![]() |
Mgr. Petrus Turang |
In Memoriam Uskup Emeritus Mgr. Petrus Turang
Oleh: Rm. Gabriel A. I Benu, Pr
Imam Keuskupan Agung Kupang, tinggal di Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui, Kota Kupang - NTT
Berbicara tentang sosok Mgr. Petrus Turang selalu tidak ada habisnya.
Pribadi tegas dengan sorotan mata yang tajam ditambah dengan keluasan wawasan yang terkadang anti mainstream menjadikan beliau sosok yang dikagumi juga disegani.
Melalui tulisan ini saya ingin membagikan pengalaman perjumpaan dengan beliau secara dekat sekaligus secara khusus merefleksikan nasihat-nasihat praktis yang pernah dan sering beliau sampaikan kepada kami sebagai calon imam juga termasuk kepada para imam.
Pengalaman perjumpaan dengan beliau secara dekat terjadi setelah saya dan teman-teman seangkatan menyelesaikan masa formasi di Seminari Tinggi Tahun Orientasi Rohani (TOR) Lo’o Damian, Nela-Emaus Atambua.
Sudah menjadi kebiasaan bagi para frater calon imam bertemu dengan Bapak Uskup untuk meminta doa, berkat sekaligus nasihat-nasihat bagi perjalanan panggilan dan pendidikan sebagai calon-calon imam Keuskupan Agung Kupang.
Pertemuan dengan Bapak Uskup biasanya terjadi dilakukan sebelum menuju Tahun Orientasi Rohani atau sekembalinya dari sana tepat sebelum melanjutkan pendidikan dan pembinaan di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dan Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui-Kupang.
Kala itu tanggal 6 Juli 2016 pukul 10:00 WITA, bersama dengan ke-23 teman yang lain, kami bertemu dengan Bapak Uskup di Rumah Keuskupan Agung Kupang.
Pertemuan kami dengan Bapak Uskup sudah diatur oleh Sekretaris Keuskupan, RD. Yermias Siono (Alm).
Kesan kami sebelum menemui Bapak Uskup sangat menegangkan. Wajar saja karena bila bertemu dengan beliau selalu ada pertanyaan-pertanyaan ak terduga yang ditanyakan. Kesan ini juga banyak kali dirasakan oleh para imam.
Sekitar 15 menit sebelum pertemuan dimulai, Rm. Yono memberikan semacam briefing kepada kami perihal pertemuan tersebut. Atas kesepakatan kami, Ketua Tingkat Fr. Antonio Pukan mewakili kami untuk berbicara.
Beliau menyambut kami dengan hangat sambil salaman di pintu masuk ruangan. Kesempatan langka ini membuat kami sedikit kikuk. Melihat itu Bapak Uskup dengan nada bicara yang khas mengatakan, “masuk saja. Ini rumah kalian”.
Setelah kami semua masuk, sambal berjalan ke tempat duduk beliau bertanya, “bagaimana keadaan kalian di Tahun Rohani?”
Karena gugup, Fr. Antonio Pukan yang semula ditunjuk untuk berbicara pun diam saja. Kami semua diam. Saya lalu berinisiatif untuk menjawab pertanyaan beliau.
“Kami senang Bapak Uskup”. Beliau bertanya lagi, “senang seperti apa?” saya jawab, “kami senang karena situasi di Tahun Rohani itu sunyi dan juga kami bertemu dengan banyak orang yang menjadi orang tua angkat kami.”
Ketika beliau mendengar jawaban ini dengan nada agak meninggi beliau mengatakan, “Ini yang Uskup tidak suka. Kamu terlalu materialistis.”
Jawaban Bapak Uskup dengan nada yang meninggi membuat kami makin gugup dan terdiam. Dalam hati saya bertanya apa yang salah dengan jawaban saya.
Lalu beliau menjelaskan bahwa beliau tidak suka dengan dengan calon-calon imam dan imam-imam yang suka mencari orang tua angkat.
Bagi beliau itu materialistis dan cenderung memengaruhi orientasi hidup sebagai calon imam dan imam dari berusaha melayani dan memberi menjadi upaya untuk mengumpulkan bagi diri sendiri.
Beliau juga mengingatkan bahwa hubungan dengan orang tua angkat perlahan-lahan memudarkan hubungan dengan keluarga dan orang tua kandung.
Bahkan beliau mengangkat fenomena bahwa ada begitu banyak calon imam dan imam yang tidak lagi mengisi waktu liburan bersama dengan keluarga inti tetapi justru lebih banyak memilih berlibur ke rumah-rumah orang tua angkat. Waktu itu kami tidak begitu memahami apa maksud beliau.
Memupuk Panggilan Bersama Keluarga
Bagi Mgr. Petrus Turang, panggilan hidup menjadi seorang calon imam dan imam lahir dan bertumbuh pertama-tama di dalam keluarga-keluarga.
Bahkan dalam banyak pengalaman, panggilan hidup sebagai calon imam dan imam justru lahir dari keluarga-keluarga yang sederhana.
Menurut beliau ketika seorang calon imam dan imam kehilangan hubungan dengan keluarga-orang tua dan saudara-saudara kandung-pada saat itulah ia akan kehilangan jatidiri dan panggilannya.
Panggilan hidup sebagai calon imam dan imam harus terus dirawat dalam hubungan yang tidak terputuskan dengan keluarga. Upaya merawat panggilan itu dimulai dari hal-hal sederhana.
Saat berlibur pulang ke rumah keluarga, bercerita dengan keluarga tentang panggilan, membantu orang tua dalam pekerjaan sehari-hari di rumah. Dengan ini panggilan itu akan terus segar dan bertumbuh.
Hubungan formasi panggilan hidup sebagai calon-calon imam dan keluarga juga ditegaskan dalam Konsili Vatikan II secara khusus di dalam Dekrit tentang Pembinaan Imam (Optatam Totius).
Konsili menegaskan, “Pengembangan panggilan termasuk kewajiban seluruh jemaat Kristen, yang harus menumbuhkannya terutama dengan peri hidup Kristen sepenuhnya. Dalam hal itu sangat besarlah sumbangan keluarga-keluarga, yang dijiwai semangat iman dan cinta kasih serta ditandai sikap hati, menjadikannya bagai seminari pertama.” (OT. 2).
Penekanan Konsili tentang keluarga-keluarga sebagai seminari pertama, pada gilirannya memberikan awasan bagi calon-calon imam dan imam untuk selalu merawat panggilan yang dianugerahkan kepadanya dalam hubungan dengan keluarga, tempat pertama benih-benih panggilan itu ditaburkan, bertumbuh dan berkembang.
Hal ini juga serentak menjadi pengingat manakala hubungan itu mulai memudar akibat kekeliruan menafsirkan kehadiran pihak-pihak lain di sepanjang upaya menjawabi panggilan yang menawarkan bantuan, donasi dan lain sebagainya.
Nasihat Mgr. Petrus Turang tentang fenomena ini perlu secara jujur diungkapkan bahwa ada juga calon-calon imam termasuk imam yang oleh karena donasi, bantuan dan privilese-privilese dari pihak-pihak lain, justru membuat hubungan dengan keluarga inti menjadi renggang bahkan nyaris putus.
Merawat panggilan bersama dan di dalam keluarga merupakan kewajiban yang tidak mengenal untung-rugi. Hal ini wajib dilaksanakan karena panggilan itu pada hakikatnya lahir dari keluarga dan melalui keluargalah panggilan itu pertama-tama ditanamkan, dirawat dan didoakan (L. Prasetya, 2014).
Peranan keluarga tidak selesai setelah masa formasi. Justru sebaliknya peranan keluarga sebagai pendukung dan pendoa utama terus berlanjut lebih intens selama masa pelayanan imamat seorang imam.
Bertahun-tahun kemudian saya menyadari bahwa kenyataan inilah yang dilihat oleh Mgr. Petrus Turang dan dinasihatkan kepada kami di dalam pertemuan kala itu.
Tekun Berdoa dan Belajar
Selain menekankan pentingnya merawat hubungan dengan keluarga, Bapak Uskup juga menyoroti pentingnya hidup doa dan ketekunan dalam belajar.
Menurut beliu hidup di Seminari Tinggi membutuhkan konsentrasi belajar yang intens, tetapi satu hal yang tidak pernah boleh dilupakan adalah kekuatan hidup doa.
Di satu pihak, ketekunan mempelajari ilmu filsafat, teologi, Kitab Suci dan ilmu-ilmu humaniora lainnya membentuk calon imam sebagai pelayan yang berkompeten dan berkualitas untuk pelayanan di masa-masa mendatang namun di lain pihak, ketekunan dalam hidup doa akan membentuk spiritualitas hidup setiap calon imam sebagai manusia pendoa (man of prayer) yang siap menghadapi tantangan hidup zaman yang kian sekular.
Mgr. Petrus Turang menekankan pentingnya mempelajari filsafat dan teologi sebagai syarat utama di bidang formasi intelektual bagi seorang calon imam mengingat filsafat memberikan dasar-dasar berpikir yang terukur, sistematis dan logis di samping ilmu teologi yang membantu seorang calon imam merefleksikan dengan baik dan benar Iman Kristiani sebagaimana telah diwariskan oleh Gereja melalui Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium Suci.
Melalui filsafat dan teologi setiap calon imam dibantu untuk menempatkan pilihan-pilihan mendasar pada Kristus dan panggilan-Nya serta mampu mengapresiasi kekayaan iman dalam terang bimbingan spiritual secara intensif (D. Gusti Bagus Kusumawanta, 2011).
Tentang hidup doa, Bapak Uskup menekankan pentingnya Ekaristi, membaca Kitab Suci dan ibadat Brevir.
Melalui Ekaristi, setiap calon imam dan imam secara berkanjang mengkonfigurasikan hidup dan panggilannya pada Kristus sendiri.
Ekaristi menguatkan hidup dan menghadirkan kebaruan secara terus-menerus di dalam proses menjawab panggilan.
Di dalam Ekaristi setiap calon imam dan imam membarui panggilannya serta meletakkan seluruh syukur hidupnya pada Allah oleh karena anugerah yang diterima terus-menerus.
Ekaristi juga mengantar pada ketekunan membaca Kitab Suci yang menginspirasi setiap calon imam dan imam untuk sanggup menjadi terang dan garam di dalam dunia dan kesehariannya.
Dengan melaksanakan ibadat Brevir, setiap calon imam dan imam mengambil bagian dalam kesatuan bersama seluruh Gereja untuk mendoakan Gereja dan seluruh dunia.
Inilah kewajiban dasarih setiap calon imam dan imam yang harus dilaksanakan dengan kesadaran penuh dan kegembiraan sejati.
Pentingnya Hidup Sederhana
Nasihat terakhir dari Bapak Uskup dalam pertemuan kami kala itu dinyatakan secara tidak langsung.
Bapak Uskup memperhatikan busana kami. Sambil melihat ke arah sepatu kami beliau mengatakan, “Uskup tidak melihat kaus kaki putih”.
Kami hanya tersenyum. Mgr. Petrus Turang sangat menekankan pentingnya berbusana para calon imam dan imam. Dalam banyak kesempatan, beliau selalu menekankan pentingnya busana yang pantas.
Busana yang menunjukan kesederhanaan seorang calon imam dan imam. Terutama di dalam perayaan-perayaan liturgi, beliau selalu menekankan agar para calon imam dan imam mengenakan busana sederhana yang pantas terutama berkaitan dengan sepatu. Tepatnya sepatu kulit yang sederhana.
Tekanan ini wajar dan tidak berlebihan. Sebagai seorang Uskup dengan latar belakang ilmu sosiologi, beliau tentu mengamati dan memahami dengan baik fenomena perkembangan mode busana modis yang bahkan merambah masuk ke dalam gaya hidup calon imam dan imam.
Sebagaimana orientasi panggilan hidup yang diemban menekankan kesederhanaan, beliau seringkali dalam banyak kesempatan mengajak para calon imam dan imam untuk berlaku sederhana dimulai dari apa yang dipakai.
Beliau bahkan telah menunjukkannya terlebih dahulu. Bahkan, belum pernah terlihat beliau menggunakan telepon genggam di depan umum. Inilah kederhanaan yang diteladankannya.
Tidak saja soal busana, beliau sangat memperhatikan urusan makan-minum terutama pangan lokal untuk menunjang pola dan gaya hidup sehat.
Beliau kadang-kadang dengan halus dan bercanda menyentil para frater dan romo yang nyaris obesitas. Sungguh sosok bapa yang peduli.
Setelah sekitar 20 menit mendengarkan nasihat dan beliau, kami berpamitan kembali ke rumah untuk berlibur sambal mempersiapkan diri untuk masuk ke Seminari Tinggi. Beliau mendoakan dan memberi berkat bagi kami.
Akhirnya setelah 9 tahun berproses, ketika kuncup perjalanan imamat saya baru mulai merekah, persisnya pada pagi hari Jumat, 4 April 2025 pukul 06.20, tiba sebuah pesan singkat di grup WA para imam. Bapak Uskup Mgr. Petrus Turang telah pergi untuk untuk selamanya.
Terima kasih Bapak Uskup untuk perjumpaan dan nasihat-nasihat yang meneguhkan. Setelah bertahun-tahun nasihat-nasihat itu masih tersimpan kuat di hati saya dan teman-teman.
Kami akan terus mengingatnya di dalam perjalanan selanjutnya. Bapak Uskup akan selalu berada di hati kami.
Terima kasih bapak yang murah hati. Uskup yang melahirkan 159 imam diosesan. Uskup yang melahirkan Uskup dalam diri Mgr. Hironimus Pakaenoni.
Doa kami semoga Bapak Uskup beristirahat dalam damai dan kerahiman Tuhan. Terima kasih Monsinyur. Pertransiit Benefaciendo sempiternam. (*)
Sumber: Pos Kupang