Dikasihi maka Dipilih, Kenangan Atas Sri Paus Fransiskus

Paus Fransiskus di Jakarta 2024

Oleh: RD. L  eo Mali

Rohaniwan dan Dosen Filsafat pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang

Pada pagi yang tenang, 21 April 2025, pukul 07.35 waktu Roma, lonceng lonceng Vatikan berdentang dalam hening yang menggema ke seluruh penjuru dunia. 

Kabar duka datang: Kardinal Joseph Kevin Farrell, Camerlengo Takhta Suci, mengumumkan, "Il Vescovo di Roma è tornato alla casa del Padre." Uskup Roma, Paus Fransiskus, telah kembali ke rumah Bapa. 

Sejenak dunia berhenti, dan hati saya — seorang imam kecil yang pernah mengenyam pengalaman studi di Roma — terdiam, terangkat dalam doa yang perlahan berubah menjadi kenangan. 

Selama berada di Roma, saya pernah bertemu beliau dua kali dalam audiensi Natal, pada Desember 2018 dan 2019. 

Namun, bukan pertemuan-pertemuan itu yang terpatri paling kuat dalam hati saya meski banyak hal yang bisa diceritakan. 

Namun hal yang ingin saya tulis di sini adalah justru sebuah pertemuan yang tak pernah terjadi. Anehnya, justru peristiwa itulah yang paling mendalam, membentuk ikatan batin yang lebih kuat, lebih spiritual.

Kisah ini bermula dari satu devosi yang sederhana namun penuh makna: “Maria yang Mengurai Simpul Kehidupan” — Madonna che scioglie i nodi. 

Devosi ini dikenal Paus Fransiskus, saat itu masih seorang Pastor Bergoglio, ketika menjalani studi di Jerman tahun 1986. 

Di sebuah gereja kecil di Augsburg, ia menemukan lukisan karya Johann Georg Melchior Schmidtner dari abad ke-18: Maria sedang mengurai pita yang kusut, dibantu dua malaikat. Ia terdiam di hadapan lukisan itu. 

Bagi Bergoglio, Maria dalam lukisan itu bukan sekadar simbol. Ia adalah Ibu yang sabar, lemah lembut, yang mengurai kerumitan hidup umat manusia, simpul demi simpul, tanpa keluh, tanpa henti. 

Sepulang ke Argentina, devosi ini diperkenalkannya kepada umat, dan perlahan berkembang menjadi salah satu devosi paling dicintai di Amerika Latin. 

Namun, devosi ini tidak hanya berkembang karena pewartaan, tetapi karena ia sendiri pernah terjerat simpul-simpul kehidupan. 

Studi doktoralnya di Frankfurt tidak selesai, mungkin karena kendala bahasa, tekanan pastoral, atau ketidakcocokan dengan pendekatan akademik Jerman. 

Pengalaman itu menjadi luka batin. Tapi justru dari luka itulah ia tumbuh  dan berkembang.

Tahun 1990-1992, ia mengalami masa yang oleh banyak orang disebut sebagai “pengasingan spiritual”. Ia dikirim ke Córdoba, jauh dari pusat kekuasaan Gereja, tanpa jabatan, tanpa peran publik. 

Ia hidup dalam kesunyian: menjadi pembimbing rohani, mendengar pengakuan dosa, membaca, dan menulis. 

Dua tahun itu menjadi masa discernment, pembedaan roh. Dalam keheningan dan kerapuhan, ia belajar mendengar suara Roh Kudus yang halus tapi pasti. 

Di sanalah ia belajar bahwa Allah berkarya bukan hanya dalam kemenangan dan pencapaian, tetapi juga dalam kegagalan, kejatuhan, dan luka-luka yang dihayati dalam kepercayaan. 

Kelemahan-kelemahan manusia adalah jalan untuk mengenal belas kasih dan kerahiman Allah. 

Itulah titik di mana harapan tumbuh. Motto kepausannya, Miserando atque eligendo— “Ia dikasihi, maka dipilih” — tidak dapat dipisahkan dari pengalaman-pengalaman seperti ini. 

Bagi Paus Fransiskus, belas kasih bukanlah konsep atau retorika. Ia adalah jalan hidup.  Dan Maria, dalam devosi yang ia cintai, adalah Ibu yang setia berjalan bersama manusia, bahkan dalam kesendirian dan kekusutan hidup mereka.

Pada tahun 2021 hingga 2023, saya mengalami masa-masa yang berat selama studi di Roma, terutama dalam pengerjaan disertasi pasca-pandemi. 

Dalam kelelahan dan keraguan dan hampir putus asa, saya teringat pada kisah Pastor Bergoglio muda di Jerman dengan problemnya dan devosi kepada Maria yang mengurai simpul kehidupan. 

Dengan mendengarkan dorongan hati, saya menulis surat kepada Paus Fransiskus pada 17 Februari 2023 — curahan hati, permohonan doa, dan pengakuan atas beban batin yang sedang saya tanggung sebagai seorang pastor student. 

Tak lama kemudian, pada 15 Mei 2023, saya menerima jawabannya. Singkat tapi lembut dan penuh kehangatan. 

Tidak ada kalimat panjang. Tapi cukup untuk membuat air mata saya menetes. Ia, Sri Paus yang agung itu, meluangkan waktu menjawab surat seorang mahasiswa biasa. 

Dalam kata-katanya, saya merasakan pemahaman yang tidak lahir dari buku atau teori, melainkan dari luka yang disucikan dan dijalani dalam doa. 

Saya tahu, dia sungguh mengerti. Sebuah pengertian yang lahir dari pengalamannya sendiri.

Tapi sebelum saya menerima surat jawaban beliau, beberapa hari setelah saya kirim surat melalui seorang kawan imam, tepatnya 25 Februari 2023, saya terpilih menjadi salah satu dari enam mahasiswa yang pertanyaannya akan dijawab langsung oleh Paus dalam sebuah audiensi khusus di Vatikan.

Namun, malam sebelumnya saya terjaga hingga dini hari, menyelesaikan bagian disertasi yang harus dikirim pagi harinya. Kelelahan membuat saya tertidur dan melewatkan kesempatan berharga itu.

Ketika terbangun, telepon saya dipenuhi pesan dari rekan-rekan imam Indonesia: “Romo, di mana? Namamu dipanggil berkali-kali.” 

Awalnya ada rasa sesal, tentu. Tapi kemudian saya tahu bahwa pertemuan sesungguhnya terjadi melalui suratnya, dalam devosinya, dalam hidupnya. 

Saya tahu apa pertanyaan saya. Dan saya tahu pula bahwa jawabannya telah ia beri: dalam caranya menghidupi cinta yang penuh belas kasih, dalam ketekunannya berjalan bersama mereka yang hidupnya terjerat simpul, dan dalam keyakinannya bahwa Maria akan selalu hadir, sabar mengurai keruwetan masalah hidup kita.

Paus Fransiskus pernah berkata bahwa Maria adalah ibu yang tidak meninggalkan kita di tengah malam kehidupan. 

Karena itu, ketika ajal menjemput, ia meminta untuk dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore —tempat yang ia selalu ia kunjungi sebelum dan sesudah setiap perjalanan apostoliknya. 

Di sana, ia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Ibu yang senantiasa mengurai benang kusut kehidupan kita dan menenun kembali simpul-simpul yang tercerai. 

Saya merasa bersyukur bisa mengenalnya, meski hanya sejenak, dari kejauhan, melalui kata dan doa. 

Ia adalah imam, gembala, murid Maria, yang menunjukkan bahwa kesucian hati tumbuh dalam keheningan, dalam luka yang dipeluk dengan iman, dalam doa yang tak terdengar tapi penuh kasih dan harapan. 

Selamat jalan, Bapa Suci. Dari dalam simpul-simpul hidup kami yang belum terurai, kami tahu engkau kini mendoakan kami — bersama Maria, Ibu yang lembut, yang tidak pernah lelah membantu kami menemukan kembali makna dari pengharapan dan cinta. (*)

Sumber: Pos Kupang

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes