Tempat Kosong Di Atas Mitra Uskup

Mgr. Petrus Turang

Oleh: RD. Leo Mali

Rohaniwan dan Dosen Filsafat pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang

POS-KUPANG.COM- Pagi hari, 4 April 2025, pukul 8.15 Wita ketika sedang berada di ruang kelas untuk menguji tesis salah seorang frater Tingkat VI dari Konvict Keuskupan Agung Kupang, kami mendapat kabar “kepergian” Mgr. Emeritus Petrus Turang. 

Tiba-tiba tangan saya terasa dingin. Kedua kelopak mata saya sembab. Kami terdiam. 

Beberapa saat kemudian, saya berbisik minta izin ke Romo Dr. Herman Punda Panda yang duduk di samping saya, agar ujian dihentikan sejenak untuk berdoa. Lalu kamipun hening dan berdoa bersama.  

Setelah selesai ujian, saya mulai menulis catatan ini. Memori saya berputar beberapa puluh tahun ke belakang. Tanggal  24 Mei 1997 beliau ditunjuk oleh Takhta Suci menjadi Uskup Koajutor Keuskupan Agung Kupang, dan kemudian menerima tahbisan episkopal sebagai Uskup tanggal 27 Juli 1997. 

Berdasarkan kanon 403 paragraf 3,  beliau kemudian menjadi Uskup Agung Kupang menyusul wafatnya alm. Mgr. Gregorius Monteiro 10 Oktober 1997. 

Setelah menjadi Uskup, saya mendapat kesempatan untuk bekerja bersama beliau. Dan tulisan ini merupakan sebuah refleksi pribadi atas pengalaman bersamanya selama 27 tahun, dari tahun 1997 sampai 2024. 

Saya ingin membingkai tulisan ini dengan sebuah kalimatnya,  “Mengapa ada tempat kosong di atas mitra uskup.” 

Demikian tanya beliau kepada umat yang hadir. Kemudian ia sendiri melanjutkan. “Karena seorang uskup harus meletakkan persoalan umat di ruang kosong atas mitranya.”  

Kalimat ini meluncur dari bibir Mgr. Petrus Turang dalam sambutan perdananya di Aula Katedral Kupang, tanggal 26 Juli 1997, sehari sebelum tahbisan episkopalnya. Kalimat pembuka sambutan itu tidak biasa. 

Awalnya saya tertarik hanya karena pertanyaan itu tidak biasa. Terdengar retoris sebagai pembuka sambutan atau sebuah pidato. 

Tapi kemudian saya mengerti kata-kata itu buksn sekadar retorika dari seorang gembala yang akan menerima tongkat penggembalaan; tapi kalimat itu adalah pengakuan jujur dari hati yang merendah, sekaligus tekad diam dari jiwa yang siap membaktikan diri. 

Kalimat tersebut menjadi semacam nubuat personal yang ia genapi dalam peziarahan panjang pelayanannya selama 27 tahun sebagai Uskup Agung Kupang.

Kini, tempat itu tetap kosong. Mitra uskup yang dulu menandai kehadirannya sebagai gembala yang memikirkan persoalan umat, kini tak lagi ia kenakan. 

Namun, kekosongan itu bukan semata kehilangan. Ia adalah ruang kenangan, tempat gema karya dan kasih Mgr. Petrus Turang akan terus hidup di hati umatnya. 

Tahun ini, tahun Yubelium dengan tema Peregrinantes in spem —peziarah pengharapan—ia mengakhiri ziarahnya dengan cara yang begitu indah: memasuki pintu keabadian, seperti umat diajak memasuki Pintu Suci demi memperoleh indulgensi penuh.

Ketika ditahbiskan beliau memilih moto episcopalnya, Per transiit benefaciendo— “Ia  (Yesus) berkeliling sambil berbuat baik” (Kis. 10:38)—adalah janji yang tidak pernah ia khianati. 

Mgr. Turang bukan tipe gembala yang mencari sorotan, namun langkahnya senantiasa terasa dalam diam. Ia berjalan jauh untuk menjangkau yang jauh. 

Ia hadir di pelosok, mendengar suara umat kecil, dan merawat harapan mereka yang seringkali dipinggirkan oleh waktu dan sistem. 

Di tanah Nusa Tenggara Timur yang keras dan kerap diwarnai tantangan sosial, ia menjelma seperti sungai tenang yang memberi hidup bagi banyak jiwa.

Sebagai gembala, Mgr. Petrus Turang menunjukkan keseimbangan antara teologi dan pastoral. Ia menghidupi imannya tidak hanya dalam ritus dan rubrik, tetapi terutama dalam kedekatan. 

Meski kadang, sebagai seorang yang sangat cerdas dan berwawasan sangat luas, ia menjadi kurang sabaran di antara kawanannya sendiri. 

Ia memanusiakan jabatan uskup, bukan dengan melemahkan wibawanya, tetapi dengan menjadikannya cermin kasih Kristus yang merangkul. 

Ia tidak menuntut penghormatan, tapi umat menghormatinya dengan tulus. Saya ingat sebuah kejadian sederhana di bulan Oktober tahun 1999 ketika beliau mengunjungi Kapela Stasi Pakubaun Amarasi. 

Saat itu saya bertugas sebagai Pastor Paroki.  Beliau menolak dan tidak mau umat mencium tangannya. 

Saya harus meyakinkan beliau, agar umat boleh mencium tangannya. Akhirnya beliau mengalah. 

Ia tidak mengejar pengaruh, tapi pengaruhnya menetap dalam kesetiaan panjang umat terhadap bimbingannya.

Dalam banyak kesempatan, ia tampil sebagai penafsir zaman. Ia mengangkat suara terhadap ketidakadilan sosial (meski kadang dengan cara yang sangat halus), mendukung pendidikan yang bermartabat, dan menyuarakan pentingnya solidaritas lintas iman. 

Namun, seperti halnya Kristus yang memilih naik ke Yerusalem dalam kesunyian dan ketaatan, Mgr. Turang menjalani jalannya sebagai gembala tanpa hiruk-pikuk. 

Pelayanannya adalah litani panjang dari kebaikan-kebaikan kecil yang terus bergema. 

Ia tidak mencari hasil besar dalam waktu singkat, namun menabur kesetiaan yang kelak berbuah dalam ketekunan waktu.

Ketika dunia kini tergerus oleh sensasi dan kekuasaan yang cepat berganti, warisan Mgr. Petrus Turang mengingatkan kita pada nilai ziarah yang sabar, dan ketulusan pelayanan yang senyap. 

Ia menjadi teladan bagi para katekis, imam muda, dan umat awam: bahwa pelayanan bukan soal panggung, tetapi tentang hati yang hadir dan siap menjadi sahabat bagi yang tersingkir. 

Dalam sambutan pertamanya, setelah ditahbiskan, ia berkata: “I am not to be succesful, but I am here to be faithful.”   Ia menghidupi spiritualitas gembala yang —berjalan, hadir, dan berbuat baik. 

Pada tahun Yubelium ini, saat Gereja universal diajak merenungkan harapan dalam ziarah iman, kepergian Mgr. 

Petrus Turang menjadi peristiwa profetis. Seakan ia sendiri melangkah menuju Pintu Suci terakhirnya, bukan di basilika agung, melainkan dalam hati umat yang ia layani. 

Ia mengajarkan kita makna terdalam dari indulgensi: pelepasan dari beban dunia, masuk ke dalam terang rahmat Ilahi. Dan kini, di altar kenangan, kita menaruh doa dan syukur. 

Untuk hidup yang ia persembahkan. Untuk kasih yang ia tabur. Untuk keteladanan yang akan terus dibaca, bukan di atas kertas, tapi dalam langkah Gereja lokal yang ia cintai.  

Selamat jalan, Sang Gembala. Mitramu telah kauletakkan, tempatnya kini kosong, namun tidak hampa. Ia akan tetap dikenang sebagai ruang harapan dan inspirasi bagi para penerusmu. 

Kami akan melanjutkan Ziarahmu bersama Uskup terkasih kami yang telah Dikau-urapi : Mgr. Hironimus Pakaenoni, dengan menjaga dan memperhatikan ruang kosong di atas mitra uskup.

 Dalam kenangan penuh hormat dan cinta, Terimakasih Monsinyur. Hodie tibi, cras mihi: Hari ini giliranmu, esok kami menyusul. 

Dalam Kristus yang bangkit, kita semua adalah peziarah pengharapan yang melangkah menuju keabadian. (*)

Sumber: Pos Kupang

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes