Mbete Woda Jatuh Cinta

Dion Dosi Bata Putra
Oleh Dion Dosi Bata Putra

MBETE Woda adalah anak dari Woda Rasi. Dari tokoh inilah kemudian beranak-pihak warga suku Lise Nggonderia dan Lise Kurulande. Mbete Woda dikenal sebagai pemuda tampan dan suka bertualang seperti ayahnya Woda Rasi. Kisah cinta unik dengan seorang gadis asal daerah Bu (sekitar Desa Bu Utara, Kecamatan Paga Kabupaten Sikka sekarang).

Gadis itu berlesung pipi, rambut hitam panjang lurus bak mayang terurai. Matanya lentik, kulit kuning langsat, hidung mancung, betis laksana padi yang hamil. Pembawaannya ramah. Sambe boleh dikata merupakan kembang di kampungnya dan menjadi incaran banyak perjaka. Kecantikan Sambe suah terkenal luas di kampong sekitar.

Syahdan, menurut cerita turun-temurun, Mbete Woda yang suka bertualang itu pada suatu hati tiba di kampung Nona Sambe. Kebetulan saat itu ada pesta syukuran di kampung itu. Mbete rupanya sudah mendengar cerita tentang kecantikan Sambe bahkan diam-diam dia pun sudah melihat kecantikan gadis itu. Makanya saat ke kampong gadis ini,  Mbete membawa serta wea ngawu (perhiasan dari emas) yang diisi dalam periuk tanah.

Ketika tiba di kampung Bu, Mbete Woda melihat gadis incarannya sedang menumbuk padi  sendirian di samping rumah orangtuanya. Sebagaimana lazimnya orang-orang pada masa itu, Sambe hanya mengenakan busana yang menutup dada ke bawah. Keduanya belum pernah bertemu muka sebelumnya.

Dengan tenang  Mbete menghampiri Sambe dan serta-merta memberikan periuk emas kepada sang dara ayu dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut. "Weta e.aku rina weta deo ngawu neku ina. Saya harus pergi buru-buru karena ada urusan yang penting sekali." Artinya, "nona saya minta tolong nona simpan perhiasan emasku ini. Saya h" Mbete Woda hanya mengucapkan kata-kata itu lalu bergegas pergi begitu saja. Sambe yang pangling dan bingung, bahkan tak sempat mengeluarkan sepatah kata pun karena pemuda itu sudah pergi entah ke mana.

Sambe yang bingung mengharu-biru perasaannya karena pertemuan dengan sang pemuda begitu mendadak dan cepat. Sambe heran, mengapa pemuda yang belum dikenalnya itu berani menitipkan perhiasan emas kepadanya. Sambe kemudian melaporkan insiden itu kepada ayah dan ibunya.  Ayahnya sangat terkejut bahkan sempat memarahi Sambe mengapa mau menerima begitu saja titipan itu?

Sambe Cuma bisa meyakinkan ayahnya bahwa ia masih mengingat dengan baik wajah pemuda tampan itu. Kebetulan pada malam harinya  saat pesta syukuran di kampong itu Mbete Woda menampakkan dirinya dengan ikut gawi (tarian missal tanda syukur, kegembiraan dan kebahagiaan dalam tradisi Lio). Sambe kemudian memberi tahu ayahnya bahwa itulah pemuda yang pada siang tadi menitipkan perhiasan emas kepadanya.

Sang ayah mengamati dengan teliti wajah pemuda itu yang sedang menari bersama-sama orang. Dia menunggu waktu sang pemuda istirahat dan akan langsung menemuinya. Entah  Mbete sudah tahu diamati seseorang, dia pun mencari waktu yang tepat dengan tiba-tiba keluar dari lingkaran tarian gawi dan menghilang dalam kegelapan malam. Menurut pengakuan Woda Mbete di kemudian hari, setelah ia melihat Sambe pada malam itu, dia langsung meninggalkan tari gawi dan kembali ke kampong halamannya di Nua Tu, Desa Lise Lowobora Kecamatan Wolowaru (sekarang). Jarak dari kampong Bu puluhan kilometer harus naik gunung dan turun ke lembah. Pada masa itu antarkampung terisolir dan kawasan masih lebat dengan hutan rimba.
Ulah Mbete Woda tentu saja membuat Sambe dan ayahnya gundah.

 Ayah Sambe berembuk dengan keluarganya dan mereka berkesimpulan bahwa pemuda itu pasti punya maksud dan bisa ditebak dia naksir Sambe sejak lama. Perhiasan emas dalam tradisi Lio adalah pemberian istimewa sebagai belis saat seseorang dipinang.  Mereka coba mengumpulkan informasi tentang siapa sesungguhnya pemuda itu. Cuma dapat informasi yang minim kalau pemuda itu berasal dari daerah barat, dari kampong di sebelah gunung. Juga disebut-sebut mungkin dia putra Woda Rasi yang namanya sudah tersohor.

Sambe sendiri pun tak bisa tidur pulas sejak kejadian itu. Dia terus dibayangi wajah sang pemuda yang dengan senyum ramah dan sedikit cuek memberikan wea ngawunya kepada Sambe. Seminggu setelah pertemuan itu akhirnya Sambe memilih jalan ini meskipun sempat ditentang keras orangtuanya. Ditemani sepupunya, seorang peremuan yang lebih tua dan seorang pria paruh baya, Sambe meninggalkan kampung Bu menuju arah barat mencari tahu keberadaan sang pemuda misterius. Mereka membawa bekal secukupnya mengingat tempat tujuan tdak diketahui secara pasti.

Sambe berkali-kali menangis sepanjang perjalanan mencari pemuda itu. Makin ke barat setelah melewati kampong demi kampong, Sambe dan kedua sepupu yang menemaninya makin dapat informasi yang lebih jelas tentang pemuda itu. Sambe meninggalkan kampungnya dan melewati  Kampung Nuanula, Wolowuwu, Wolonia, Detuweru, Watuwisa, Wolobheto, Tebo Laka. Di Tebo Laka Sambe tahu nama pemuda itu  Mbete Woda dan kampungnya di Nua Tu. Sambe pun terus berjalan melewati kampung Ae Tunggu, Wololele A, Wololele B dan akhirnya sampai di Nua Tu.

Di kampung ini Sambe dan kedua sepupunya diantar langsung ke rumah orangtua  Mbete Woda.  Woda Rasi dan istrinya menerima gadis itu dengan baik dan mengertilah mereka bahwa inilah gadis pilihan Mbete. Sudah lama  Woda Rasi meminta putranya segera menikah namun baru kali  ini datang seorang gadis ke rumah itu.

Dua hari kemudian dua sepupu Sambe pulang ke Kampung Bu, sedangkan Sambe tetap tinggal di rumah Mbete Woda. Dalam istilah orang Lise, Sambe paru haki atau paru dheko ata haki (lari ikut laki-laki atau kawin lari) sehingga dia tidak mungkin kembali lagi ke orangtuanya. Tabu bagi seorang gadis yang masuk rumah laki-laki untuk kembali.

Berselang beberapa hari kemudian berangkatlah utusan keluarga  Mbete Woda menemui ayah dan ibu Sambe di Kampung Bu. Sesuai tradisi mereka menyatakan bahwa Sambe sudah "paru haki" sama Mbete Woda. Ditentukan waktu dan hari untuk antaran belis dan kedua sejoli akhirnya resmi menjadi suami istri. Acara pernikahan mereka berlangsung meriah.

Dari hasil perkawinan Woda Mbete dan Sambe inilah lahir anak-anaknya yaitu Ndopo Mbete, Laka Mbete, Tani Mbete (ada dua orang yaitu Tani Loo dan Tani Dua), Woda Mbete dan Wangge Mbete. Woda Mbete kemudian memperanakkan Dosi, Mbete, Tani, Senda, Kewa dan Kemba. Keturunan Mbete Woda itulah di kemudian hari menjadi mosalaki Puu Lise Tana Telu serta Riabewa di Wololele A dan Mulawatu.

Perkawinan Sambe dengan Mbete Woda menunjukkan bahwa sejak berabad-abad yang lalu sudah ada ikatan genealogis yang rapat antara orang Lise dengan orang Bu. Pertalian darah itu bahkan masih bertahan sampai sekarang. Kedua etnis kawin-mawin. Dalam banyak sisi kehidupan maupun tradisi, orang Bu, Paga, Mauloo, Lekebai dengan Lise umumnya sama saja. Hanya ada beberapa perbedaan yang tidak prinsipil. Karena itulah masyarakat Kecamatan Paga, Mego dan Bu selalu dengan bangga menyebut dirinya orang Lio atau Ata Lio, bukan orang Sikka.

Kedekatan geografis dan kultur sebenarnya soal lazim bagi masyarakat Pulau Flores secara keseluruhan. Apabila ditelusuri ke masa silam, ada persamaan-persamaan  yang tetap ada sampai sekarang ini. Kalau ada perbedaan, itu bisa dimengerti mengingat kondisi lingkungan setempat serta perpaduan dengan berbagai unsur budaya. *
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes