DOMINGGAS Soi Bere, Armince Theresia Asa dan Maria Yosefina Koly Loi hanyalah anak-anak kampung. Hari-hari mereka diwarnai suasana kampung. Tidak pernah terbayangkan kalau mereka bisa melihat Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Lebih tidak terbayangkan lagi, mereka bisa naik pesawat dan sampai di Kota Jakarta.
Selama ini ketiganya baru melihat hangat geliat kehidupan kota di Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Untuk mengikuti pendidikan, mereka pun tidak bisa masuk sekolah reguler. Mereka hanya bisa masuk SMP Terbuka di Wedomu, Kecamatan Tasifeto Timur (Tastim), Kabupaten Belu. Meskipun letaknya hanya 15 kilometer dari Atambua, lokasi sekolah ini dianggap udik. Letaknya di pedalaman, sekitar 5 kilometer dari ruas jalan Atambua-Lahurus. Foto
Namun sekolah ini sudah mengantar ketiga siswi ini mengukir prestasi di tingkat nasional. Mereka membuktikan bahwa mereka orang kampung, tapi bukan kampungan. Orang kampung terbukti mampu mengukir prestasi spektakuler di tingkat nasional. Berkat keterampilan tenun ikat, ketiganya sudah mengharumkan nama Provinsi NTT di tingkat nasional dengan meraih juara II lomba motivasi belajar mandiri (Lomojari). Ketiganya mampu menyisihkan 38 peserta dari 33 provinsi seluruh Indonesia yang mengikuti ajang tahunan ini.
Ketika Pos Kupang menemui mereka di sekolah itu, luapan kegembiraan terpancar dari wajah mereka. Hermelinda Abu Lelo, guru pembimbing berbadan ramping, dialah yang memperkenalkan Pos Kupang kepada tiga siswi berprestasi itu.
Mengenakan pakaian Pramuka, ketiganya dengan lugas menceritakan pengalaman mereka yang tidak terlupakan itu.
"Kami bertiga selama ini belum pernah keluar dari Belu. Untuk pergi ke Kupang saja, baru pertama kali, waktu kami mau ke Jakarta. Apalagi naik pesawat terbang dan lihat Jakarta. Kami bertiga tidak pernah membayangkan itu. Memang selama ini kami diberikan latihan keterampilan tenun ikat, tapi kami tidak bayangkan kalau kami yang dipilih ke Jakarta," ujar Armince Asa.
Armince bahkan menceritakan kalau mereka bertiga di diberi tahu kepala sekolah dan guru pembimbing secara mendadak sehingga antara percaya dan tidak percaya mereka harus meninggalkan Belu menuju Jakarta, mengikuti Lomojari tingkat nasional.
Perasaan takut, cemas, dan senang berbaur menyelimuti ketiga siswi ini ketika mengikuti lomba. Bagaimana tidak, mereka harus bersaing dengan 38 peserta dari seluruh Indonesia. Menghadapi ajang ini, kata Armince, mereka mendapat bimbingan teknis pembuatan tenun ikat, baik oleh guru pembimbing maupun ibu-ibu yang ada di sekitar sekolah. Bimbingan itu berlangsung selama dua pekan.
"Kami di rumah memang sudah sering menenun. Orangtua kami sudah mengajarkan bagaimana menenun dengan baik. Di sekolah kami punya gedung darurat sebagai tempat latihan menenun. Peralatannya sangat sederhana. Tiap hari kami latihan. Begitu ditunjuk mengikuti lomba di Jakarta, kami sudah siap," tutur Armince.
Karena merasa persiapannya singkat saja, mereka pun tidak pernah menargetkan untuk meraih juara. Kepala sekolah hanya memotivasi mereka untuk tampil sebaik-baiknya. Tidak boleh membuat malu Pemerintah Kabupaten Belu dan Pemerintah Provinsi NTT.
"Pak kepala sekolah hanya pesan kami, 'Jangan buat malu kita. Kamu harus tampil maksimal meskipun tidak juara. Kamu harus tunjukkan bahwa NTT bisa bersaing di tingkat nasional'. Pesan pak kepala ini kami pegang terus selama lomba. Kami tampil apa adanya," kata Maria. Pengalaman yang tidak pernah mereka bayangkan bahwa dalam pelaksanaan lomba itu tim juri tidak pernah mereka ketahui. Tim juri tampil seperti pengunjung. Bahkan satu di antaranya ingin mencoba proses tenun itu. "Ada satu ibu yang datang ke tempat lomba lalu bilang, 'Tolong ajarkan saya menenun'. Kami bertiga pun mulai mengajarkan proses menenun, mulai dari memintal benang sampai dengan menenun," tutur ketiganya.
Terakhir, pada saat pengumuman hasil lomba, baru mereka terkejut kalau ibu yang minta diajarkan cara menenun itu anggota tim juri. Luapan kegembiraan pun tidak terbendung begitu tim juri mengumumkan bahwa peserta dari NTT meraih juara II Lomojari. "Kami bertiga langsung menangis," jelas ketiganya sambil tersenyum.Keharuan mendalam juga ditunjukkan guru pembimbing, Hermelinda Abu Lelo. Menurut dia, prestasi yang diraih anak-anak ini buah dari ketekunan, ketabahan yang ditanamkan selama ini.
Persiapan untuk menghadapi lomba tersebut, katanya, hanya dilakukan dua minggu (19 Juli-2 Agustus 2008) karena pada tanggal 3 Agustus peserta sudah berangkat ke Jakarta. Namun, dalam kesederhanaan, anak-anak sangat terampil, bahkan lancar memperagakan seluruh proses pembuatan tenun ikat di hadapan penonton dan tim juri.
"Anak-anak tampil sangat sempurna. Mereka begitu lancar memperagakan teknik menenun mulai dari awal sampai menghasilkan sebuah sarung untuk dipasarkan," tutur Ermelinda. Menurut Ermelinda, sarana untuk mendidik anak-anak di sekolahnya menjadi terampil menenun tidak luar biasa. Mereka hanya mempunyai sebuah gedung darurat beratap gewang, dengan ukuran 20 x10 meter, berlantai tanah. Di situlah para siswa berlatih menenun setiap hari. "Tapi gedung reyot ini tidak mematahkan semangat anak-anak untuk meraih prestasi," ungkap Hermelinda penuh semangat. *