Oleh Damianus Ola dan Dion DB Putra
NTT punya kisah membanggakan di saat masih bersama Bali dan NTT bergabung dalam Propinsi Sunda Kecil, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dua bulan sebelum RA Kartini lahir, di Flores (Larantuka) sudah ada sekolah perempuan yang didirikan para suster OSF (Fransiskanes).
Dengan mengacu pada buku yang ditulisnya, Sejarah Persekolahan di Flores (Penerbit Ledalero, 2008), Romo Eduard Jebarus, Pr berkisah tentang kemajuan pendidikan kala itu. Perkembangan persekolahan kala itu dirintis Misi dan Zending karena disadari sekolah merupakan alat paling efektif untuk memajukan masyarakat dan menyebarkan agama (Katolik dan Protestan).
Bekerja sama dengan pemerintah (penjajah), Mizi dan Zending berhasil menancapkan tonggak bersejarah
pengembangan pendidikan kala itu dengan membentuk Organisasi Sekolah Katolik Roma Flores pada 1 Mei 1911. Disusul penandatanganan Flores-Soemba Regeling (1913 dan disempurnakan lagi tahun 1915) dan Timor Regeling (1916). Ketetapan-ketetapan itu antara lain mengatur soal subsidi pemerintah, hak dan kewajiban para pihak, pengawasan, dan sebagainya.
Sejak saat itu jumlah sekolah meningkat cepat dalam jenis dan jenjangnya. Tahun 1915, Misi mencatat ada 28 sekolah desa (SD), meningkat menjadi 298 SD pada tahun 1932 dengan jumlah guru 523 orang dan 26.377 murid.
Dengan menggunakan patokan Residen Timor AJL Couvreur (1 sekolah per 1.000 penduduk), jumlah SD di Flores semestinya 624. Meski baru terpenuhi sekitar 40 persen, namun sesuai data pemerintah (1938), Flores jauh lebih baik dibandingkan dengan Timor, Sumba, bahkan Bali dan NTB. Sebab perbandingan jumlah SD dengan penduduk saat itu, di Flores 1:2.800, Sumba- Sumbawa 1:3.000, Timor 1:3.600, Bali Utara 1:5.900, Bali Selatan 1:7.400, Lombok bahkan satu sekolah berbanding 11.200 penduduk.
Sempat merosot di tahun 1930-an, pekembangan pendidikan di NTT kembali bangkit pada masa-masa sesudah kemerdekaan. Dua dekade awal pasca- kemerdekaan, Mizi dan Sending "masih" amat menentukan jalannya persekolahan di NTT. NTT bahkan sudah memiliki sistem yang andal dalam hal persiapan tenaga guru, misalnya dengan berdirinya SGB (Sekolah Guru Bawah), SGA (Sekolah Guru Atas), SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Di sekolah-sekolah seperti ini, SDM guru benar-benar dipersiapkan dengan begitu fokus, soal kurikulum, soal paedagogik.
Harus diakui, sekolah-sekolah guru era itu merahim- lahirkan guru-guru yang berkualitas. Dan dari tempaan tangan guru-guru era itu, lahir generasi NTT yang berkibar di tingkat nasional. Sebut misal Drs. Frans Seda, ekonom berpengaruh yang beberapa kali menjabat sebagai menteri. Juga Prof. Dr. WZ Johannes, Prof Tobi Mutis, Dr. Goris Keraf dan masih banyak lagi anak-anak NTT yang punya nama. Berkat pendidikan dan pengajaran yang bermutu, anak-anak NTT tanpa kesulitan melanjutkan pendidikan di Jawa, bahkan ke negara-negara di Eropa.
Dengan tempaan guru yang keras bahkan rada kasar, lahir generasi-generari yang tidak hanya "berotak- berilmu", tetapi juga berakhlak mulia; kondisi yang (hampir?) berbanding terbalik dengan situasi saat ini. Guru-guru tidak mengenal anak didiknya dengan baik. Begitu pun sebaliknya, anak-anak didik hanya menghormati guru-gurunya di sekolah. Bertemu guru di jalan, jangankan disalami, ditegur pun enggan.
Berpapasan dengan orang yang lebih tua pun, anak- anak sekolah tak lagi peduli apakah perlu mengucapkan "permisi", "selamat pagi" , "selamat sore" .
***
Orde Baru "memproduk kemajuan" dengan mendirikan begitu banyak sekolah. Intervensi pemerintah begitu kuat dengan urusan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana prasarana dan dana. Sekolah-sekolah swasta mulai goyah, bahkan mengalami disorientasi ketika pemerintah masuk mencampuri. Energi pendidikan dan pengajaran diarahkan sekuat-kuatnya untuk mencapai tingkat kelululusan mata pelajaran-mata pelajaran tertentu yang resmi ditentukan pemerintah pusat. Guru- guru yang berhadapan dengan anak didiknya selama bertahun-tahun, tidak diberikan kewenangan untuk menentukan kelulusan anak didiknya. Kelulusan anak didik ditentukan oleh pemeirntah yang tidak pernah sekalipun bertatap muka dengan anak didik di sekolah.
Romo Eduard mencatat beberapa hal terkait kemerosotan pendidikan di NTT. Pertama, kemerosotan pendidikan terjadi ketika pemerintah (pusat) mulai mengintervensi pengembangan pendidikan wilayah.
Pendidikan bersifat sentralistik yang mengabaikan ciri khas, potensi dan kepentingan lokal. Pemerintah mengambil hampir semuanya peran lembaga swasta pemilik sekolah yang mempunyai kepentingan yang baik dan sah atas sekolah-sekolah yang didirikannya.
Kedua, para pelaku pendidikan kita masih "sakit struktur" dan "sakit disorientasi", kreativitas mati, lemah inisiatif dan tidak ada kekhasan yang tampak. Sekolah-sekolah sebagai tempat persemaian, pertumbuhan dan kekuatan nilai-nilai (sekolah berlatar agama dan budaya) mengalami erosi nilai dan digerogoti "penyakit nasional" seperti korupsi, asal bapa senang, hipokrit, manipulasi dan tidak memiliki daya saing. Ibarat orang yang sepi di tengah keramaian, demikianlah paradoks dunia pendidikan di NTT; merosot di tengah-tengah kebijakan dan program peningkatan mutu pendidikan nasional.
Ketiga, sistem perbantuan yang diterapkan pemerintah nyatanya mengabaikan hak lembaga pendidikan swasta, melemahkan fungsi pengawasan yayasan, menyuburkan ketergantungan para pelaku pendidikan kepada pemerintah. Maka sekolah kemudian tidak lagi menjadi salah satu sumber penguat kebudayaan dan memberi ciri khas yang bermartabat, tetapi menjadi tempat dagang dan dituding sebagai penyebab kemerosotan nilai.
NTT telah kehilangan roh pendidikan. Nyaris kehilangan ciri khasnya. Perlu transformasi pendidikan dimana hal- hal ideal dari masa lalu dikembangkan dalam kemasan modern. Di titik ini, menurut Romo Eduard, pemerintah mutlak memback-up revitalisasi peran institusi-institusi swasta. Peraturan daerah, rasanya sangat urgen untuk mengakomodir peran dan hak swasta, mengakomodir ciri lokal dan nilai-nilai positif masa lalu. (habis)
Pos Kupang edisi Minggu, 21 Desember 2008 halaman 1