PESAWAT terbang yang ke NTT selalu penuh dengan penumpang. Ada apa di NTT sehingga "orang luar" selalu datang? NTT kaya mineral? Itu salah satu daya tariknya. Emas, marmer, tembaga, mangan dan sebagainya ada di perut bumi Flobamora. Perut Pulau Timor, Alor, Lembata, Flores mulai dari ujung timur sampai Manggarai Barat, kaya akan bahan mineral.
Deposit marmer di TTU dan mangan di Manggarai, misalnya, sudah terdata dengan jelas, bahkan sudah dalam tahap eksploitasi. Pertanyaannya, apakah masyarakat NTT menikmati hasilnya?
Survai Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Geologi Pusat Sumber Daya Geologi telah memetakan potensi mineral NTT. Dinas Pertambangan Propinsi NTT pun telah mengantongi peta sebaran potensi sumber daya mineral di NTT. Apalah arti semua itu kalau kita tidak mampu dikelola demi kepentingan rakyat NTT? Deposit mangan di Reo, Manggarai, misalnya, cukup banyak dan dieksploitasi sejak 1980-an hingga saat ini. Tak hanya mangan, di sana juga ada ve (besi), co (tembaga) dan au (emas).
Warga Reo pernah mempersoalkan eksploitasi mangan, namun pemerintah lebih piawai menyebar isu. Konon, mangan di Reo termasuk jenis mangan muda sehingga tidak berarti apa-apa. Warga terhenyak diam. Tanpa disadari, sudah belasan tahun, mangan Reo dibawa diam-diam ke Jawa. Warga setempat tidak memperoleh apa pun. Mereka hanya sebagai pekerja kasar dengan bayaran murah.
Mangan muda menjadi alasan pembenar hadirnya investor di Reo. Kalau benar mangan itu tidak berarti apa-apa, pemerintah harus menghentikan aktivitas tambang oleh investor, PT Arumbai. Lingkungan di Serise, Dampek, Lambaleda belum 'diobati' pasca tambang mangan dimaksud. Investor tidak pernah mereklamasi lingkungan di sekitar titik mangan pasca eksploitasi. Beberapa pekan silam, DPRD Manggarai "baru" tersentak kaget dan mempersoalkan kehadiran PT Arumbai yang mengeksploitasi mangan di Reo.
Sesuai aturan, investor yang ingin menempati satu lokasi tambang harus mengantongi sejumlah izin, di antaranya kuasa penambangan (KP) penyelidikan umum; KP eksplorasi; KP eksploitasi; KP pengolahan dan pemurnian; KP pengangkutan dan KP penjualan. Ini amanat UU No. 11 Tahun 1967, PP No. 75 Tahun 2001; Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1453 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Bidang Pertambangan Umum.
Tatkala mengantongi KP Penyelidikan Umum, seorang investor hanya diizinkan mengambil sampel dua hingga lima kilogram. Untuk KP eksploitasi, jumlah sampel yang diambil tergantung jumlah titik bor di lokasi.
Maka patut dipersoalkan ketika ada investor yang mengantongi izin tambang mangan di TTS mengangkut 29 ton mangan untuk sampel. Jumlah sampel yang diambil mesti sesuai jumlah titik bor di lokasi pertambangan. Kalau tidak sebanding, masyarakat harus mempertanyakannya.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi NTT, Drs. Bria Yohanes sempat mempertanyakan hal dimaksud. Pertanyaan muncul karena regulasi tidak membenarkan proses seperti yang terjadi di TTS. Pemprop, katanya, tak bisa berbuat banyak karena terbatasnya kewenangann dimana propinsi hanya bisa mengurus pertambangan yang sifatnya lintas kabupaten.
Bria Yohanes yang ditemui belum lama ini, mengungkapkan bahwa potensi tambang di NTT sangat banyak. Bahan galian C, misalnya, paling banyak terdapat di Kabupaten Kupang yakni 7.360.562 meter kubik (m3); batu gamping di Kabupaten Manggarai 5.558.771.299 m3, Sumba Barat 4.708.606.782 m3 dan Kabupaten Kupang sebanyak 3.575.260.000 m3. Batu warna/hias, cadangan terbesar ada di Kabupaten Kupang yakni 10.359.750 m3, Alor 26.000.000 m3, Ende 270.000 m3 dan TTS 5.967.360 m3. Gipsum di Kabupaten Kupang 11.214.800 m3, Rote Ndao 750.000.000 m3.
Marmer di Kabupaten Kupang 1.041.524.000 m3, Manggarai 1.896.393.00 m3, TTU 39.800.000 m3, TTS 29.000.000 m3, Belu 25.800.000 m3 dan Ngada 14.900.000 m3. Tembaga di TTS, TTU, Belu, Alor, Lembata, Ende. Emas ada di TTS, TTU, Sikka, Ngada, Manggarai Barat, Sumba Barat dan Sumba Timur. Mangan di Kabupaten Kupang, TTS, TTU dan Manggarai. Semua ini baru menjadi kebanggaan semata.
Konstitusi sudah menegaskan bahwa "Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat". Amanat konstitusi ini masih sebatas slogan. Jauh dari realitas. Kenyataan di banyak tempat di negeri ini, investor menguras kekayaan alam di daerah dan hanya menyisakan kerusakan dan kemelaratan masyarakat di sekitarnya.
Aturan yang mengharuskan investor menyisihkan dana untuk kepentingan warga sekitar tambang tidak pernah direalisasikan. Pemerintah belum berdaya terhadap ketimpangan ini.
Dinas Pertambangan Propinsi NTT menyebutkan, investor yang mengeksploitasi mangan di Reo, setiap bulan mengirim kurang lebih 100 ton mangan ke Jawa. Setiap pengiriman mangan, pemerintah harus mendapatkan royalti dengan ketentuan 10 persen dari harga mangan di pasaran dunia. Harga mangan di pasaran dunia Rp 2,5 juta per kilogram. Dapat dijumlahkan berapa kali mangan dikirim ke Jawa dan Pemerintah Kabupaten Manggarai tidak mendapatkan apa-apa. Butuh kejujuran PT Arumbai, setiap kali mengirim mangan ke Jawa, berapa dana yang dibayarkan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai.
Kasus mangan di TTS mesti menjadi pelajaran bagi daerah lain. Izin eksplorasi tetapi aktivitas lapangan yang terjadi adalah eksploitasi. Berapa besar manfaat yang didulang untuk PAD dan manfaat langsung yang dirasakan masyarakat setempat?
Harus diakui bargaining pemerintah daerah masih begitu lemah, bahkan terkesan "menghamba" pada investor. Akibatnya investor dengan mudah mengangkangi aturan dan merugikan daerah bersama masyarakatnya. Dengan berkaca pada aktivitas penambangan yang hampir selalu mendulang soal dan protes warga, maka model tambang rakyat patut dipertimbangkan sebagai model pengelolaan sumber kekayaan alam di daerah. Dengan model ini rakyat merasa memiliki dan merasakan kepentingan langsung dari hasil tambang di daerahnya. Juga akan tumbuh kesadaran untuk memelihara dan merehabilitasi lingkungannya.
Kenyataan tambang di beberapa daerah di NTT memperlihatkan bahwa antara rezeki dan resiko sama peluangnya. Kemungkinan hengkangnya investor akibat ketidaknyamanan usaha (investasi), dan juga lemahnya posisi daerah (pemerintah dan masyarakatnya) mengakibatkan daerah tidak kebagian rezeki yang pantas, sama peluangnya. Maka pola pertambangan rakyat patut dipertimbangkan untuk pengelolaan kekayaan tambang yang demikian potensial di NTT.*
Pos Kupang edisi Sabtu, 6 Desember 2008 halaman 1