Pemerhati Teori Musik Tradisi NTT

Djony Teedens
Oleh Kornelis Kewa Ama

KOMPAS.com - Banyak jenis musik tradisional yang berkembang di tengah masyarakat Nusa Tenggara Timur tidak memiliki dasar teoretis. Musik tradisi itu muncul di kalangan masyarakat tertentu, berkembang, tetapi ada pula yang punah begitu saja. Padahal, musik lokal itu memiliki latar belakang sejarah, budaya, dan legenda tertentu.

Pemerintah daerah belum memberikan perhatian khusus terhadap musik-musik tradisional. Para seniman lokal mesti berjuang sendiri, membuat kreasi dan mengeluarkan modal pribadi untuk melakukan penelitian, melestarikan, sampai memperkenalkannya kepada publik. Bahkan kemudian menulis buku tentang musik tersebut.

Djony Teedens adalah salah seorang seniman NTT yang memiliki kepedulian besar terhadap musik-musik tradisi di daerah itu. Ia menyebut, ada ratusan jenis musik dan alat musik tradisi di NTT, tetapi yang masih bertahan hanya sekitar 20 jenis alat musik lokal.

Di antara jumlah yang sedikit itu, antara lain sasando dari Rote Ndao, foy doa dari Ngada, sasong dari Flores Timur, ketadomara dari Sabu Raijua, ada pula leku, khobe, dan feku dari Timor, serta jungga dari Sumba.


”Tetapi, dari 20-an alat musik tradisional itu, hanya 2-5 alat musik yang masih sering dilihat warga. Yang lain, meski masih ada, jarang diperdengarkan karena kalah bersaing dengan musik pop,” kata Teedens di Kupang, beberapa waktu lalu.

Menurut pengamatan Teedens, generasi muda tidak lagi meminati musik tradisional karena dianggap ketinggalan zaman, tidak bernilai ekonomis, iramanya tidak enak untuk berdansa, dan nadanya monoton atau membosankan. Kondisi itu menyebabkan banyak musik tradisional punah atau hilang.

Musik tradisional hanya bisa bertahan kalau memiliki nilai– nilai khusus bagi masyarakat penggunanya, seperti nilai mistis-magis, nilai pendidikan, persaudaraan, nilai ekonomis, nilai sejarah, keunikan dan keindahan. Setiap musik tradisional lahir dari kelompok masyarakat tertentu, memiliki legenda khas, seperti asal-usul suku atau kelompok masyarakat itu.

Sejumlah legenda tua di Timor, Flores, dan Sumba menyebutkan, keberadaan musik lokal dari daerah itu terkait kehadiran nenek moyang, yang mengisahkan legenda terbentuknya sebuah pulau, sejarah perang suku, pembentukan suku, dan tradisi beternak atau bertani.

Di Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan Belu, misalnya, feku sering digantung di depan rumah, bahkan di leher peternak untuk memanggil ternak sapi, babi, dan kerbau. Jika alat itu sudah dibunyikan, ternak akan bergerak menuju rumah atau mendekati tuannya. Namun, kini feku jarang digunakan. Penggembala ternak lebih suka menggunakan anjing untuk menghalau kawanan ternak.

Teori musik
Selama 51 tahun Provinsi NTT berdiri, musik tradisional tidak berkembang, bahkan cenderung punah. Teedens menyadari pentingnya musik-musik tradisional memiliki dasar teoretis sebagai pegangan dan agar mudah dipelajari, dikembangkan, dilestarikan, dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Jika suatu jenis alat musik ingin bertahan dan bersaing, ia tidak hanya asal dibunyikan.

Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini sejak tahun 1990-an menulis sejumlah buku teori dasar musik tradisi NTT, seperti teori alat musik sasando, foy doa, ketadomara, knobe, feku, dan heo.

Buku Teori Dasar Sasando yang disusun Teedens telah mendapat persetujuan Pemerintah Kota Kupang untuk menjadi bahan muatan lokal di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas di seluruh Kota Kupang mulai tahun ajaran 2011/2012.

Kini, ia sedang memberi kursus sasando kepada para guru musik se-Kota Kupang. Setiap pekan ada lima guru dari setiap sekolah yang mengikuti kursus sasando di pusat kursus musik ”Halelluya” milik Teedens di Kelurahan Naikoten, Kupang. Teedens membuka tempat kursus musik itu tahun 2003. Salah satu tujuannya adalah mempertahankan dan mengembangkan musik-musik tradisi NTT.

Ia berharap melalui para guru itu, sasando dapat berkembang di sekolah-sekolah dan masyarakat Kota Kupang. Suatu saat sasando menjadi mata pelajaran khusus di setiap sekolah di NTT. Saat ini sasando baru dikenal di kalangan warga Kota Kupang dari Suku Rote Ndao.

Di tempat kursus musiknya, tidak hanya warga Kupang yang belajar, tetapi juga warga Jakarta, Yogyakarta, bahkan dari Belanda, Jepang, dan Australia. Biasanya mereka mengikuti kursus kilat sasando selama masa liburan.
Di antara peserta kursus ada anak-anak berkebutuhan khusus. Anak-anak ini, menurut Teedens, memiliki kelebihan di bidang musik dan bidang seni lain sehingga perlu dikembangkan. Selain sasando, Teedens juga memberikan kursus gitar, keyboard, dan piano.

Pembinaan dan pelestarian
Dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, Teedens dipercaya pemerintah daerah untuk membina dan melestarikan musik tradisi NTT. Ia sering mengunjungi sanggar seni dan kerajinan yang tersebar di NTT untuk memberi petunjuk teoretis mengenai alat musik tradisi di daerah itu. 
”Kebanyakan pelaku dan penggiat seni tradisi tidak paham mengenai nada-nada yang dihasilkan alat musik itu. Mereka asal membunyikan saja,” katanya.
Teedens ingin mendirikan sekolah tinggi musik NTT sebagai upaya menggali dan mempertahankan musik-musik lokal NTT yang sedang terancam punah. Melalui sekolah tinggi musik, sejumlah musik tradisional yang sudah punah dapat digali dan dilestarikan lagi.

”Pemerintah pusat melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata serta Gubernur NTT sudah memberi lampu hijau. Semoga masyarakat NTT dan teman-teman pencinta seni NTT juga mendukung,” kata Teedens berharap.*

Sumber: Kompas
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes