Wartawan juga Butuh Doa


Mgr. Petrus Turang, Pr

"Dion, saya dengar dari Dami, kau tugas di Manado," katanya kepadaku suatu hari di awal tahun 2013.

"Benar sekali Bapa Uskup. Saya tugas di Manado. Makan enak terus di sana. Saya sudah pergi ke tempat kelahiran Bapa Uskup di Tondano," jawabku.  Bapa Uskup Mgr. Petrus Turang tersenyum simpul.

Dami yang beliau sebut itu adalah Om Damyan Godho. Om Damyan adalah orang tua,  guru sekaligus pemimpin saya di Harian Pos Kupang. 

Om Damy dan Mgr. Petrus Turang bersahabat karib. Bestie, meminjam istilah anak zaman now.

Pada kesempatan lain, saya bertemu beliau di Taman Ziarah Yesus Maria Oebelo, Kabupaten Kupang.

Saya hadir di taman doa yang asri tersebut bersama umat dari Perumahan BTN Kolhua Kupang. 

Sebagaimana lazimnya kami umat Katolik, begitu mendengar beliau datang, saya bergegas mendatangi Sang Gembala lalu mencium cincin di tangannya.

Saya juga beritahu  hadir di taman itu untuk berdoa sekaligus ikut kerja bakti bersama umat lainnya. 

"Baiklah. Wartawan juga butuh doa. Jangan kamu hanya tulis-tulis orang punya masalah saja," katanya. Lugas dan tegas. 

Begitu sosok Mgr. Petrus Turang. Bapa Uskup kami yang terkasih telah mengakhiri ziarahnya di bumi fana pada hari Jumat 4 April 2025.

Selamat jalan, Yang Mulia. Tuhan maha rahim mendekapmu dalam damai abadi.

***

Semasa hidupnya dan terutama ketika menggembalakan umat Katolik di Keuskupan Agung Kupang selama 27 tahun, Mgr. Petrus Turang dekat dengan semua kalangan.

Dia tokoh lintas batas. Merangkul dan memberi tempat bagi semua. Uskup Petrus Turang pun selalu respek pada pekerjaan jurnalistik.

Dia mengenal para wartawan dengan baik, menghargai karya mereka. Memberi koreksi dan nasehat.

Apakah beliau suka publikasi? Sama sekali tidak. Petrus Turang bukan gembala umat yang doyan diberitakan media. 

Seturut pengalaman saya, Uskup Petrus Turang baru mau diwawancarai langsung untuk tema tertentu yang dianggapnya penting dan harus beliau sendiri yang menyuarakan.  Mgr. Petrus Turang lebih banyak bekerja daripada bicara.

"Mgr. Turang bukan tipe gembala yang mencari sorotan, namun langkahnya senantiasa terasa dalam diam. Ia berjalan jauh untuk menjangkau yang jauh," demikian dosen pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang, RD. Dr. Leo Mali dalam catatannya mengenang almarhum yang dipublikasikan Pos Kupang hari ini.

Menurut Romo Leo Mali, Mgr. Petrus Turang hadir di pelosok, mendengar suara umat kecil, dan merawat harapan mereka yang seringkali dipinggirkan oleh waktu dan sistem. 

Di tanah Nusa Tenggara Timur yang keras dan kerap diwarnai tantangan sosial, ia menjelma seperti sungai tenang yang memberi hidup bagi banyak jiwa.

Sebagai gembala, Mgr. Petrus Turang menunjukkan keseimbangan antara teologi dan pastoral. Ia menghidupi imannya tidak hanya dalam ritus dan rubrik, tetapi terutama dalam kedekatan. 

Meski kadang, sebagai seorang yang sangat cerdas dan berwawasan sangat luas, ia menjadi kurang sabaran di antara kawanannya sendiri. 

Ia memanusiakan jabatan uskup, bukan dengan melemahkan wibawanya, tetapi dengan menjadikannya cermin kasih Kristus yang merangkul. 

"Ia tidak mengejar pengaruh, tapi pengaruhnya menetap dalam kesetiaan panjang umat terhadap bimbingannya."

"Dalam banyak kesempatan, ia tampil sebagai penafsir zaman. Ia mengangkat suara terhadap ketidakadilan sosial (meski kadang dengan cara yang sangat halus), mendukung pendidikan yang bermartabat, dan menyuarakan pentingnya solidaritas lintas iman," demikian Leo Mali. 

***

Perkenalanku dengan Petrus Turang  bermula dari pengumuman penting di kota suci Vatikan 21 April 1997.

Pada hari Senin 21 April 1997 (Indonesia merayakan Hari Kartini) - kegembiraan disertai rasa penasaran menyeruak di Kupang serta kota dan desa seantero wilayah Keuskupan Agung Kupang (KAK).

Hari ituPaus Yohanes Paulus II mengangkat Petrus Turang sebagai uskup koajutor Keuskupan Agung Kupang.

Umat  KAK  gembira mendapat seorang gembala. Serentak pula merebak rasa  ingin tahu mengenai sosok sang  gembala yang kala itu berusia 50 tahun  karena namanya belum begitu familiar di Nusa Tenggara Timur.

Sebagai uskup koajutor, Mgr. Petrus Turang berhak menggantikan Uskup Agung Kupang Mgr. Gregorius Monteiro, SVD yang waktu itu telah memasuki usia pensiun. Kondisi kesehatan beliau pun tidak begitu bugar lagi.

Ketika Uskup Monteiro wafat  10 Oktober 1997,  Mgr. Petrus Turang otomatis meneruskan kepemimpinan keuskupan yang wilayahnya meliputi Kota Kupang, Kabupaten Kupang, TTS, Alor, Rote Ndao dan Sabu Raijua ini.

Pascapengumuman Takhta Suci 21 April 1997,  pekerjaan besar menanti hirarki gereja lokal dan seluruh umat  KAK  yaitu mempersiapkan acara penahbisan Uskup Petrus Turang.

Rapat menetapkan penahbisan tanggal 27 Juli 1997 di Kota Kupang. Firmus  Wangge didaulat  sebagai ketua panitia.

Suatu  pagi yang cerah,  Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Pos Kupang, Damyan Godho memanggil saya ke ruang kerjanya di kantor kami, Jl. Kenari No 1 Naikoten I Kupang.

“Dion, saya sudah masukkan  kau di seksi Humas dan Publikasi Panitia Tahbisan Uskup Piet Turang. Kerja baik-baik,” kata Om Damyan Godho membuka percakapan.

“Iya Om,” jawab saya. 

“Sebagian besar masyarakat NTT sepertinya belum terlalu mengenal bapa uskup kita yang baru,” lanjut saya.

“Justru karena itu tugas kau untuk menulis sebanyak mungkin tentang beliau  sehingga bisa dikenal umat Keuskupan Agung Kupang dan masyarakat NTT pada umumnya,” kata Om Damy.

Om Damy meminta saya segera bersua  Firmus Wangge sebagai ketua panitia. Saya menganggukkan kepala.

Kurang lebih tiga bulan persiapan panitia, saya  berinteraksi cukup intens dengan Om Firmus dan semua anggota panitia yang lain seperti Alo Djong Joko, para tokoh umat  termasuk Gubernur NTT saat itu, Herman Musakabe.

Atas penugasan dari Om Damy, semua informasi mengenai tahbisan  itu selalu dipublikasikan  Pos  Kupang yang merupakan satu-satunya koran harian yang di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat itu.

Hampir saban hari selama sebulan penuh menjelang penahbisan, saya menulis mengenai tema tersebut.

Beberapa topik yang saya tulis secara serial antara lain, sejarah Keuskupan Agung Kupang dari gereja diaspora hingga menjadi keuskupan,sejarah Gereja Katedral Kupang,  profil Uskup Gregorius Monteiro dan yang paling menantang adalah profil Uskup Petrus Turang.

Maklum sumber referensi mengenai Yang Mulia di sekretariat keuskupan pun tidak banyak.

Saya mesti esktra keras mendapatkannya.  Waktu itu belum ada Mbah Google. Jadi semua harus cari secara manual. Di situlah letak keasyikannya.

Puji Tuhan semua bahan yang saya butuhkan tersedia pada waktunya. Maka saya menulis profil Mgr. Petrus Turang sejak masa kecil di Tondano, masa pendidikan di seminari, tahbisan imamat serta pengabdian beliau sebelum diangkat Paus Yohanes Paulus II sebagai uskup.

Petrus Turang yang ditahbiskan menjadi imam diosesan Keuskupan Manado pada 18 Desember 1974 sempat menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Saya juga  menulis makna motto beliau Petransiit Benefaciendo atau Berkeliling Sambil Berbuat Baik (Kisah Para Rasul 10:38), makna lambang keuskupan dan lain-lain yang berkenaan dengan tugas sang gembala kelahiran Tataaran, Tondano Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara, 23 Februari 1947 ini.

Bekerja Bersama  Om Firmus Wangge dalam kepanitiaan menyenangkan. Berlatarbelakang pengusaha, cara berpikir dan bertindak Firmus Wangge jauh dari birokrasi bertele-tele.

Apalagi waktu efektif bagi panitia penahbisan saat itu tidak lama. Hanya kira-kira dua bulan lebih.

Om Firmus selalu memastikan setiap rencana dapat dikerjakan secara baik oleh masing-masing seksi dalam kepanitiaan. Orangnya tegas, bicara blak-blakan seperti Petrus Turang tapi juga mau mendengar setiap saran.

Singkat cerita tiba jua penahbisan Uskup Petrus Turang pada hari Minggu, 27 Juli 1997 di Arena Promosi Hasil Kerajinan Tangan Rakyat NTT, Kelurahan Fatululi, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang.

Arena pameran tak berbekas lagi. Di lokasi tersebut kini berdiri megah Lippo Plaza dan Rumah Sakit Siloam Kupang. Tak jauh dari situ ada kantor Harian Pos Kupang.  

Uskup Agung Jakarta, Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ bertindak sebagai Penahbis Utama  didampingi Pro-Nuncio Apostolik untuk Indonesia yang bergelar Uskup Agung Tituler Bellicastrum, Mgr. Pietro Sambi dan Uskup Agung Kupang saat itu, Gregorius Monteiro, SVD.

Upacara penahbisan berlangsung hikmat dan meriah. Sukses. Puluhan ribu umat Katolik tumpah ruah mengikutinya secara langsung di Fatululi.

Saya masih ingat kepada siapa ucapan terima kasih pertama yang disampaikan Uskup Petrus Turang, Pr saat memberikan sambutan seusai prosesi penahbisan. Beliau ucapkan terima kasih kepada wartawan!

“Terima kasih wartawan yang telah menulis sangat banyak tentang saya dan keuskupan ini,” kata Uskup Petrus Turang.

Saya yang berdiri meliput dari sisi kanan tribune, merinding. Terharu. 

Tentu bukan tujuan kami meminta atau mengharapkan ucapan terima kasih.

Menulis adalah tugas dan kewajiban jurnalis. Tapi ketika seorang gembala mengucapkan pada sebuah forum yang luar biasa, sungguh merupakan sesuatu.

Sampai akhir hayatnya, Om Damyan Godho dan Om Firmus Wangge menjalin relasi indah dengan Uskup Mgr. Petrus Turang.

Hubungan ketiganya tidak sekadar antara umat atau tokoh umat dengan sang gembala atau pemimpinnya. Mereka bersahabat. Teman diskusi. Saling berbagi suka dan duka.

Ketika kematian menjemput Om Damy dan Om Firmus, Yang Mulia Bapa Uskup Petrus Turang, orang pertama yang memberi peneguhan bagi keluarga.

Beliau juga yang memimpin misa requiem melepas jenazah kedua sahabatnya menuju tempat peristirahatan terakhir.

“Damy sudah berada di tempat yang lebih baik,” kata Mgr. Petrus Turang ketika memimpin misa pemakaman jenazah Om Damyan Godho  di Gereja St Fransiskus dari Assisi Kolhua Kupang, Kamis 31 Januari 2019.

Kata peneguhan dan penghiburan senada beliau sampaikan ketika memimpin misa requiem saat pemakaman jenazah Om Firmus Wangge di Gereja Katedral Kupang, Minggu 9 Februari 2020.

Terus terang saya respek pada beliau bertiga dalam hal membangun relasi. 

Mereka saling berbagi dan menopang dalam setiap gerak langkah bagi pembangunan daerah, masyarakat luas, untuk Gereja dan Tanah Air.

Tatkala Om Damyan Godho dipercayakan Uskup Turang menjadi Ketua Panitia Pembangunaan Taman Ziarah Yesus Maria di Belo, Kabupaten Kupang, saya tidak kaget dan heran.

Bapa Uskup tahu betul kepada siapa beliau memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang besar tersebut.

Bukit tandus dan lerengnya seluas kurang lebih 5 hektare berubah menjadi taman ziarah yang indah setelah dibangun selama 4 tahun.

Menurut Mgr. Petrus Turang, lahan ini merupakan hibah dari seorang umat, Yoseph Soleman kepada Keuskupan Agung Kupang.

Keuskupan lalu berinisiatif membangun tempat ziarah dengan bantuan para dermawan serta swadaya umat.

Pembangunan taman ziarah tersebut  yang panitianya dipimpin Om Damyan Godho  mulai 1 Oktober 2009. Di taman ini ada 20 titik tempat berdoa dan satu kapel di puncak bukit, Kapel St. Yohanes Paulus II.

Dari halaman kapel itu peziarah akan menikmati pemandangan indah jika mengarahkan mata ke Teluk Kupang serta pegunungan Fatuleu di kejauhan sana.

Pada hari Senin tanggal 25 November 2013, taman ziarah  Yesus Maria Belo diresmikan Kardinal dari Vatikan, Mgr. Stanislaw  Rylko.

Sampai akhir hayatnya Om Damyan Godho tercatat sebagai pengurus stasi taman ziarah tersebut. Setiap kali berziarah ke sana, saya selalu teringat beliau. Karyanya akan terkenang selalu.

Dalam wujud dan cara yang berbeda, kontribusi Firmus Wangge untuk Gereja dan Tanah Air pun tidaklah kecil.

Dalam suatu forum diskusi kecil, saya melihat bagaimana Firmus Wangge, Damyan Godho dan Uskup Mgr. Petrus Turang bertukar pandangan untuk membangun daerah, membangun Indonesia. 

Mereka tak sekadar  bergumul dengan masalah tapi memberikan tawaran solusi.

Kesaksian mengenai peran Firmus Wangge itu antara lain diungkapkan Gubernur Nusa Tenggara Timur periode 2008-2018, Drs. Frans Lebu Raya.

"Jasa beliau sangat besar bagi pembangunan di Nusa Tenggara Timur," kata Frans Lebu Raya, Sabtu (8/2/2020). Frans Lebu Raya pun telah berpulang.

Pria kelahiran Adonara, Kabupaten Flores Timur ini meninggal dunia di Denpasar Bali hari Minggu, 19 Desember 2021.

Mendiang Firmus Wangge dikenal luas sebagai pengusaha dan  sesepuh Partai Golkar NTT. Pria kelahiran Ende- Flores tersebut  pernah menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) NTT. Firmus juga aktif dalam aneka kegiatan sosial kemasyarakatan.

Demikian sekeping catatan mengenai tiga tokoh yang bersahabat karib, Mgr. Petrus Turang,  Damyan Godho, dan Firmus Wangge. Kini mereka sama-sama telah berada di keabadian.

Om Damy…

Om Firmus…

Bapa Uskup Petrus Turang...

Beristirahatlah dalam damai dan kasih Tuhan. 

Kami mengenangmu dengan penuh cinta. (*)

Sumber: Pos Kupang

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes