Anggota Klub Tonil Bung Karno yang Tersisa

Umar Gani
Oleh Samuel Oktora

Dalam masa pembuangan politik di Ende, Nusa Tenggara Timur, sepanjang tahun 1934-1938, Bung Karno membentuk sebuah grup tonil sebagai strategi untuk menggelorakan revolusi. Umar Gani (93) adalah satu dari 47 anggota tonil itu. Dia kini menjadi satu-satunya saksi yang masih hidup.

Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT Kompas menemui Umar Gani pada pertengahan Oktober lalu di rumahnya di Kelurahan Paupanda, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, dan mendengarkan banyak kenangan manisnya.

Pagi itu, rumah Umar dipenuhi sanak saudaranya. Ternyata, pada hari itu akan digelar pesta pernikahan salah seorang cucunya.

Umar yang mengenakan sarung dan kopiah melangkah pelan menuju ruang tamu ditopang tongkat kayu di tangan kanannya. Ny Nur Laela (52), seorang menantunya, membantu dengan memegangi tangan kirinya.

Menurut Ny Nur, ketika disampaikan ada wartawan yang mau wawancara seputar Bung Karno, Umar langsung antusias dan lupa akan kelemahan tubuhnya. Umar minta digantikan baju dengan kaus yang ”berbau” Bung Karno, kaus merah berkerah, kenang-kenangan dari Yayasan Bung Karno.



”Maaf, saya kurang dengar Nak, maklum sudah tua,” kata bapak dari 5 anak dan 23 cucu itu sembari duduk di kursi plastik, saat memulai pembicaraan.
Untuk berbicara dengan Umar, suara harus dikeraskan. Sejumlah kata atau topik pembicaraan pun harus diulang-ulang untuk merangsang daya ingatnya.
Waktu Bung Karno tiba di Ende, Umar berusia 17 tahun. Grup Tonil Kelimoetoe yang dibentuk Bung Karno mulai pentas tahun 1936. Umar masih ingat benar jumlah anggota tonil ada 47 orang, dan yang biasa pentas di gedung Paroki Imakulata, Ende, sekitar 10 orang. Selain Umar, semua anggota tonil Kelimoetoe kini telah tiada.

”Ibrahim Haji Umar Sjah dan Jae Bara sudah almarhum. Pak Ibrahim semacam asisten sutradara,” Umar menyebut beberapa anggota yang diingatnya.
Umar mengenang, yang mengarang naskah cerita dan menyutradarai adalah Bung Karno. Bahkan, yang membuat layar atau dekorasi panggung, termasuk kostum lakon sandiwara, juga Bung Karno dibantu istrinya, Inggit Garnasih, serta anaknya, Ratna Djoeami.

Menurut Umar, selama dibuang di Ende, Bung Karno membuat 12 naskah tonil. Semuanya bernapaskan revolusi menuju kemerdekaan Indonesia. Judul naskah itu antara lain Rahasia Kelimoetoe, Rendo, Jula Gubi, KutKutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Dr Setan, Nggera Ende, Amuk atau Nggera Ende II, Sanghai Rumba, dan Indonesia’ 45. Umar ikut bermain dalam sandiwara berjudul Rahasia Kelimoetoe dan Rendo.

Bagi Umar, kesan yang tak bisa hilang dari ingatan adalah lelahnya anggota tonil mempersiapkan pementasan. Proses latihan biasa dilakukan sampai 40 hari, bahkan lebih untuk satu lakon. Latihan biasanya dilakukan malam hari di rumah pengasingan Bung Karno, yakni rumah milik Abdullah Ambuwaru di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kota Ratu, yang belakangan dijadikan sebagai Museum Bung Karno.

Pemimpin rendah hati
Umar melihat Bung Karno sebagai sosok pemimpin yang rendah hati. ”Beliau berpendidikan tinggi, tapi dapat berbaur dengan masyarakat kecil,” katanya.
Kondisi sulit saat itu membuat Bung Karno hanya bisa berhubungan leluasa dengan masyarakat biasa. Kalangan pembesar, keluarga raja, petinggi, dan pegawai pemerintah Belanda takut dekat-dekat dengan Bung Karno karena bisa terkena sanksi dari Pemerintah Belanda.

Selama di Ende, Bung Karno malah dekat dengan para pastor Katolik dari tarekat Serikat Sabda Allah (SVD). ”Pastor pula yang memberi tempat gedung Imakulata untuk pementasan tonil. Para pastor kalau menonton gratis,” kata Umar.

Hari Minggu, setiap selesai latihan atau pementasan, Bung Karno bersama keluarga mengajak anggota kelompok pengajian dan anggota klub tonil piknik keluar kota. Umar pernah ikut piknik ke kawasan Nangapanda, Nangaba, Wolowona. Yang paling jauh ke Danau Triwarna Kelimutu yang berjarak sekitar 55 kilometer dari kota Ende. Saat tamasya digunakan oleh Bung Karno untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat Ende yang pada waktu itu umumnya berpendidikan rendah, sebagai nelayan dan petani kelapa.

”Seingat saya, Bung Karno pernah mengajak piknik dua kali ke Danau Kelimutu, tapi yang satu kali tidak mendapat izin dari Pemerintah Belanda. Bung Karno waktu itu hanya boleh jalan-jalan dengan radius sekitar tiga kilometer dari rumah, selebihnya harus mendapat izin,” Umar mengenang.

Suatu kali, di dekat aliran sungai, dekat Stadion Marilonga Ende di kawasan Wolowona, kata Umar, Bung Karno mengajarkan lagu Indonesia Raya dan Di Timur Matahari. Karena ada mata-mata yang melapor ke polisi dan raja, Bung Karno dipanggil polisi dan didenda.

Bung Karno juga sering duduk di sebuah batu di bawah pohon sukun, yang terletak di Lapangan Perse (sekarang Lapangan Pancasila). Di bawah pohon sukun itu, Bung Karno banyak merenung. Konon di situ pula Bung Karno mendapatkan inspirasi tentang Pancasila yang kini menjadi dasar negara.

”Bung Karno suka duduk menghadap ke pantai, biasanya sehabis shalat subuh atau saat bulan terang. Beliau keluar rumah untuk jalan-jalan ke pantai, lalu duduk-duduk di bawah pohon sukun itu,” ujar Umar.

Ikut menjadi pelaku sejarah bersama Bung Karno dalam masa pembuangan di Ende menjadi hal yang paling mengesankan dan membanggakan diri bagi Umar Gani. Dia pun tak jemu-jemu menceritakan kepada anak cucunya, terutama nilai-nilai yang diwariskan Sang Proklamator. Meski usia Umar sudah sangat lanjut, semangatnya tak pernah surut.*

Sumber: Kompas
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes