KETIKA merasa kemampuan teorinya tentang pertanian sudah mencukupi, Zet Malelak tergerak untuk mempraktikkannya agar berguna bagi lebih banyak orang. Kebetulan pada saat bersamaan ada hal yang membuat dia tinggal di Dusun Uel, Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Zet Malelak bolehlah disebut sebagai salah seorang manusia ”langka” di NTT. Ia meninggalkan kehidupannya yang relatif mapan di Kupang dan memilih tinggal bersama sekitar 1.600 penduduk Dusun Uel. Kebetulan istrinya, pendeta Adriana Tanggela, juga bisa mendampinginya berkarier di dusun itu.
Dusun Uel bukan daerah subur. Kekeringan kerap melanda kawasan ini. Warga desanya juga miskin dan umumnya bermata pencarian sebagai buruh bangunan atau menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Tak heran, rata-rata tingkat pendidikan warga desa ini hanya sampai sekolah dasar.
Untuk mengubah perilaku masyarakat Dusun Uel, cerita Zet, dia memerlukan waktu tak kurang dari enam tahun. Penduduk dusun ini berasal dari empat suku, yakni Rote, Alor, Sabu, dan Flores. Mereka umumnya bertemperamen keras, bersikap masa bodoh, relatif pemalas, susah diatur, dan sangat suka pesta.
”Saya pelajari keseluruhan perilaku mereka. Saya ikut mereka ke kebun, ke laut, ke sawah, ke tempat pesta, dan tempat pertemuan mereka. Saya ingin tahu bagaimana sesungguhnya karakter mereka, untuk menentukan bagaimana cara mengubah perilaku mereka. Ini saya sebut rekayasa sosial,” kata Zet, pria asal Kabupaten Rote, saat ditemui di Kupang, beberapa waktu lalu.
Untuk mengubah perilaku hidup warga Uel, cara yang ditempuh Zet justru dengan melakukan terobosan yang cenderung melahirkan ”konflik” antarwarga. Ketika terjadi benturan kepentingan di antara mereka, muncullah ketergantungan pada satu sosok yang mereka percayai. Di saat seperti ini, Zet ”masuk” dan menerapkan visi dan misinya di Dusun Uel.
”Mendapatkan kepercayaan dari warga setempat itu penting. Kalau mereka sudah percaya kepada kita, biasanya mereka juga tak segan-segan melakukan apa yang kita
minta,” ujarnya.
Zet lalu meminta warga menggali lubang di pekarangan rumah masing-masing, berukuran sekitar 2 x 2 meter, sebanyak 3-10 lubang. Meskipun lahan pekarangan
mereka bisa dikatakan kering, tetapi mereka melakukan apa yang diminta Zet. ”Masyarakat bertanya juga kepada saya, untuk apa lubang-lubang itu. Saya jawab
saja, untuk menanam anakan mangga,” cerita ayah tiga anak ini.
Air hujan
Akan tetapi, lubang-lubang itu sesungguhnya diniatkan Zet untuk ”menanam” air hujan. Ketika warga diberi tahu hal itu, mereka pun bingung. Bagaimana air hujan bisa ditanam? Apa yang akan tumbuh di lahan itu? Apalagi ketika warga melihat air itu langsung meresap dan hilang di dalam tanah.
Dia kemudian meminta warga memblok dua aliran kali kering yang ada di dusun itu untuk menampung air saat hujan. Tujuannya agar air tidak mengalir ke laut, tetapi meresap ke dalam tanah. ”Setelah kondisi tanah siap ditanami, kami menanam jagung, bukan padi,” ucap Zet.
Mengapa menanam jagung? ”Jagung saya pilih setelah saya berdialog secaraimajiner. ’Apakah kamu jagung atau kamu padi yang menjadi makanan pokok orang NTT? Padi tidak menjawab, hanya jagung yang menjawab. Katanya, iya saya makanan pokok orang NTT. Kembalikan saya menjadi milik orang NTT’,” cerita Zet sambil tertawa, mengenang kejadian pada awal dia berada di Uel sekitar 1999.
Kini, warga Uel boleh berbangga, dusun itu telah surplus jagung, dan ini merembet sampai ke Desa Nunkurus. Produksi jagungnya mencapai 20.000 ton per tahun. Jagung muda atau tua yang dikonsumsi warga Kota Kupang pun sebenarnya bersumber dari Uel. Saat Zet tiba di Uel, masyarakat setempat secara umum bisa dikatakan miskin dan tertinggal, bahkan ada yang primitif. Mereka berani melihat Zet hanya dengan mengintip dari balik dinding rumah. Saat itu ada 17 anak balita meninggal karena busung lapar.
Istri Zet, Pdt Adriana Tanggela, pun membantu suaminya memasyarakatkan penanaman jagung. Dia memainkan peran lewat khotbah mengenai jagung sebagai anugerah Tuhan untuk orang Uel yang harus dikembangkan dengan bekerja keras.”Sekarang kami baru sukses sekitar 13-17 persen, meskipun sudah bekerja all out,” kata Zet merendah.
Melihat kesuksesan hasil kebun mereka, warga pun makin percaya Zet memang bermaksud baik. Mereka lalu memberi dia ”gelar” dosen desa. Setelah hasil jagung memadai, lulusan program magister Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menapak langkah lebih lanjut. Zet mengajari masyarakat bagaimana mengolah biji jagung menjadi 40 jenis makanan, di antaranya perkedel jagung, tepung jagung, dan pakan ternak burung.
Maka, jadilah perkedel jagung dari Uel yang dipilih dari bahan baku jagung tua, bukan jagung muda. Ini demi mendapatkan rasa yang lebih gurih dengan kandungan berkarbohidrat tinggi.”Kami di Uel belakangan ini menanam jagung empat kali dalam setahun secara berurutan sehingga produksi tidak menumpuk, tak ada lagi pengangguran. Selain itu, kebutuhan pangan warga selalu tersedia dan permintaan konsumen tetap terpenuhi,” kata Zet.
Ternak sapi, ayam, dan kambing di Uel pun diberi makan jagung. Bahkan, berat ayam di sini mencapai 7 kilogram setelah mengonsumsi ampas jagung selama enam bulan berturut-turut.
Relatif tidak ada lagi warga Uel yang berkeinginan menjadi TKI atau TKW, tak ada lagi busung lapar, juga pada umumnya warga tak lagi hanya duduk di rumah sampai
sore hari. Mereka sibuk bekerja di ladang, pekarangan, menggembalakan ternak, atau mencari ikan di laut.
Sistem utang-piutang di antara tetangga yang dipraktikkan turun-temurun juga dihapus. Anak usia sekolah wajib bersekolah. Situasi ini sengaja diciptakan agar warga setempat mampu berkompetisi. Kini sudah ada dua sarjana pertanian, 25 mahasiswa, dan sejumlah tenaga paramedis dari Dusun Uel. Pendapatan per kapita warga yang pada 1999 sebesar Rp 1,4 juta, tahun 2006 naik menjadi Rp 5,5 juta per tahun.
Zet yang juga dosen Fakultas Pertanian Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang ini bercerita, Dusun Uel kerap dijadikan pusat studi oleh para mahasiswa dan dosen. Mereka umumnya tertarik pada sistem memblok kali atau sungai menjadi lahan untuk ditanami.
Harapan dia, para lulusan Fakultas Pertanian UKAW dapat mengembangkan teori ”tanam air” dan blok sungai di seluruh wilayah. Kata Zet, NTT tak miskin kalau para
pemimpin punya terobosan dan visi yang jelas. ”Semua yang saya kerjakan ini terinspirasi oleh mantan Gubernur Ben Mboi. Dia seorang genius untuk ukuran NTT. Sayang, programnya tentang Operasi Nusa Hijau, Nusa Makmur, dan Tanam Air tidak diteruskan pemimpin berikutnya,”ujarnya. (Kornelis Kewa Ama)
Data diri
Nama: Zet Malelak
Istri: Pdt. Adriana Tanggela
Alamat: Dusun Uel, Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Pekerjaan: Dosen Fakultas Pertanian UKAW
Pendidikan: Magister IPB
Prestasi: Inovasi Swasembada Jagung dengan teknologi Rainwater Harvesting.
Sumber: Kompas Kamis, 17 Januari 2008