan bentuk rumah tradisional mereka, bukan semata-mata untuk wisatawan tetapi memang tak ada keinginan merubah tradisi atap rumbia dan ijuk menjadi seng dan antena parabolanya serta listrik yang berseliweran di ubun-ubun rumah tradisional mereka yang sakral.

Enam belas rumah tradisional yang mereka pertahankan tersusun dalam dua jajar saling berhadapan. Uniknya, di Belaraghi, pelataran di depan rumah lebih tinggi dari fondasi rumah beratap daun rumbia. Lima rumah diantaranya berjuluk sao pu'u, atau rumah asal yang memiliki ornamen rumah kecil di ujung atapnya. Lima rumah lainnya ialah sao lobo atau rumah terakhir yang memiliki ornamen tubuh manusia di atapnya. Sisanya dijuluki sao kaka, dimana kata 'kaka' artinya berbagi. Sao kaka diperlakukan sebagai anak dari rumah asal dan rumah terakhir.

Di Belaraghi terdapat lima klan atau keluarga dengan masing-masing ngadhu dan bhaga. Ngadhu ialah payung seolah laki-laki dengan perannya melindungi dan memberikan keteduhan, menjadi simbol leluhur laki-laki. Saat dipahat dari batang pohon di hutan dan di bawa ke desa, para perempuan seluruhnya harus masuk rumah karena roh leluhur laki-laki tengah datang menuju batang ngadhu.

Bhaga ialah simbol leluhur perempuan dengan bentuk payung yang lebih kecil. Walau demikian, para warga laki-laki sajalah yang akan meletakkan payung bhaga di tempat sakral di tepi ngadhu. Seperti halnya seluruh masyarakat di Flores, formasi batuan yang ditumpuk seolah merajut kuat tradisi megalitik, adalah perlambang jalur komunikasi antara manusia dengan roh leluhur.

Selain ngadhu dan bhaga, altar meja besar yang disebut lenggi, biasa disimpan di setiap desa tradisional yang fungsinya menyelesaikan permasalahan antara klan dalam dusun.

Bermalamlah bila waktu Anda sedikit leluasa saat di Ngada. Warga Belaraghi akan sangat senang menerima Anda. Dari Bajawa, mulailah perjalanan dari desa Beiposo dekat Bajawa. Jalur yang ditempuh sepanjang 11 km dengan arah yang hanya dikuasai oleh pemandu lokal. Bila ingin melalui jalur pendek, tujulah desa tepi pantai selatan, Aimere, dan masuk ke arah utara melalui jalan yang dipenuhi desa berhias rumah tradisional. Paukate adalah desa terdekat Belaraghi dengan dipisahkan jarak sekitar 3 km namun melalui bukit yang menampakkan lautan selatan yang luas. (Angke/Him)

Sumber: Kompas.Com

Desa Doka, Rumah Tenunan Kain Pejuang Flores


Warga Desa Doka memainkan tarian penyambutan selamat datang.
DARI Maumere, kota di tepi utara Pulau Flores yang terpisah hanya 20 kilometer saja dari tepi selatannya, perjalanan di atas kendaraan roda empat menuju Desa Doka menyajikan pemandangan celah bukit menghijau sangat menawan. Perjalanan penuh kelokan harus ditempuh menyusuri jalan menaiki bukit yang menjadi ranah pepohonan seperti petai cina, kakao, kopra, kemiri, dan jambu mete.

Kondisi jalan antara utara dan selatan di Kabupaten Sikka yang dikenal sebagai Kabupaten Seribu Nyiur terhitung baik sekali. Akan tetapi,karena lebar jalan yang sempit dan berkelok maka laju kendaraan tidak bisa berkecepatan lebih dari 40 km per jam. Angkutan umum berwarna oranye bermuatan karung penuh sesak di atasnya sesekali melaju di atas jalanan sempit dari Maumere ke arah Desa Doka.

Desa Doka ialah sebuah desa di Kelurahan Bola, Kabupaten Sikka dikenal memiliki tenunan kain ikat yang indah. Lebih mengagumkan lagi bahan pembuatnya didominasi dari alam sekitar. Masyarakat Desa Doka sejak dahulu memiliki keahlian menenun kain tradisonal dengan beragam corak warna.

Desa Doka menjadi salah satu contoh pembinaan desa wisata di Flores. Awalnya atas bantuan penggagas pariwisata yaitu Kornelis Djawa, tahun 1997 Desa Doka mulai menggeliat. Kini sejak tahun 2010, Cletus Lopez, putra dari Kornelis Djawa, terus menampilkan atraksi desa dan kearifan lokal dari sebuah kampung di balik gunung ini. Tamu yang telah datang ke sini dari berbagai negara dan menyaksikan sendiri kecantikan kain tenunannya.

Dengan rumah berjajar menghadap sebuah jalan penghubung antardesa, Desa Doka tidak begitu terlihat seperti perkampungan tradisional lainnya. Beberapa sudah terbaur dengan modernitas kehidupan di Maumere namun masyarakatnya gigih untuk hidup dengan mempertahankan tradisi leluhur.

Saat tamu datang maka warga desa akan memainkan tarian penyambutan, tarian tradisi, pertunjukan proses pembuatan kain ikat, hingga hidangan makanan dan minuman tradisional. Keramahtamahan Desa Doka merupakan daya tarik yang tidak bisa dilewatkan saat Anda berada di Sikka.

Desa Doka belum lama terkuak dari jalur penjelajahan di Pulau Flores. Kemunculannya memberikan warna baru pada petualangan Anda sebelum meraup lebih banyak lagi kejanggalan alam yang memesona di Flores, yaitu Danau Kelimutu di Moni, Batu Biru atau Batu Hijau di pantai menuju Bajawa, pengangkatan dasar laut yang nampak di patahan bukit sepanjang jalur selatan lintas Flores, penempatan altar batu di desa tradisional Boawae, serta berbagai keunikan budaya yang masih hidup di Pulau Ular ini.

Atraksi budaya juga menunggu pengagumnya, mulai dari tarian penyambutan dan pesta tamu di Belaraghi hingga tarian caci di Compang To’e. Kunjungan akhir di bagian barat Flores dapat disempurnakan dengan bertamu ke rumah Komodo di Taman Nasional Komodo sebagai buah hati bagi Flores juga Indonesia, bahkan dunia.

Kegiatan

Tarian keceriaan Tuare tala’u dipersembahkan saat tamu berkunjung di Desa Doka. Tarian ini dulunya hanya digelar bagi prajurit yang pulang berperang dan membawa kemenangan. Prajurit tertangguh dipilih dan diusung di ujung sebatang bambu yang diberi bantalan untuk duduk dan menari di atas perutnya. Inilah sebuah tontonan pamer kekuatan dan keperkasaan. Dipastikan atraksi ini hanya ada di Flores.

Lima orang lebih bergegas memegang sebatang bambu dikelilingi wanita di bawahnya yang terus menari. Wanita-wanita tersebut mengayunkan tangannya sambil mengepit sapu tangan atau hiasan berupa rangkaian bunga-bungaan di jemarinya yang berwarna indigo. Musik tradisional dari tabuhan kendang dan batang bambu terus mengalun dimainkan setengah lusin pria muda dan tua.

Batang bambu ditegakkan setinggi kira-kira 5 meter dan seorang prajurit terpilih menaiki sebatang bambu tersebut. Seolah bilah kincir angin yang berputar-putar menari di ujungnya dengan sigap para penyangga bambu di bawahnya memastikan posisi bambu tak miring dan tetap aman bagi pahlawan desa.

Terlihat jelas semua penari menggunakan kain ikat, baik itu dengan sarung ikat dan ikat kepala, maupun wanita yang juga menggunakan sarung serta selendang kain ikat. Mayoritas warna yang digunakan adalah hitam. Kain ini menemani dan melindungi mereka saat damai maupun saat peperangan di masa lalu.

Kain ikat yang diproduksi masyarakat Desa Doka termasuk yang terbaik karena memiliki ciri khas desainnya. Warga desa dengan senang hati mempertunjukkan cara pembuatannya. Semua yang tertenun di antara lintangan benang menjadi perlambang penghormatan kepada alam dan Tuhan yang di sembah. Pewarnaan pun begitu apik dilakukan dengan menggunakan bahan dasar pewarna dari saripati tumbuhan alami. Tak hanya pewarnaan, pemintalan kapas hingga menjadi benang dan siap ditenun pun dilakukan secara mandiri di Desa Doka.

Pewarnaan menggunakan buah mengkudu (Morinda citrifolia), asam (Tamarindus indica), indogo (indigofera), dan loba (Symplocos). Semua bahan alami tersebut didapatkan di hutan-hutan perbukitan sekitar Desa Doka, Kabupaten Sikka, Pulau Flores.

Seusai tarian selesai maka masyarakat seluruhnya biasa bergabung untuk mengikuti tarian massal. Dipersembahkan juga tarian lain yang menunjukkan persatuan masyarakat desa yang saling bahu membahu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bercocok tanam. Nampak bahwa sejak lama mereka telah mengenal sistem bercocok tanam.

Suku-suku di Flores memiliki kepercayaan tradisional kepada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan tersebut bersifat astral dan kosmologis yang berasal dari pola hidup agraris.Mereka hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada berkah Dewa Langit dan Dewi Bumi.

Akomodasi


Karena lokasi Desa Doka tidak terlalu jauh dari Kota Maumere maka pilihan untuk menginap disarankan di Maumere yang lebih lengkap dengan berbagai fasilitas dan akomodasi. Sering kali pelancong menjadikan Maumere sebagai awal dari penjelajahan di Pulau Flores. Para pelancong tidak terlalu sering menyisakan terlalu banyak waktu di titik awal perjalanan.

Kuliner


Seperti tradisi di berbagai kampung lainnya di Flores, tamu yang datang ke sebuah desa biasanya disuguhi sajian simbolis pertanda selamat datang berupa sirih dan tembakau ataupun pinang. Selain itu, persembahan berupa penyajian kue yang terbuat dari umbi-umbian (leku) juga lazim diberikan kepada tamu dipadu tuak atau arak dari pohon aren atau lontar yang disebut sopi.

Pinang yang masih berupa buah berukuran kecil diambil serabutnya di bawah kulit luar yang akan terus dikunyah sehingga lembut. Caranya, kupas bagian terluar buah pinang yang hijau dengan gigi seri atau gigi depan sedikit demi sedikit karena bila menggigitnya terlalu dalam maka pastilah sulit dikupas. Setelah agak dalam dan menemukan serabutnya lalu kumpulkan serabut itu di mulut dan kunyah hingga lembut.

Selagi mengunyah serabut pinang, makanlah pula batang sirih muda yang sudah diberi kapur barus berwarna putih. Anda hanya perlu sedikit sirih saja dengan sedikit kapur, karena sirih dapat membuat kepala Anda pening bila terlalu banyak dikonsumsi dan kapur pun terasa membakar bila berlebih.

Simpan sirih dan kapur di bagian gigi geraham. Mengunyah semua ramuan ini lama kelamaan akan memberikan rasa segar dan menghasilkan warna merah dari percampuran zat kimia alami yang berasal dari sirih dan kapur. Ludahkan air liur Anda yang berlebih dan berwarna merah bila sudah terasa kurang nyaman. Tentunya ini bukan gigitan termanis di dunia namun pengalamannya mungkin adalah hal termanis patut dirasakan.

Tuak atau sopi dibuat dari bahan alami yaitu pohon lontar atau aren. Berbeda dengan arak (juga disebut moke dalam bahasa lokal), tuak tidak begitu banyak mengandung alkohol walau keduanya dapat membuat mabuk bila dikonsumsi berlebih. Dalam penyambutan tamu, janganlah heran bila tuak ditawarkan ke hadapan Anda dalam cangkir yang terbuat dari tempurung kelapa atau tanah liat.

Berbelanja


Di salah satu sudut Desa Doka tempat dilangsungkannya tarian dan peragaan pembuatan kain ikat, terpajang rapi pada bambu yang memajangkan berupa warna warni hasil tenunan warga Desa Doka. Kain ikat dipajang sebagai dinding alami dimana ruang tenun terbuka disediakan untuk tamu yang ingin meneliti proses pembuatan kain ikat. Kain ikat dilabeli harga mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 2.000.000. Hal ini tentunya tergantung dari jenis dan ukuran kain ikat tersebut. Berusaha untuk menawar pastilah bukan hal yang dilarang, bahkan dianjurkan sebagai apresiasi dan tanda ketertarikan Anda pada kain tersebut.

Transportasi

Desa Doka dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat, bergantung berapa banyak orang dalam kelompok Anda. Menyusuri Jalan utama dari Maumere menuju Waiara maka perlu bertanya kepada penduduk sekitar arah jalan ke selatan menuju Desa Doka.

Bila berpetualang dengan bantuan seorang pemandu maka akan lebih mudah menemukannya. Bila berpetualang sendiri tak usah khawatir karena setiap orang di siniumumnya mengerti Bahasa Indonesia dengan baik. Angkot berwarna oranye akan menandai perjalanan menuju Desa Doka yang mengesankan.

Bahasa

Di Flores terdapat 5 bahasa daerah yang berbeda, termasuk di Sikka dengan bahasa daerahnya sendiri. Tidak masalah apabila Anda pergi dengan seorang pemandu yang paham bahasa di Sikka tetapi bila tidak maka gunakanlah Bahasa Indonesia yang baik dan benar agar selama perjalanan lancar tanpa masalah komunikasi.

Tidak seperti beberapa tahun lalu dimana jalan di sepanjang Pulau Flores masih terkenal rusak, sekarang lintas Flores membuat perjalanan di atas kendaraan terasa lebih nyaman tanpa harus terpental bila duduk di kursi bagian belakang. Kualitas jalan sudah sangat baik, walau tetap akan Anda rasakan kelokan dari Maumere hingga Labuan Bajo seperti tak pernah ada hentinya. (Angke/Him) 

Sumber: Kompas.Com

Inilah Delapan Keajaiban Alam di NTT

Danau Tiga Warna Kelimutu di Ende, Flores
Lanskap bukit di Pink Beach, Manggarai Barat, Flores, NTT, Jumat (10/6/2011). Pantai yang terkenal dengan pasirnya yang berwarna kemerahan ini menjadi salah satu lokasi favorit bagi wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut.


PROVINSI Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki delapan keajaiban alam dan merupakan modal dasar di sektor pariwisata untuk menjadi lokomotif pembangunan ekonomi masyarakat. "Delapan keajaiban alam tersebut adalah Pulau Flores yang memiliki lima tempat keajaiban dunia dan Samana Santa, Pulau Sumba dengan Nihiwatu Beach, Alor dengan Alor Dive dan Nemberalla Beach di Kabupaten Rote Ndao," kata Sekretaris Tim Asistensi Gubernur NTT, Edu Hena, di Kupang, Senin (21/5/2012).

Menurut Edu, tim asistensi telah melakukan berbagai diskusi dan dan saat ini sedang merampungkan Master Plan Pariwisata NTT yang telah dipresentasikan. "Draft master plan ini, kami menemukan ada delapan wonders yang dimiliki NTT dan bisa menjadi lokomotif ekonomi," katanya.

Kedelapan keajaiban alam itu adalah Pulau Komodo, tempat reptil Komodo berdiam di sana dan telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Komodo (TNK); Pink Beach di Pulau Padar, kawasan Pulau Komodo; Taman 17 Pulau Riung. Di Taman 17 Pulau Riung ini memiliki nuansa pasir dan air laut yang jernih, taman lautnya dan perbukitan yang menciptakan suasana yang berbeda dengan daerah lain di Tanah Air.

Keajaiban alam lain di Pulau Flores adalah danau tiga warna di kawasan Gunung Kelimutu, yang menjadi pusat perhatian pariwisata dunia. Selanjutnya Taman Laut Maumere yang begitu indah dan dikurung oleh teluk yang sangat nyaman bagi kehidupan di dalamnya.

Sedangkan tiga keajaiban alam lainnya yakni Nihiwatu Beach di Pulau Sumba dengan pantai terbaik dan terindah (termasuk 10 besar di Asia), memberikan kesan yang sangat elegan dan ekslusif karena lokasi dan gelombang lautnya dapat dimanfaatkan bagi para peselancar. Keajaiban alam ini memberikan kesan individualistis yang kuat dan menjanjikan kepada setiap wisatawan untuk kembali lagi, katanya.

Berikutnya, Pulau Alor memiliki kekhususan yaitu indahnya alam bawah lautnya, lebih dari puluhan titik selam sehingga disejajarkan dengan alam bawah laut Kepulauan Karabia. Lokasi ini dilindungi oleh Pulau Timor, sehingga menjadi tempat terbaik dunia untuk menyelam setelah Karabia.

"Terakhir, Nemberalla Beach. Keajaiban alam yang ada di Pulau Rote ini masuk dalam international calender of event untuk berselancar (surfing), sehingga menempatkannya dirinya sebagai posisi kedua setelah Hawaii, walaupun masih sangat minim dalam tersedianya fasilitas dan infrastruktur," papar Edu Hena.

Selain memiliki delapan keajaiban alam, NTT juga memiliki potensi pariwisata budaya dan tradisi lainnya yang tidak kalah menarik dengan daerah lain di Indonesia bahkan dunia.

Edu Hena berharap, dengan adanya Master Plan Pariwisata NTT nantinya mampu mendorong pembangunan pariwisata dan menjadi lokomotif ekonomi daerah. (*)

Sumber: Kompas.Com

Ketua Geng Motor Sekaligus Inovator

Novers Nggili
KESAN pertama yang didapat sewaktu berjumpa Noverius Henutesa Nggili adalah angker dan menyeramkan. Betapa tidak, rambut keriting sepundak, badannya tegap, dan sorot matanya tajam. Kumis serta jenggot lebat menghiasi mukanya. Kacamata gelap dengan frame warna perak disematkan di atas dahinya. Pria berusia 34 tahun ini cocok dengan gambaran anggota geng motor layaknya di film Hollywood.

Begitu berucap, kesan angker tersebut hilang. Gaya bicara Noverius terasa santun dengan nada perlahan tapi jelas didengar. Pria yang kerap dipanggil Frits ini merupakan perwakilan dari Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam acara Indonesian Young Changemakers Summit (IYCS) yang digelar di Gedung Merdeka serta Gedung Indonesia Menggugat, pekan lalu. Namun, prasangka di awal perjumpaan ternyata tidak sepenuhnya salah sewaktu Frits mengakui bahwa dia adalah pemimpin geng motor.

”Nama geng motor saya adalah geng Imut,” ujar Noverius dengan mimik dan nada yang datar agar tidak dianggap sedang bercanda oleh lawan bicaranya.

Rupanya nama Imut geng motornya merupakan singkatan dari Aliansi Masyarakat Peduli Ternak. Dibentuk sejak tahun 2005, Geng Motor Imut awalnya beranggotakan 15 orang. Selain cinta otomotif, mereka awalnya kerap berdiskusi mengenai masalah pertanian dan peternakan. Dengan demikian, sembari berkeliling layaknya geng motor, mereka memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai ilmu yang dikuasai.

Bagi Noverius, geng Imut adalah sebuah gerakan pembelajaran dengan filosofi berbagi ilmu sebelum ajal. Dia beralasan, setinggi apa pun pendidikan yang sudah dicapai seseorang, semua menjadi sia-sia bila tidak pernah diamalkan demi kebaikan sesama. Moto mereka, ”tapaleuk urus ternak”. Tapaleuk dalam bahasa Kupang bisa diartikan sebagai jalan-jalan dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk berbincang dengan orang lain.

Enam tahun sejak berdiri, geng Imut sudah menyambangi 20 kelurahan di NTT yang tersebar di tujuh kabupaten dan tujuh pulau. Mereka juga merangkul geng motor lain yang semula hanya meresahkan masyarakat untuk diarahkan kepada kegiatan yang bermanfaat. Dimulai dari 15 orang, kini anggota Geng Motor Imut mencapai lebih dari 100 orang. Forumnya di jejaring sosial Facebook pun diikuti oleh 700 pengguna lain sebagai ajang diskusi mengenai isu lingkungan yang diselesaikan dengan cara murah, mudah, dan ramah lingkungan.

Biogas
Dalam perjalanan ke sejumlah daerah, geng Imut tidak hanya menularkan ilmu yang didapatkan dari sekolah maupun perguruan tinggi. Mereka juga menciptakan peralatan yang memudahkan hidup masyarakat, salah satunya pembuat biogas menggunakan drum bekas. Penggunaan drum lebih masuk akal dibandingkan dengan lembaran plastik seperti di daerah lain, misalnya Kabupaten Bandung, Jawa Barat. ”Pasalnya, plastik sulit didapatkan di Kupang karena harus didatangkan dari Pulau Jawa, sementara drum sangat berlimpah karena digunakan untuk wadah bahan bakar minyak,” kata Noverius.

Keengganan pemilik hewan ternak untuk mencampur kotoran di bak penampungan biogas juga diakali geng Imut. Menggunakan sepeda statis, pemilik hanya perlu mengayuh untuk mencampur kotoran ternak. Kayuhan selama dua jam menghasilkan cukup daya listrik untuk penerangan di waktu malam selama tiga jam.

Geng Imut juga membuat blok suplemen pakan gula lontar untuk mengatasi sulitnya mendapatkan pakan ternak. Pakan ternak sangat melimpah sewaktu musim hujan dan bisa sebaliknya sewaktu musim kemarau. ”Dengan diolah menjadi blok pakan, peternak memiliki pakan yang bisa disimpan hingga tiga tahun atau memiliki nilai ekonomis bila dijual,” katanya.
Pengolahan limbah ternak menjadi biogas mengantarkan geng Imut mendapatkan dua penghargaan, yakni Academia Award dari Forum Academia NTT pada tahun 2010 serta 103 Inovasi Indonesia dari Kementerian Riset dan Teknologi pada tahun 2011.

Desalinator air laut
Geng Motor Imut juga membuat desalinator atau pengubah air laut menjadi air tawar untuk bisa dikonsumsi. Penemuan tersebut dimanfaatkan betul oleh penduduk Pulau Sabudi, Kabupaten Sabu-Raijua, yang kesulitan mengakses air tawar untuk dikonsumsi. Untuk mendapatkan air tawar, warga harus meninggalkan pulau mereka dan membeli jeriken berkapasitas 40 liter seharga Rp 25.000.

Namun, dengan penemuan yang diberi nama Desalinator Imut, yang sepenuhnya memanfaatkan sinar matahari, persediaan air tawar bukan masalah lagi. Penelitian tersebut berbuah penghargaan empat besar dalam Mandiri Young Technopreneur Award 2011.

Cara kerja desalinator itu memanfaatkan prinsip penguapan. Air laut yang diletakkan di bak penampung akan naik suhunya hingga 70 derajat celsius sehingga menguap. Uap air yang sudah tawar menempel ke bagian penutup bak dan mengalir menurut kemiringan menuju pipa ke penampungan air tawar. ”Air berkadar garam yang tersisa bisa dicampur iodium kemudian dijemur lagi untuk mendapatkan garam yang bisa dijual sebagai tambahan mata pencarian,” kata Noverius.

Angkat tradisi
Semangat Geng Motor Imut untuk berinovasi ternyata tidak menyurutkan kebanggaan atas nilai dan tradisi lokal, terutama berkaitan dengan perawatan ternak. Noverius mengaku, kelompoknya terang-terangan membangkang kebijakan veteriner yang mengharuskan hewan sakit ditangani oleh dokter hewan. Karena keterbatasan personel, mereka mengembangkan dukun ternak untuk mengobati ternak sakit berdasarkan ramuan yang sudah lama dikenal masyarakat Kupang.

Salah satu resep yang dibagi adalah mengobati cacing pada mata ternak yang bisa mengakibatkan kebutaan. Dengan memanfaatkan getah dari tumbuhan yang mereka sebut koleng susu, yang diteteskan sehari dua kali, ternak tersebut akan terbebas dari kondisi tersebut setelah sepekan perawatan.

Di kepala Noverius, masih tersimpan banyak ide untuk pengembangan Geng Motor Imut di masa mendatang. Yang pasti, dia takkan mengkhianati filosofi dasar yang dianut kelompok itu, berbagi ilmu sebelum ajal. Selama hayat masih di kandung badan, masih banyak ilmu maupun pengabdian yang akan dibaginya di lingkungan Pemerintah Kota Kupang ini. (Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo)

Sumber: Kompas Cetak 18 Februari 2012

Flores: Keelokan yang Dilupakan

Alam Flores
NAMA Pulau Flores berasal dari bahasa Portugis, ”Copa de Flores” yang berarti Tanjung Bunga. Nama ini secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Flores sendiri punya nama asli Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular.

Pulau yang memiliki luas sekitar 14.300 kilometer persegi ini merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini dibagi menjadi delapan kabupaten. Kabupaten Flores Timur yang beribu kota di Larantuka ada di ujung timur, sementara Kabupaten Manggarai Barat dengan ibu kota Labuan Bajo ada di ujung barat.

Flores memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Sejumlah gunung berapi aktif yang ada di pulau ini membuat wilayah ini cukup subur untuk lahan pertanian. Gunung Kelimutu di Kabupaten Ende yang memiliki danau kawah tiga warna merupakan keajaiban alam tiada dua.



Hamparan padang sabana di Nagekeo dan Ngada serta lembah pegunungan di Ruteng menghadirkan pemandangan alam yang memesona. Penemuan fosil manusia purba di Liang Bua yang berada di lembah pedalaman Ruteng semakin mengukuhkan Flores sebagai tempat kehidupan sejak ribuan tahun lalu.

Suku bangsa di Flores merupakan perpaduan Melayu, Melanesia, dan Portugis. Perpaduan unik ini menghadirkan keberagaman karya seni dan budaya yang tercermin dari banyaknya tradisi dan upacara adat. Selain itu, salah satu kekayaan budaya Flores terlihat dari beraneka pola tenun ikat yang kini mulai dilirik dunia mode.

Namun, di balik keelokannya, Pulau Flores senantiasa tenggelam dalam ketertinggalan. Lahirnya banyak tokoh cendekiawan dari Flores diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat kampung halaman mereka. Akhirnya, tak akan terdengar lagi kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan karena Flores kaya akan segalanya. (IWAN SETIYAWAN)

Sumber: Kompas

Bepergian di Kupang, Jangan Lupa Kernet

Oleh Frans Sarong

Kawanan mobil lagi-lagi berhenti merangkak maju. Pengemudi mobil paling depan berhenti sebelum memastikan kondisi titian kayu yang harus dilalui. Saat seperti ini, Markus Motu, pegawai bagian Protokol Kabupaten Kupang di Nusa Tenggara Timur, berganti peran sebagai kernet. Ia bergerak cepat memandu kendaraan agar tidak terpeleset atau kandas.

Kejadian itu adalah penggalan kisah perjalanan Bupati Kupang, Ayub Titu Eki bersama rombongannya – termasuk Kompas – ketika menyusuri jaringan jalan yang rata-rata bermedan berat di wilayah Kecamatan Takari hingga Lelogama dan sejumlah kecamatan di Amfoang, akhir Juni lalu.

Perjalanan itu sebenarnya dengan agenda khusus mengikuti ritual panen madu atau hel oni di kabupaten tetangga, Timor Tengah Selatan (TTS), persisnya di Desa Noebesi, Kecamatan Numbena. Ayub Titu Eki adalah pemangku utama hak ulayat yang wilayah adatnya meliputi kawasan Lelogama dan Amfoang (Kupang) hingga Noebesi dan sekitarnya di TTS.


Jaringan jalan yang menghubungkan wilayah kecamatan, apalagi hingga pedesaan di kawasan itu sungguh terabaikan. Sebagian jaringan jalan yang pernah diaspal, kini telah hancur dan berlubang-lubang. Lapisan pasir bahkan sudah terkelupas hingga hanya menyisahkan gundukan batu tajam dan liar. Kondisi jalan seperti itu sudah disaksikan sejak lepas jalan beraspal mulus Lintas Timor di Takari, 72 km timur Kota Kupang. 

Sebagai misal di Oaem, Desa Kauniki, Kecamatan Amfoang Tengah, kendaraan tangguh dan berusia muda sekalipun, harus meraung-raung menerobos tanjakan tajam, hancur dan berlubang lubang. Setiap mobil di belakangnya harus dalam jarak aman. Posisi itu untuk menghindari kemungkinan terjadinya tabrakan atau benturan ketika mobil di depannyia terpaksa mundur setelah gagal menaklukkan tanjakan. 

Kondisi serupa disaksikan ketika memasuki kawasan Hutan Ampupu di Amfoang Selatan. Kendaraan harus merangkak pelan untuk menghindari gundukan batu liar atau lubang dalam yang amat sering menghadang. Perjalanan bahkan terus mendebarkan jantung karena amat sering harus menyusuri jalan bertanjakan tajam melalui pinggang dan punggung bukit bertebing terjal.

Perjalanan bertambah mendebarkan ketika masuk wilayah pedesaan. Lintasan yang dilalui rata-rata masih berupa jalan tanah rintisan awal bahkan masih liar. Kendaraan harus merangkak lebih pelan agar tidak sampai membentur gundukan batu atau terperosok ke dalam lubang atau tebing. 

Ketika menyusuri medan seperti itu terutama antara Fatumonas – Binafun hingga Noebesi, peran Markus Otu sebagai kernet dadakan menjadi sangat membantu. Dalam perjalanan antara Fatumonas hingga ujung Binafun atau perbatasan dengan Desa Noebesi yang berjarak hanya sekitar 8 km saja, Markus Otu setidaknya empat kali harus bergerak cepat memandu antrean mobil ketika harus melintasi titian darurat atau gundukan batu tajam. Panduannya juga tetap dibutuhkan ketika kawanan mobil harus menerobos sejumlah alur sungai yang belum dilengkapi jembatan. 

“Jaringan jalan di kawasan ini belum layak dilalui kendaraan. Kondisi jalan seperti ini cocoknya untuk penggembalaan sapi,” ungkap Jonisius Sae, Anggota DPRD Kabupaten Kupang, yang juga bersama dalam perjalanan itu. 

Gambaran wilayah masih terisolasi sangat tegas di Fatumonas, Binafun dan sejumlah desa lain kawasan Lelogama. Tidak pernah kelihatan armada angkutan pedesaan yang melintas. Puluhan warga penerima beras untuk orang miskin (raskin) di Fatumonas, harus berjalan kaki pergi pulang sejauh kurang lebih 15 km dari kampung asal mereka di Binafun. 

“Kami tidak tahu kapan angkutan umum bisa tembus hingga Fatumonas atau Binafun. Mungkin masih menunggu lama karena jalannya masih buruk. Kami mengharapkan pemerintah secepatnya membangun jalan hingga desa kami,” tutur Erasmus Nai Suni (38) asal Binafun, dengan pikulan dua karung beras (50 kg) raskin di punggungnya.
Janji Direktur Transportasi

Pulau Timor sejak lama memiliki jaringan jalan utama beraspal mulus peninggalan rezim Orde Baru. Namanya Lintas Timor, menghubungkan seluruh kota di Pulau Timor bagian NTT hingga Dili, ibu kota negara baru, Timor Leste. 

Sejauh ini tidak sedikit pengunjung dari luar daerah terkecoh oleh kemulusan Lintas Timor. Bila hanya mengunjungi Kota Kupang dan sejumlah kota kabupaten di Timor seperti Soe (TTS), Kefamenanu (Timor Tengah Utara/TTU) dan Atambua (Belu), maka praktis hanya menyusuri Lintas Timor. Dengan demikian mereka hanya memiliki gambaran bahwa kondisi jalan di Timor mulus, tanpa pembanding kondisi jaringan jalan pendukung yang yang menghubungkan wilayah kecamatan dan pedesaannya yang rata rata berantakan. 

Negara baru Timor Leste selain dengan wilayah bagian timur Pulau Timor, juga memiliki wilayah enclave Ambenu atau Oekusi di tepi utara Kabupaten TTU. Oekusi juga berbatasan langsung dengan Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS. 

Jika Kupang – Dili terhubung melalui Lintas Timor, maka Kupang – Oekusi melalui jaringan jalan yang disebut poros tengah. Total jaraknya sekitar 130 km berawal dari persimpangan Lili di Kecamatan Fatuleu (Kupang) – Tamini – Supra – Lelogama – Fatumnasi hingga Oepoli – perbatasan dengan Oekusi. Jaringan jalan itu selain menyentuh hingga perbatasan negara , juga sekaligus akan membuka isolasi wilayah setidaknya 11 kecamatan, yakni 7 kecamatan di Kabupaten Kupang dan masing masing dua kecamatan di TTS dan TTU. Jaringan jalan yang dilalui rombongan Bupati Titu Eki akhir Juni lalu itu, sebagiannya adalah jalan poros tengah. Kondisi fisik jalan rata rata hancur dan sangat menyulitkan kendaraan berlalu lintas. 

Kata Ayub Titu, jalan desa yang menghubungkan Binafun – Bon Mufi – Bitobe di kawasan itu akan dibenahi melalui dana proyek nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) senilai Rp 5 miliar. Namun bupati yang belum dua tahun menjabat itu mengakui jika sebagian besar wilayah pedesaan kabupatennya masih sangat terisolasi. 

“Dengan daya yang sangat terbatas, saya akan berusaha membenahi transportasi daerah ini hingga wilayah pedesaannya secara perlahan terbebas dari keterisolasian. Saya sadari betul, kehidupan warga sulit berubah secara ekonomis jika kawasannya masih terisolasi,” tuturnya. 

Namun agenda utama yang harus terus diperjuangkan adalah perbaikan jaringan jalan poros tengah yang berstatus jalan negara. Dengan demikian, pembenahannya adalah tanggung jawab pemerintah pusat di Jakarta. 

Seperti dipaparkan Ayub Titu Eki, Direktur Transportasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Trihartono tahun lalu pernah menjanjikan pengaspalan jaringan jalan poros tengah dari Lili hingga Maupoli (130 km). Katanya, pemerintah pusat memberi perhatian serius atas pelaksanaan proyek itu karena akan membuka isolasi tiga wilayah kabupaten (Kupang, TTS dan TTU), sekaligus menghhubunhgkan Kota Kupang – Oekusi (Timor Leste). 

Selain itu, daerah di sekitar jaringan jalan poros tengah merupakan sentra peternakan sapi , madu dan berbagai potensi ekonomi lainnya. Jaringan jalan itu juga akan berperan penting untuk pengawasan dan pengamanan daerah pernatasan yang sejauh ini sering terjebak dalam ketegangan. 

Belum bisa dipastikan kapan janji pejabat Bappenas itu akan terwujud. Namun Bupati Kupang Ayub Titu Eki dan dua rekan bupati lainnya yang wilayahnya dilalui jaringan jalan poros tengah, bersama masyarakat setempat terutama dari kawasan terisolasi , tetap menunggu bahkan menagih janji Direktur Transportasi Bappenas, Bambang Trihartono. *

Sumber: Kompas

Anggota Klub Tonil Bung Karno yang Tersisa

Umar Gani
Oleh Samuel Oktora

Dalam masa pembuangan politik di Ende, Nusa Tenggara Timur, sepanjang tahun 1934-1938, Bung Karno membentuk sebuah grup tonil sebagai strategi untuk menggelorakan revolusi. Umar Gani (93) adalah satu dari 47 anggota tonil itu. Dia kini menjadi satu-satunya saksi yang masih hidup.

Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT Kompas menemui Umar Gani pada pertengahan Oktober lalu di rumahnya di Kelurahan Paupanda, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, dan mendengarkan banyak kenangan manisnya.

Pagi itu, rumah Umar dipenuhi sanak saudaranya. Ternyata, pada hari itu akan digelar pesta pernikahan salah seorang cucunya.

Umar yang mengenakan sarung dan kopiah melangkah pelan menuju ruang tamu ditopang tongkat kayu di tangan kanannya. Ny Nur Laela (52), seorang menantunya, membantu dengan memegangi tangan kirinya.

Menurut Ny Nur, ketika disampaikan ada wartawan yang mau wawancara seputar Bung Karno, Umar langsung antusias dan lupa akan kelemahan tubuhnya. Umar minta digantikan baju dengan kaus yang ”berbau” Bung Karno, kaus merah berkerah, kenang-kenangan dari Yayasan Bung Karno.



”Maaf, saya kurang dengar Nak, maklum sudah tua,” kata bapak dari 5 anak dan 23 cucu itu sembari duduk di kursi plastik, saat memulai pembicaraan.
Untuk berbicara dengan Umar, suara harus dikeraskan. Sejumlah kata atau topik pembicaraan pun harus diulang-ulang untuk merangsang daya ingatnya.
Waktu Bung Karno tiba di Ende, Umar berusia 17 tahun. Grup Tonil Kelimoetoe yang dibentuk Bung Karno mulai pentas tahun 1936. Umar masih ingat benar jumlah anggota tonil ada 47 orang, dan yang biasa pentas di gedung Paroki Imakulata, Ende, sekitar 10 orang. Selain Umar, semua anggota tonil Kelimoetoe kini telah tiada.

”Ibrahim Haji Umar Sjah dan Jae Bara sudah almarhum. Pak Ibrahim semacam asisten sutradara,” Umar menyebut beberapa anggota yang diingatnya.
Umar mengenang, yang mengarang naskah cerita dan menyutradarai adalah Bung Karno. Bahkan, yang membuat layar atau dekorasi panggung, termasuk kostum lakon sandiwara, juga Bung Karno dibantu istrinya, Inggit Garnasih, serta anaknya, Ratna Djoeami.

Menurut Umar, selama dibuang di Ende, Bung Karno membuat 12 naskah tonil. Semuanya bernapaskan revolusi menuju kemerdekaan Indonesia. Judul naskah itu antara lain Rahasia Kelimoetoe, Rendo, Jula Gubi, KutKutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Dr Setan, Nggera Ende, Amuk atau Nggera Ende II, Sanghai Rumba, dan Indonesia’ 45. Umar ikut bermain dalam sandiwara berjudul Rahasia Kelimoetoe dan Rendo.

Bagi Umar, kesan yang tak bisa hilang dari ingatan adalah lelahnya anggota tonil mempersiapkan pementasan. Proses latihan biasa dilakukan sampai 40 hari, bahkan lebih untuk satu lakon. Latihan biasanya dilakukan malam hari di rumah pengasingan Bung Karno, yakni rumah milik Abdullah Ambuwaru di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kota Ratu, yang belakangan dijadikan sebagai Museum Bung Karno.

Pemimpin rendah hati
Umar melihat Bung Karno sebagai sosok pemimpin yang rendah hati. ”Beliau berpendidikan tinggi, tapi dapat berbaur dengan masyarakat kecil,” katanya.
Kondisi sulit saat itu membuat Bung Karno hanya bisa berhubungan leluasa dengan masyarakat biasa. Kalangan pembesar, keluarga raja, petinggi, dan pegawai pemerintah Belanda takut dekat-dekat dengan Bung Karno karena bisa terkena sanksi dari Pemerintah Belanda.

Selama di Ende, Bung Karno malah dekat dengan para pastor Katolik dari tarekat Serikat Sabda Allah (SVD). ”Pastor pula yang memberi tempat gedung Imakulata untuk pementasan tonil. Para pastor kalau menonton gratis,” kata Umar.

Hari Minggu, setiap selesai latihan atau pementasan, Bung Karno bersama keluarga mengajak anggota kelompok pengajian dan anggota klub tonil piknik keluar kota. Umar pernah ikut piknik ke kawasan Nangapanda, Nangaba, Wolowona. Yang paling jauh ke Danau Triwarna Kelimutu yang berjarak sekitar 55 kilometer dari kota Ende. Saat tamasya digunakan oleh Bung Karno untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat Ende yang pada waktu itu umumnya berpendidikan rendah, sebagai nelayan dan petani kelapa.

”Seingat saya, Bung Karno pernah mengajak piknik dua kali ke Danau Kelimutu, tapi yang satu kali tidak mendapat izin dari Pemerintah Belanda. Bung Karno waktu itu hanya boleh jalan-jalan dengan radius sekitar tiga kilometer dari rumah, selebihnya harus mendapat izin,” Umar mengenang.

Suatu kali, di dekat aliran sungai, dekat Stadion Marilonga Ende di kawasan Wolowona, kata Umar, Bung Karno mengajarkan lagu Indonesia Raya dan Di Timur Matahari. Karena ada mata-mata yang melapor ke polisi dan raja, Bung Karno dipanggil polisi dan didenda.

Bung Karno juga sering duduk di sebuah batu di bawah pohon sukun, yang terletak di Lapangan Perse (sekarang Lapangan Pancasila). Di bawah pohon sukun itu, Bung Karno banyak merenung. Konon di situ pula Bung Karno mendapatkan inspirasi tentang Pancasila yang kini menjadi dasar negara.

”Bung Karno suka duduk menghadap ke pantai, biasanya sehabis shalat subuh atau saat bulan terang. Beliau keluar rumah untuk jalan-jalan ke pantai, lalu duduk-duduk di bawah pohon sukun itu,” ujar Umar.

Ikut menjadi pelaku sejarah bersama Bung Karno dalam masa pembuangan di Ende menjadi hal yang paling mengesankan dan membanggakan diri bagi Umar Gani. Dia pun tak jemu-jemu menceritakan kepada anak cucunya, terutama nilai-nilai yang diwariskan Sang Proklamator. Meski usia Umar sudah sangat lanjut, semangatnya tak pernah surut.*

Sumber: Kompas

Matahari dari Timur

Keterpurukan sektor pendidikan di Nusa Tenggara Timur memprihatinkan jika melihat sejarah panjang pendidikan di provinsi ini. Jika diibaratkan bangunan, pendidikan di NTT semestinya telah berdiri dengan fondasi kokoh.

Jika merunut sejarah awal pendidikan NTT, sekolah pertama didirikan oleh misionaris Katolik (Pastor Yesuit) di Larantuka tahun 1862. Hal itu tertulis dalam buku Eduard Jebarus Pr, berjudul Sejarah Persekolahan di Flores (2008). Berarti, lembaga pendidikan di NTT paling tidak sudah berusia 148 tahun. Bukan sebuah perjalanan yang singkat.

Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero di Kabupaten Sikka, misalnya, dikenal sebagai "Matahari Intelektual dari Timur". Sejak tahun 1983, lembaga pendidikan tinggi yang mempersiapkan calon imam ini mengirimkan sedikitnya 300 mahasiswa dan lulusannya ke luar negeri, antara lain ke Amerika Latin, Afrika, Eropa, juga Rusia.


Kualitas lulusan STFK Ledalero diakui secara internasional dan tersebar di 60 negara. Sejumlah dosen di lembaga ini sering diminta menjadi pembicara di luar negeri, baik di Australia, Asia Pasifik, maupun Eropa.

”Prestasi akademik yang diraih itu dasarnya adalah kedisiplinan dan kultur belajar yang kuat,” kata Pembantu Ketua III STFK Ledalero Romo Siprianus Hormat Pr.

Kecenderungan penurunan mutu lulusan SMP dan SMA di NTT, menurut Romo Siprianus, tidak berpengaruh signifikan terhadap mutu STFK Ledalero.
Mahasiswa yang diterima umumnya dari SMA seminari yang persentase kelulusannya 95-100 persen. Kultur belajar SMA seminari sama dengan STFK Ledalero karena siswa diasramakan dengan pengawasan ketat.

Calon mahasiswa STFK Ledalero dites dengan standar akademik yang ditetapkan institusi itu. Jika dalam tiga semester pertama tidak mampu mencapai indeks standar akademik yang ditetapkan, mahasiswa akan dikeluarkan.

Menurut Romo Siprianus, kualitas lulusan STFK Ledalero terjaga baik. Indikatornya, kinerja mereka di lingkungan paroki-paroki, lembaga pendidikan, dinilai baik. Selain itu, banyak juga yang melanjutkan studi ke luar negeri.

Di level internasional, Romo Siprianus mencontohkan ada Pater Markus Solo SVD yang kini bertugas di Vatikan menangani hubungan antar-agama di Asia Tenggara, ada pakar etika politik yang meraih gelar doktor di Jerman, Pater Otto Gusti Madung SVD. STFK Ledalero juga mempunyai profesor di bidang filsafat, Pater Konrad Keboang SVD.

STFK Ledalero juga banyak menghasilkan pekerja media, pemikir, dan ilmuwan di tingkat nasional, antara lain Daniel Dakidae dan Ignas Kleden.
Menurut Romo Siprianus, untuk memperbaiki mutu pendidikan NTT, sebagai lembaga pendidikan tinggi, pihaknya dapat menyumbangkan pikiran-pikiran kritis bagi para pengambil kebijakan di bidang pendidikan maupun mendidik guru.

”Setidaknya melalui para lulusan STFK Ledalero yang duduk di DPRD dan birokrasi, antara lain Isidorus Lilijawa di DPRD Kota Kupang, Piet Jelalu di DPRD Kabupaten Sikka, juga Yoseph Lagadoni Herin (Wakil Bupati Flores Timur periode 2005-2010, yang kini maju dalam pilkada periode 2010-2015),” katanya.

Menjadi tantangan NTT, apakah Ledalero mampu terus bersinar dan bahkan membuat semua sekolah di NTT bersinar bersamanya? Harus dipastikan yang terjadi bukan sebaliknya. (SEM)

Sumber: Kompas

Ende: Rahim Pancasila

Soekarno menuturkan itu dalam biografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Bung Karno juga bercerita, tempat menyendiri yang paling dia gemari adalah di bawah pohon sukun (Artocarpus communis) yang menghadap ke laut. Dari perenungannya, Bung Karno menyadari bahwa semangat untuk meraih kemerdekaan tidak bisa berhenti. Namun, tak bisa lepas dari kehendak semesta.

Rumah beratap seng di Jalan Perwira, Ende, menjadi saksi bisu keberadaan Soekarno di Ende, 75 tahun silam.

Di dalam rumah itu tersimpan sejumlah barang peninggalan Soekarno. Dalam sebuah lemari kaca ada dua tongkat kayu yang biasa dibawa Soekarno. Salah satunya ada kepala monyet di ujungnya. Tongkat itu biasa digunakan Bung Karno ketika berbicara dengan penguasa kolonial, sebagai bentuk satire.
Di dinding ruang depan tergantung lukisan foto diri Soekarno karya Affandi yang pudar termakan usia dan suhu lembab. Begitu juga lukisan cat minyak perempuan Bali sedang sembahyang karya Bung Karno serta dokumentasi foto Bung Karno bersama istri, Inggit Ganarsih, dan teman-teman.


Dalam lemari kaca juga ada map berwarna oranye yang sudah pudar berisi naskah-naskah tonil karya Bung Karno. Selama masa pembuangan di Ende, Bung Karno menghasilkan 13 judul tonil untuk mengobarkan semangat rakyat mengusir Belanda. Judulnya: Rahasia Kelimutu (dua seri), Tahun 1945, Nggera Ende, Amuk, Rendo, Kutkutbi, Maha Iblis, Anak Jadah, Dokter Setan, Aero Dinamik, Jula Gubi, dan Siang Hai Rumbai.

Pengikut setia Soekarno, Djae Bara, sebelum meninggal akhir 1990-an, pernah memaparkan kepada Kompas bahwa dalam satu karya tonil tahun 1935- 1936, Bung Karno meramalkan Indonesia akan merdeka tahun 1945. Kemerdekaan itu tidak direbut dari Belanda, melainkan dari sesama bangsa Asia.

Sayang, sebagian naskah tonil itu kini tidak jelas keberadaannya. Menurut penjaga situs Bung Karno, Safruddin Pua Ita, yang tersimpan di Ende hanya tujuh naskah salinan dari hasil prakarsa Ibrahima Umarsjah (almarhum), asisten sutradara Bung Karno, tahun 1980-an. Ibrahima merangkai kembali potongan naskah berdasarkan penuturan para pengikut setia Soekarno, yang juga pemain sandiwara.

Safruddin adalah cucu Abubakar Damu (almarhum), salah satu pengikut setia Bung Karno di Ende. Tugas Safruddin tidak ringan. Perawatan situs mengandalkan uang derma pengunjung. Dalam sebulan, sumbangan terkumpul tidak lebih dari Rp 500.000. Honor Safruddin Rp 200.000 per bulan yang dibayar tiga bulan sekali.

Sekitar 100 meter dari rumah, di Lapangan Perse, ada pohon sukun tempat Bung Karno biasa merenung. Pohon itu lebih dikenal sebagai ”pohon Pancasila”. Sejak tahun 2000, nama Lapangan Perse pun diganti menjadi Lapangan Pancasila.

Gedung Imakulata—milik paroki katedral Ende, tempat Bung Karno mementaskan tonil-tonilnya, di Jalan Irian— rusak parah. Tangga dan atap gedung hancur.
Kesaksian

Sejauh mana pengalaman Soekarno di Ende berpengaruh dalam merumuskan Pancasila belum banyak terungkap. Banyak saksi mata sudah tiada. Dari 47 anggota grup tonil Kelimoetoe yang dibentuk Bung Karno, tinggal satu orang tersisa, yaitu Umar Gani (93).

Di kediamannya di Kelurahan Paupanda, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Umar menuturkan, rumusan tentang Pancasila, terutama prinsip ketuhanan dan keadilan sosial, berkembang dalam pemikiran Bung Karno selama di Ende. Menurut Umar, Bung Karno terkesan pada kerukunan hidup antarumat beragama di Ende saat itu.

Hasil penelitian Yuke Ardhiati, arsitek profesional yang juga pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti, pemikiran Bung Karno di Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat itu, Bung Karno menyebut sebagai Lima Butir Mutiara.

Bupati Ende Don Bosco Wangge juga menyebut Ende sebagai ”rahim” Pancasila. 
”Sejarah perjuangan bangsa kita tak utuh tanpa pengakuan kalau Pancasila dikandung di Ende,” katanya.

Minimnya infrastruktur fisik dan sosial membuat NTT terisolasi dan berkubang dalam kemiskinan. Banyak bantuan, dari dalam maupun luar negeri, dikucurkan, tapi NTT tetap dihantui rawan pangan, gizi buruk, mutu pendidikan rendah, pengangguran, dan kemiskinan.

Ende dan sejumlah kabupaten lain di NTT masih jauh dari standar maju dan makmur sebagaimana dibayangkan Bung Karno. Karena itu, perjuangan untuk pemerataan kesejahteraan harus terus dilakukan.(ANS/SEM/SUT)

Sumber: Kompas

DANIEL WATU: Kerisauan Ahli Waris Musik Bambu Ngada

Daniel Watu
Oleh Samuel Oktora dan Khaerul Anwar

Alat musik ini mirip seruling, terbuat dari bambu. Bedanya, seruling ini memiliki dua tabung. Kedua tabung itu disambungkan sedemikian rupa sehingga embusan angin dari sang peniup bisa terbagi ke dua tabung tersebut. Alat musik itu disebut Foy doa.

Tim Ekspedisi Jejak Peradaban Nusa Tenggara Timur menemukan alat musik itu ketika bergerak ke Kabupaten Ngada, Pulau Flores, NTT. Kabupaten ini terletak di barat Ende. Kawasan ini ditempuh sekitar tiga jam perjalanan darat dengan mobil.

Di Kabupaten Ngada terdapat banyak jenis alat musik etnik bambu yang unik. Ada Bhiru lilu, misalnya, seruling sepanjang 15 sentimeter (cm) yang memiliki dua lubang sekitar 0,5 cm di tengah-tengahnya.

Satu lubang berfungsi untuk meniupkan udara, sedangkan satu lubang lagi yang berdiameter lebih kecil mampu melahirkan nada kres. Sementara bagian kiri-kanannya menjadi tangga nada. Ada juga alat musik Teko reko, semacam kulintang yang memiliki tujuh tangga nada.


Nada pentatonik itu agaknya ”turunan” alat musik tradisional Gong Gendang, yang didominasi gong kecil (mirip gambang keromong, alat musik Betawi), dengan tangga nada wela (sol), uto-uto (fa), duru/dere (mi), dan doga (nada do dan re).

Sayangnya, alat musik etnik tersebut nyaris punah. Di Ngada sudah tidak banyak lagi orang yang bisa memainkan alat musik itu, apalagi membuatnya. Tinggal Daniel Watu, pria berusia 62 tahun yang tinggal di Kampung Woloroa, Desa Sarasedu, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, yang masih setia dan gigih menekuni alat musik etnik tersebut.

Belum ada orang yang mau mengikuti jejak musisi tua itu untuk memelihara dan menyelamatkan musik bambu Ngada dari kepunahan.
Warisan

Bisa dikatakan, Daniel adalah satu-satunya sosok yang memiliki keterampilan paripurna dan sangat mencintai alat musik tradisi Ngada itu. Dia belajar musik bambu itu dari ibunya, Elisabeth Baba (85).

Saking cintanya kepada sang bunda dan musik bambu, Daniel bercerita, dahulu dia sampai sering membolos dari sekolah. ”Saya kemudian bertemu kepala sekolah, saya minta berhenti,” kata Daniel mengenang.

Dia kemudian mengisi hari-harinya dengan bertani, juga memainkan Foy doa dan mencipta lagu. Banyak lagu berhasil dia ciptakan dari keakrabannya memainkan musik bambu.

”Kalau tidak salah, sekitar 30 lagu yang saya ciptakan,” kata Daniel seraya membolak-balik lembaran buku lusuh berisi dokumentasi lagu-lagu karyanya.
Lagu-lagu ciptaan Daniel kebanyakan bertema rohani, ajaran cinta kasih, atau tentang keseharian kehidupan petani peladang yang merupakan mata pencarian umumnya penduduk di Ngada.

Lagu berjudul ”Wula kasu da te’a” (Saat Padi Menguning), misalnya, berkisah tentang keriangan para petani yang terbebas dari pekerjaan di ladang untuk sementara waktu sebelum kembali disibukkan dengan musim petik padi.
Lagu dia lainnya, ”Manu Naru” (Ayam Betina), mengisahkan seekor ayam betina yang dipinang ayam jantan dan induk ayam yang mengajak anak-anaknya untuk mengais-kais makanan.

Bersama rekannya bermain seruling, Johanes Wawo, lahir lagu ”Tuga Mori Rua” (Dua Anak Cukup) yang merupakan lagu pesanan dari pemerintah agar suami-istri mau mengatur jumlah kelahiran anaknya guna mengatasi ledakan jumlah penduduk. 

Mengandalkan perasaan
Pengembangan keterampilan membuat alat musik bambu diperoleh Daniel secara otodidak. Pria yang putus sekolah saat kelas I SMP ini bercerita, ia lebih mengandalkan perasaan saat menyelaraskan nada pada alat musik yang dibuatnya.

Setelah itu, dia baru mengecek kemampuan alat musik tersebut dengan membawanya ke paroki terdekat, menggunakan alat musik organ. Ternyata, 99 persen alat musik bambu karyanya memenuhi standar nada.
Bahan bambu alat musik buatan Daniel selalu diambil saat ”gelap bulan” pada musim kemarau atau dua minggu sebelum bulan purnama. Alasannya, ketika ”gelap bulan”, batang bambu bersih dari serbuk dan kutu kayu. Kondisi ini membuat bambu tahan lama. Bambu yang digunakan untuk membuat seruling adalah bambu pilihan, yaitu bambu betho (petung) berusia matang—sekitar dua tahun.

Dari pengalaman mengutak-atik bambu, Daniel berhasil mendesain seruling yang masing-masing memiliki nada tersendiri: B, G, A, Ais (Bes), B, C, dan D. Pada 2009, satu set (enam unit) alat musik bambu karyanya dibeli seorang pastor asal Manggarai, Flores, seharga Rp 3,5 juta.

Sebagian alat musik buatan Daniel dia simpan sendiri dan dipakai untuk berlatih bersama kelompoknya yang tergabung dalam Sanggar Persada. Latihan itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan mengisi acara pesta perkawinan, ritual potong gigi bagi gadis yang memasuki masa akil balik, serta syukuran setelah seseorang ditahbiskan sebagai imam dalam agama Katolik.

Sayang, karena kurang terawat, kondisi koleksi alat musik itu banyak yang dimakan kutu kayu.

Bercerita tentang bahan baku bambu untuk membuat seruling, Daniel tak pernah kesulitan mendapatkannya. Bambu tumbuh di sejumlah lokasi sekitar hutan kampung itu. Rumpun bambu setiap hari dia lewati saat pergi-pulang dari rumah ke kebun. ”Nenek moyang masih banyak punya (bambu),” katanya.

Kerisauan justru muncul karena ia belum tahu bagaimana bisa mewariskan keahliannya itu kepada generasi muda. Tak seorang pun dari anak-anaknya yang mau meneruskan keterampilannya itu. Padahal, menurut Daniel, mereka relatif sudah mahir memainkan seruling karena diajari sejak berusia dini.
”Setelah saya tidak ada, saya tak tahu nasib kesenian ini nanti,” katanya galau.*

Sumber: Kompas
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes