Mereka menikam dengan girang
Tepat di kumis tebal Om Pe'u...
RAMAH, kebapaan, pintar bergaul, suka menolong dan peduli terhadap kepentingan warga di lingkungan. Itulah ciri khas Om Pe'u. Sebagai warga salah satu kompleks perumahan di Kota Kupang, Om Pe'u mengenal dengan baik hampir semua orang di lingkungannya. Om Pe'u dikenal dan terkenal karena keutamaan tersebut.
Tingkat pendidikan Om Pe'u tidaklah tinggi. Bukan doktor, bukan calon profesor apalagi profesor. Dia cuma lulusan diploma tahun 1980-an. Tapi pengetahuan Om Pe'u tidak buruk. Wawasannya luas dan lapang. Dia paham dan mengerti tentang bagaimana seharusnya hidup bermasyarakat. Bagaimana membangun dialog, menjalin hubungan dengan semua orang.
Om Pe'u adalah tipe ideal warga perumahan, hunian orang-orang dengan latar belakang beragam. Beda suku, ras, agama, golongan, budaya. Om Pe'u yang kulitnya hitam manis dan rambut keriting itu adalah tokoh pemersatu. Jika terjadi salah paham atau masalah di lingkungan, Om Pe'u selalu terdepan mendorong penyelesaian dengan damai.
Sejatinya Om Pe'u aktivis gereja. Tapi Om Pe'u adalah tokoh yang gaul abis. Dia bersahabat dengan pemuda-pemudi yang tergabung dalam Karang Taruna, Muda-mudi Katolik, Pemuda Kristen serta Remaja Mesjid. Dia menjadi tempat untuk curhat. Meminta pendapat atau pandangan mengatasi suatu perkara.
Kaum ibu dan remaja putri pun mengagumi Om Pe'u. Bukan karena kumis hitamnya yang tebal dan terawat. Kagum karena Om Pe'u, ayah dua anak itu sungguh seorang tokoh panutan.
Ketokohan Om Pe'u menarik perhatian pimpinan Partai Golkar. Setahun menjelang Pemilu 2004, Om Pe'u direkrut menjadi kader Partai Beringin dengan janji mengusung Om Pe'u sebagai calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu 2004. Golkar memenuhi janjinya. Om Pe'u masuk daftar caleg Partai Golkar untuk DPRD Kota Kupang dalam Pemilu 2004.
Kegembiraan merebak di perumahan itu ketika tahu Om Pe'u jadi caleg. "Om Pe'u harus gol jadi DPR. Ayo, ramai-ramai kita pilih Om Pe'u." Demikian komentar warga perumahan. Om Pe'u tidak pernah kampanye. Tidak mencetak stiker, kartu nama atau kalender. Tidak pasang poster foto seukuran pintu atau jendela rumah seperti sekarang marak di berbagai sudut kota.
Semua orang bekerja sukarela demi Om Pe'u. Kampanye dari mulut ke mulut. Namanya "dijual" kepada kenalan, keluarga, orang-orang di daerah pemilihan Om Pe'u. Cara itu lebih jitu. Juga sesuai dengan keinginan Om Pe'u yang tidak mau mengobral janji atau "mencari muka" secara berlebihan.
Tanggal 5 April 2004, warga perumahan ramai-ramai ke TPS. Mereka bangga melihat foto diri Om Pe'u ada di sana. Di dalam kamar kecil itu, tanpa ragu mereka mengambil paku lalu menikam dengan girang. Tepat di kumis tebal Om Pe'u! Aksi mereka tidak berhenti di situ. Pasca pemilu 5 April, mereka terus mencari tahu suara yang diperoleh Om Pe'u. Ada yang khusus memantau di KPU, yang lain mengawal di Golkar. Luar biasa. Perolehan suara Om Pe'u memenuhi syarat terpilih menjadi anggota legislatif. Bahkan ada suara sisa dalam jumlah ribuan.
Kabar gembira itu cepat beredar di kompleks perumahan. Semua senang dan riang. Senang cuma sejekap. Amat lekas menguap menjadi duka. Ketika pengumuman tiba, Om Pe'u tidak masuk daftar. Om Pe'u tidak terpilih. Sebagai kader baru Golkar, Om Pe'u dapat nomor sepatu. Perolehan suaranya yang melimpah adalah rezeki tanpa keringat bagi caleg dengan nomor muda. Dia "dikalahkan" oleh nomor urut.
***
OM Pe'u mundur dari partai? "Kalau mundur berarti saya hanya mengejar kursi DPR. Itu bukan tipe Om Pe'u," katanya sambil terbahak. Om Pe'u masih setia bersama 'Pohon Beringin' yang rimbun sampai hari ini. Dan, dia belum kapok jadi caleg meskipun untuk Pemilu 2009 nomor urutnya cuma naik setingkat dibanding 2004. Om Pe'u malu mengemis nomor muda. Dia loyal terhadap keputusan pimpinan partai.
Tanggal 23 Desember 2008 malam, Om Pe'u menelepon beta. Sedikit mengejutkan karena lama tak saling kontak. Di seberang sana, nada suara Om Pe'u terdengar riang. Dia baru saja menonton siaran berita ulangan di televisi tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Keputusan itu menegaskan, caleg terpilih pada Pemilu 2009 tidak berdasarkan nomor urut, tetapi harus meraih suara terbanyak. Artinya, nomor urut tak lagi penting. Nomor urut sekadar alat menghitung, bukan penentu si A lebih berhak daripada si B untuk duduk di parlemen. "Ini kado Natal dan Tahun Baru. Kado paling indah bagi caleg," kata Om Pe'u.
Bagi beta, keputusan MK adalah kemenangan bagi demokrasi di negeri ini. Demokrasi yang menghargai suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sudah terlalu lama kita pilih kucing dalam karung. Kucing yang cerdik mencuri, lihai menipu. Saatnya kita memilih kucing yang kita kenal baik kesetiaan dan komitmennya. Sudah waktunya tuan dan puan memilih orang seperti Om Pe'u dan Pe'u-Pe'u yang lain. (dionbata@poskupang.co.id)