Hukum Adat Suku Lise

Dion DB Putra
Oleh Dion Dosi Bata Putra

SUKU
Lise memiliki seperangkat hukum adat yang diwariskan secara turun-temurun. Perkembangan zaman, intevensi agama (Gereja Katolik) ikut melunturkan hokum dat tersebut apalagi dengan praktik hukum kolonial dan hukum positif  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI. Beberapa hukum adat Suku Lise yang masih dikenal antara lain:

1.    Wale Pela

Hukum berupa sanksi atau denda terhadap seseorang yang terbukti berzinah atau istilah pop selingkuh. Zinah dalam pengertian masayarakat Lise sama dengan zinah yang dikenal umum. Artinya seseorang (baik pria maupun wanita) melanggar norma kesusilaan. Yang dikenai wale atau denda dalam kasus zinah adalah pria, sedangkan wanita mendapat sanksi secara moral. 


Pria yang ketahuan berzinah biasanya diadili para hakim adat di rumah pertemuan yang dinamai kuwu, letaknya persis di tengah perkampungan. Kuwu itu semacam tempat mengaso juga dan tempat untuk acara makan bersama dan lain-lain. Kecuali anak di bawah umur, proses peradilan adat itu terbuka untuk umum, menghadirkan pelaku dan saksi-saksi. Yang berzinah harus memberikan wale kepada perempuan berupa hewan, uang, emas serta kain tenunan. Jumlahnya sudah ditentukan sesuai standar umum dalam suku tersebut.

2.    Ngiri Tolo Ata Fai Rio

Kedapatan mengintip perempuan atau laki-laki mandi pun ada sanksinya. Di suku Lise mengenal aturan ini. Biasanya tempat pemandian umum untuk kaum laki-laki dan perempuan sudah ditentukan. Bisa saja lokasinya berbeda dengan letak tak berjauhan. Bisa juga lokasinya sama. Untuk lokasi yang sama, maka waktu mandi bagi kaum perempuan dan laki-laki diatur sedemikian rupa agar tidak bersamaan. Biasanya kaum wanita didahulukan.

Lokasi pemandian pun lazimnya tidak seberapa jauh dari jalan umum, sehingga setiap orang yang melewati jalan itu bertepatan dengan jam mandi harus berteriak dengan suara nyaring rioo...rioooo.. rio.. (rio = mandi, apakah ada orang yang mandi). Kalau ada sahutan rio. berarti di sana masih ada orang mandi, sehingga langkah harus dihentikan menunggu orang itu selesai mandi baru Anda boleh melanjutkan perjalanan. Orang yang mandi akan memberi tahu dengan teriakan pula bila dia sudah selesai membersihkan tubuh dan berpakaian.

Sebaliknya jika tidak ada jawaban sampai panggilan ketiga, berarti tidak ada orang yang mandi di sungai atau kolam tersebut. Cara mandi orang Lise di tempat pemandian umum biasanya telanjang bulat alias bugil, baik perempuan maupun laki-laki. Karena haram hukumnya bagi yang tidak sejenis kelamin untuk melihatnya secara langsung  bagian tubuh vital yang harus dirahasiakan. Saya di masa kecil pada usia sampai 10 tahun masih melihat praktik itu di kampong kami di Mulawatu, Wolonio dan kampung lainnya di wilayah Lise.

Walaupun tidak tertulis waktu mandi untuk kaum perempuan dan laki-laki berbeda. Untuk kaum wanita pagi hari sekitar pukul 06.00-06.30. Sedangkan sore hari sekitar pukul 16.30-17.30 Wita. Untuk kaum pria jadwalnya setelah kaum wanita, baik pagi  maupun sore hari, terutama untuk lokasi pemandian yang sama atau berdekatan. Jika lokasinya berjauhan waktu mandi bisa saja sama atau fleksibel.

Aturan ini cukup ketat dan ditaati warga suku. Barangsiapa melanggar (lazimnya kaum lelaki yang usil mengintip perempuan mandi (ngiri tolo ata fai rio), akan dikenakan sanksi adat. Perempuan yang suka mengintip akan dikenai sanksi, bentuk sanksi berupa denda Cuma lebih ringan dibandingkan wale pela (berzinah).

Dalam urusan mandi di masa lalu, orang Lise tidak mengikuti syarat kesehatan modern yaitu mandi dua kali sehari. Rata-rata orang Lise mandi sekali sehari  yaitu pada sore hari. Pagi hari setelah sarapan mereka langsung ke kebun, ke padang menggembalakan ternah atau mengambil nira (bahan baku moke). Karena itu jangan heran bila pada sore hari tempat pemandian relative lebih ramai ketimbang pagi hari. Kecuali kalau pada hari Minggu, hari libur atau ada suatu hajatan, pastilah ada yang mandi pagi. Atau kaum perempuan yang datang bulan (haid) akan ketahuan karena pagi-pagi ia pergi mandi di lowo (kali, sungai) atau ke gomo (kolam kecil, sumber mata air).

Sebagai alat mengeluarkan daki, kotoran dari tubuh, orang Lise menggunakan batu. Sedangkan sikat gigi menggunakan sabut kelapa atau kulit buah  pinang. Cukup digosok di gigi akan kelihatan bersih dan sehat. Hukum adat soal mandi masih berlaku, walaupun cara mandi kaum perempuan dan laki-laki orang Lise sekarang ini sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya, kaum perempuan terutama nona-nona sudah jarang mandi telanjang ramai-ramai di tempat pemandian umum. Saat mandi mereka memakai kain penutup sekitar dada (toko kasa) dan paha (puu paa). Pun dengan budaya kamar mandi dan WC sebagai bagian dari rumah tinggal, sehingga makin jarang yang mandi di lokasi pemandian umum.

Perempuan Lise sekarang pun sudah mengenal shampoo (cream pencuci rambut atau membersihkan ketombe).  Pada masa silam kaum perempuan Lise merawat rambut mereka dengan santan kelapa dicampur kemiri. Istilah setempat  adalah koso holo/kolo. Santan kelapa untuk perawatan rambut dipilih dari buah kelapa terbaik dan diolah secara khusus, lazimnya cukup kental dan harum lalu digosok-gosokkan di kepala, dipijat sedemikian rupa hingga terasa menyegarkan. Setelah beberapa jam kemudian baru dibilas dengan air bersih.

Menyaksikan perempuan Lise koso holo belakangan ini sudah langka karena serbuan shampoo. Perlu diketahui hampir 60 persen perempuan Lise berambut lurus panjang dan hitam mengilap. Yang berambut keriting kemungkinan besar gennya dari suku asli, penduduk pribumi Flores yang menurut Weber masuk kategori manusia Polynesia  dengan cirri fisik hitam-keriting-kecil. Budaya wege fu dalam tradisi Lise dan Lio umumnya logis jikalau perempuan berambut panjang dan lurus, bukan rambut keriting yang akan sulit untuk digulung melingkar (wege).

Sebagai bandingan, kaum perempuan dalam suka Jawa, Sumatera dan Sulawesi juga mengenal wege fu. Itu artinya ada benang merah budaya, ada mata rantai yang terkait sebagai sama-sama keturuan Malaka (Melayu).

3.    Naka Nowi


 Orang yang tangan panjang atau suka mencuri juga dikenai hukuman. Pencuri juga diadili di dalam kuwu dengan menghadirkan saksi-saksi, pelaku dan korban. Jika bukti-bukti mendukung, maka hakim adat memvonis si pencuri dengan hukuman atau sanksi adat antara lain ia harus memberi makan orang sekampung dengan bunuh seekor babi ukuran delapan pikul. Pencuri juga harus mengganti kerugian korban serta dihukum cambuk dengan ekor pari atau berguling keliling tujuh kali di dalam heda hanga (lapangan adat).

Hukuman yang sangat berat ini dimaksudkan agar si pencuri jera dan tidak mengulangi perbuatannya sekaligus berfungsi mendidik bagi warga suku lainnya. Jika pencuri mengulangi perbuatannya, ia dapat diusir keluar dari kampung dan dinyatakan murtad (tidak diakui lagi sebagai warga suku).

Saya pernah menyaksikan sendiri hukuman terhadap pencuri buah pinang di kampu ng Mulawatu tahun akhir tahun 1970-an.  Dia dihukum berguling di heda hanga yang penuh kotoran hewan . Da juga diwajibkan menyembelih seekor babi jantan besar untuk memberi makan orang sekampung sebagai dendanya. Sejak itu si manusia ringan tangan itu tobat.  Secara socsal dia pun merasa bakal dituduh kalau terjadi pencurian lagi.

4.    Pake Ragi Holo Hai

Hukum ini terkait kasus asusila. Misalnya, seorang ayah kawini anak perempuannya (inces), ibu dengan anak lelakinya atau pria dan wanita  melakukan hubungan badan yang melanggar norma umum. Katakanlah ponakan dengan tantenya dan lain-lain. Contoh lain mosalaki yang seharusnya patut digugu dan ditiru malah melanggar susila seperti berzinah atau pelapani.
Untuk mereka yang melakukan pelanggaran ini hukumannya antara lain diisolir dari pergaulan dan hak-hak adatnya dihilangkan sama sekali. Bagi mosalaki, hak segala prestisenya dicabut.

Bahkan jika dia meninggal dunia, jenazahnya dikuburkan di luar kampung, ini pertanda dia murtad. Pake ragi holo hai termasuk kasus serius dan mendapatkan sanksi hukuman yang berat. Pelaku seperti dipenjara selama hidupnya karena relasi sosial serta hak-haknya dipreteli.

5.    Nara Nio, Feo dan Kopi

Hukum ada ini berkaitan dengan dunia pertanian. Sebagai masyarakat agraris, larangan ditetapkan dalam periode waktu tertentu (pada musim kemiri (feo) berbuah, kopi dan kelapa. Biasanya selama tiga sampai enam bulan tergantung jenis komoditi pertanian itu.

Larangan itu ditetapkan mosalaki setelah menerima usul saran dari warga suku atau warga kampung. Mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi. Walau memetik kelapa sendiri di masa larangan, dia tetap menerima sanksi. Larangan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Tanaman kelapa, misalnya, tidak boleh dipetik sembarang waktu untuk makan atau dijual. Hanya dibolehkan memungut kelapa tua yang jatuh sendiri karena sudah tiba saatnya. Pengecualian untuk kondisi force major misalnya seseorang digigit ular berbisa dan bisa ular itu harus ditawarkan dengan air kelapa muda maka kelapa boleh dipetik hanya untuk keperluan itu saja.

Sedangkan kemiri dikumpulkan dalam jumlah banyak baru dijual atau ditukarkan dengan bahan kebutuhan lain. Sesuai kebutuhan masyarakat setempat, larangan bisa juga dikenakan pada kopi, jeruk dan komoditi lainnya. Unsur fleksibilitas tetap dijunjung.

Menurut kacamata ilmu perdagangan modern, larangan ini mencegah sistem ijon yang pada galibnya justru menjerat leher petani sendiri. Oleh karena itu, salah kaprah jikalau kita sekarang yang menyebut diri manusia millenium menilai orang pada masa lalu tidak mengerti hukum demi kesejahteraan bersama.

Pola pertanian di Lise umumnya kebun ladang karena dari sono alamnya memamg demikian dan
hanya sedikit daerah lahan basah untuk persawahan. Persawahan luas ada di wilayah pesisir utara seperti Kotabaru, Hangalande dan sekitarnya. Di selatan daerah persawahan umumnya di sekitar daerah alisan sungai (DAS) memanfaatkan kelimpahan air.

Satu ladang dikerjakan atau diolah untuk jangka waktu tertentu, sekitar dua sampai tiga tahun lalu berpindah lagi ke ngebo (lahan kebun) yang baru. Karena itulah secara tradisi orang Lise pun punya budaya tebas bakar, tetapi bukan tebas bakar dalam konteks berburu binatang seperti di daerah lainnya di Flores serta pulau lain di Nusa Tenggara Timur.

Setelah menikmati hasil kebun ladang selama dua sampai tiga tahun, ladang itu ditinggalkan untuk menjadi hutan lagi dan mereka pindah membuka lahan yang baru. Pada masa sekarang sistem ladang berpindah sudah banyak ditinggalkan. Hanya sedikit yang masih mengusahakannya. Petani Lise beralih menanam komoditi perdagangan yang lebih produktif dan bernilai ekonomis tinggi. Memamg masih sekitar 50 persen menggunakan lahan kebun berpindah dengan pola tanam tumpang sari (beragam jenis sayuran dan palawija pada satu lahan).

Secara tradisional orang Lise mengenal model terasering yang belakangan, dimulai sekitar tahun 1970-an diperkenalkan pemerintah melalui instansi pertanian. Istilah lokal adalah kebe uma rema. Kebun ladang orang Lise selalu menggunakan kebe atau hebe sebagai pencegah erosi dan menyiapkan humus tanah. Jarak antara hebe sekitar 3-4 meter tergantung kemiringan lahan kebun, sehingga bila hujan turun humus tanah tetap bertahan, tidak mengalami erosi. Kayu untuk kebe dipilih kayu yang bagus dan bisa bertahan lama seperti kayu kera.

6.    Ru'u Ra'a

Leluhur kami orang Lise sudah mewariskan prinsip hidup selaras alam. Juga prinsip ramah lingkungan. Wilayah Lise yang membentang dari selatan hingga utara (Eko Take Tola Ndale - Ulu Soe Endo Mbawe) merupakan wilayah pegunungan, perbukitan, lembah, ngarai dan pantai yang elok. Gugusan pegunungan itu menghijau lebat dengan hutan perawan yang dipenuhi aneka flora dan fauna. Bagi saya , Lise diciptakan Tuhan ketika suasana batinnya sedang ceria.

Di wilayah Lise terdapat beberapa sungai (kali) besar. Dengan muara di pesisir utara ada Kali  Lowo Lise dan muara di Pantai Selatan Flores ada Kali Lowo Ria. Khusus Lowo Ria alurnya membentang dari pegunungan Watu Kio yang tak jauh dari Kampung Wolonio di Desa Fatamari, Kecamatan Lio Timur Kabupaten Ende sekarang  hingga muaranya di  Pantai Lia Tola. Lowo Ria (Lowo = Sungai. Ria = Besar) merupakan gabungan dari puluhan anak sungai sepanjang jazirah wilayah Kecamatan Lio Timur.

Sungai merupakan sumber kehidupan suku Lise. Di sana ada ikan, udang, belut, katak, kepiting dan lain-lain sebagai sumber pangan bagi keluarga. Oleh karena itu perlu dijaga dengan  bijaksana. Tidak diperkenankan bagi warga suku mengeksploitasi secara serampangan.  Di sini berlaku hukum adat yang namanya Ru'u Ra'a (larangan mengambil udang, belut dan ikan) dalam periode waktu tertentu. Lazimnya minimal enam bulan sekali baru diizinkan mengambil ikan, belut, udang, kepiting di lokasi alur sungai yang sama. Paling bagus setahun sekali sehingga panenannya berlimpah ruah. Juga dilarang keras menggunakan obat-obatan kimia dari pabrik karena akan merusak ekosistem sungai.

Warga suku Lise punya cara yang khas. Mereka mengeringkan alur kali atau sungai yang disebut Ra'a dengan  membendung lalu membelokkan air ke alur baru di bagian lain yang bersebelahan atau bersisian. Nah, di alur yang kering itulah mereka memanen udang, kepiting, belut dan ikan air tawar yang dalam bahasa Lise disebut ngoka woro. 

Ngoka woro di Lise biasanya  berlangsung pada musim kemarau, mulai bulan Agustus hingga Oktober dalam tahun berjalan. Ngoka woro melibatkan beberapa keluarga. Mereka bergotong-royong membendung dan mengeringkan alur sungai (Ra'a). Hasilnya dibagi secara adil. Tentu saja pemilik Ra'a akan mendapat porsi lebih besar. Di kampung Mulawatu misalnya, kami mengenal beberapa pemilik alur sungai atau Ra'a seperti Ra'a Dawa (pemiliknya bernama Dawa), Ra'a Dosi, Ra'a Rangga Rega,  Ra'a Nggubhu Nggai dan sebagainya.  Sudah menjadi konvensi bahwa sepanjang alur sungai itu ada pemiliknya. Tapi ada pula lokasi tertentu yang milik umum, artinya siapa saja boleh mengambil hasilnya. *
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes