Agar Pilkada Tidak Sia-sia

Oleh Alfons Nedabang

TAHUN 2008 adalah tahun pemilu. Dalam kurun waktu 365 hari itu, begitu banyak aktivitas politik terjadi. Yang menonjol adalah pemilu kepala daerah (pilkada). Tercatat, ada 12 kali pilkada diselenggarakan.

Ke-12 pilkada dimaksud, yakni Pilkada Sikka, Pilkada Gubernur NTT, Nagekeo, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Alor, Ende, Manggarai Timur, Belu, Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Kupang dan Rote Ndao.

Pilkada Sikka menghasilkan duet kepemimpinan Sosimus Mitang- Wera Damianus. Pilkada NTT dengan pemenangnya pasangan Frans Lebu Raya-Esthon L Foenay. Nagekeo dipimpin Yohanes Samping Aoh - Paulus Kadju. Pasangan Kornelis Kodi Mete- Yacob Malo Bulu terpilih memimpin Sumba Barat Daya. Umbu Sapi Pateduk dan Umbu Dondu meraih suara terbanyak sehingga memimpin Sumba Tengah. Di Alor, pasangan Simon Th Paly - Yusran Tahir, unggul atas kandidat lainnya. Ende dipimpin Don Bosco Wangge-Ahmad Mochdar.


Belu, Rote Ndao, Manggarai Timur dan Kabupaten Kupang memberi warna berbeda pilkada di NTT. Empat kabupaten ini melaksanakan pilkada dua putaran. Pasangan calon tidak terbatas diusung partai politik, tapi ada yang memberanikan diri lewat jalur independen (perseorangan). 

Belu hampir dapat dipastikan dipimpin Joachim Lopez - Lodovikus Taolin. Pasangan Leonard Haning-Marthen Luther Saek yang maju lewat jalur calon perseorangan, menyisihkan pasangan lainnya yang diusung partai, memimpin Rote Ndao. Manggarai Timur dan Kabupaten Kupang masih harus menunggu hasil putaran kedua pilkada yang digelar hari ini, Selasa, 30 Desember 2008.

Sama halnya dengan Manggarai Timur dan Kabupaten Kupang, pemenang pilkada di negeri cendana TTS juga belum bisa dipastikan karena masih harus menunggu proses penghitungan suara ulang pada 17 kecamatan dan pemungutan suara ulang di dua kecamatan, sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi.

Setiap pilkada punya warna tersendiri. Suasana tegang, panas, dan mencekam (hampir) selalu ada. Aksi unjuk rasa, kerusuhan, bentrok antarpendukung calon, ulah perusakan rumah tinggal penduduk, dan amuk massa terhadap fasilitas umum nyaris menjadi pemandangan lazim, selama 167 hari waktu pelaksanaan pilkada setiap daerah. Meski tidak semua daerah yang melangsungkan hajat demokrasi itu ditingkahi aksi kekerasan. Pemandangan lain, tidak sedikit orang yang tersenyum simpul, tertawa girang, berpesta pora karena tujuannya tercapai.

Secara teoritis ada beberapa keuntungan dari pilkada langsung, antara lain yaitu mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, secara psikologis pilkada langsung meningkatkan rasa harga diri dan otonomi masyarakat di daerah. Selain itu, pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah dan wakilnya untuk memerintah.

Namun dari sisi ekonomi, pilkada langsung membutuhkan biaya yang sangat besar. Pelaksanaan 12 pilkada menghabiskan anggaran sekitar Rp 200 miliar lebih. Nilai ini setara dengan pendapatan asli daerah (PAD) Pemerintah Propinsi NTT tahun 2008 sebesar Rp 208 miliar lebih, atau beberapa kali lipat PAD kabupaten/kota. 

Pilkada Sikka menghabiskan Rp 7,9 miliar. Nagekeo Rp 4,6 miliar, Pilgub NTT Rp 100 miliar, Sumba Barat Daya Rp 3 miliar, Sumba Tengah Rp 3 miliar, Ende Rp 10,9 miliar, Alor Rp 7 miliar, TTS Rp 13,9 miliar, Rote Ndao Rp 6 miliar, Belu Rp 18 miliar, Manggarai Timur Rp 3,5 miliar, Kabupaten Kupang Rp 11,3 miliar. Total anggaran ini belum termasuk anggaran untuk panwas, aparat keamanan serta anggaran pilkada putaran. Juga belum termasuk dengan biaya yang dikeluarkan oleh sang calon- calon kandidat dalam pembiayaan kampanyenya.

Yang mengejutkan ternyata biaya-biaya yang telah diserap dalam penyelenggaraan pilkada dibebankan pada APBD. Otomatis, anggaran pilkada menyedot anggaran publik yang selama ini komposisinya lebih kecil dari belanja rutin. Akibatnya, banyak pos anggaran untuk kesejahteraan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, dalam APBD dikurangi demi menopang biaya pilkada. Bbeban biaya yang sangat besar dan pemborosan waktu mengakibatkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dinomorduakan. 

Memang, untuk menumbuhkan demokrasi membutuhkan biaya yang besar. Tapi apa gunanya menghabiskan banyak anggaran sementara kesejahteraan masyarakat tidak terwujud? Pengembangan demokrasi lokal serta peningkatan partisipasi politik masyarakat yang menjadi tujuan lain dari pilkada, juga tidak terwujud.

Justru yang terjadi pasca pilkada, hampir di seluruh daerah terjadi 'keretakan' hubungan sosial antarmasyarakat. Disisi lain tingkat kemiskinan bertambah. Lapangan kerja terbatas sehingga pengangguran meningkat. Bencana gizi buruk dan rawan pangan senantiasa masih melilit rakyat. Kesulitan air bersih dan listrik menjadi persoalan rutin tahunan yang tidak pernah dapat diatasi.

Kita hanya berbangga bahwa dengan pilkada langsung, kembalinya kedaulatan rakyat. Dengan pilkada, secara psikologis meningkatkan rasa harga diri dan otonomi masyarakat. Selain itu, pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah dan wakilnya untuk memerintah. Selebihnya, kita mengalami kondisi yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

Sejauh ini kita belum melihat ada sikap kepala daerah membuat program yang populis. Program yang lebih pro rakyat. Sebaliknya, yang lebih tampak dilihat adalah kesibukan mengurus diri, keluarga, kelompok, golongan atau tim suksesnya. Janji- janji yang nyaring terdengar semasa kampanye juga semakin fals terdengar, bahkan ada yang sudah hilang ditelan waktu. Oleh karena itu, diharapkan kepala daerah/wakil kepala daerah mampu mengawasi dirinya sendiri dan orang-orang terdekatnya sehingga tidak terjebak pada penyalahgunaan kekuasaan.

Secara jujur harus diakui bahwa biaya pilkada yang tinggi tidak sebanding dengan pencapaian yang dilakukan kepala daerah/wakil kepala daerah. Terlalu banyak inkonsistensi, sehingga ada anomali politik yang terus berulang. 

Semestinya, dengan pengeluaran biaya yang besar selama pilkada, melecutkan semangat para kepala daerah terpilih untuk bertekad mewujudkan tujuan pilkada yaitu mensejahterahkan rakyat. Dana publik yang sudah tersedot untuk pelaksanaan pilkada mestinya dikembalikan. Lewat program-program yang mensejahtrakan rakyat. Tentu ini bukan sebuah beban berat, melainkan amanah yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan. 

Mandat langsung dari rakyat kepada kepala daerah dan wakil kepala untuk memerintah dan membangun daerah, hendaknya jangan disia-siakan. Program-program pembangunan yang realistis dan penyusunan APBD yang berbasis pada pemecahan permasalahan lokal dengan porsi belanja publik lebih banyak, hendaknya diperhatikan secara serius. Implementasinya juga harus diawasi secara baik.

Dengan segala kelebihan dan kekurangan pilkada, kita perlu mengapresiasi pemerintah dan semua pihak yang telah memungkinkan terselenggaranya pesta demokrasi lokal. Optimisme masyarakat harus dibangun dengan melihat pilkada langsung bukan sebagai mainan elite untuk bereksperimentasi demokrasi, dan juga bukan melihat pilkada sebagai strategi elite untuk mengalihkan perhatian publik dari krisis ekonomi kepada masalah-masalah politik.

Pada ranah ini, sangat diharapkan, kepala daerah/wakil kepala daerah benar-benar memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang sesungguhnya sehingga tak berani main-main. Rakyat tidak melarang untuk menjadi kaya, tetapi semata-mata itu buah dari perjuangan dan keringat dalam menghadirkan sosok rakyat pada setiap jengkal keputusan dan kebijakan yang diambil. Dengan begitu, rakyat merasa tidak sia-sia ikut melaksanakan pilkada. 

Sebentar lagi, tahun 2008 berakhir. Selanjutnya, kita masuk tahun 2009. Nah... momentum pergantian tahun ini hendaknya dijadikan moment untuk merefleksi. Apa yang sudah Anda perbuat untuk rakyat dan daerah pasca pilkada? Jika janji-janji kampanye belum ada yang diwujudkan maka segerah realisasikan. Mumpung rakyat belum menarik mandatnya.* 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes