Gubernur Sulut Dr Sinyo Harry Sarundajang |
"Sejarah bangsa ini telah membuktikan bahwa negara kita dibangun dari suku bangsa yang berbeda, etnis yang begitu banyak. Makanya Indonesia dikenal sebagai The Miracle Nation in The Modern World," ujar Sarundajang dalam Diskusi Pluralisme dan Multikulturalisme di Sulut yang digelar North Sulawesi Network (NSN) dan Tribun Manado di Ruang Tarsius Hotel Gran Puri Manado, Rabu (24/10/2012).
HengkiyWijaya (kanan) dan Wawali Manado Ai Mangindaan |
Ia mengatakan, sudah dari awal manusia diciptakan berbeda oleh sang pencipta. Kata dia, bayangkan saja jika semua manusia diciptakan sama dan serupa pasti akan repot. "Nanti kita tidak bisa bedakan mana saudara kita, mana istri kita, karena semua sama muka," tuturnya diikuti gelak tawa peserta diskusi.
Berbicara mengenai etnis Tionghoa, kata Sarundajang, dirinya akrab bergaul dengan etnis ini sejak kecil, apalagi tetangganua di Kawangkoan adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Ia pun mengatakan, ternyata orang Tionghoa memiliki kemiripan dengan Minahasa, meski perlu pembuktian dan penelitian lebih lanjut.
"Nah coba lihat pantatnya bayi orang Minahasa ada tanda seperti warna biru, itu hanya ada di daerah Mongol sana. Tapi masih perlu diteliti lagi apakah yang di Mongolia itu dari Minahasa atau sebaliknya," ungkap Sarundajang.
Peserta diskusi |
Sarundajang memberikan apresiasi terhadap diskusi ini. Kata dia, di era sekarang diskusi tentang mayoritas itu sangat rentan karena kita tidak hidup lagi di zaman diktator. Menurutnya, bangsa boleh bubar tapi etnis, suku, tidak mungkin sirna. "Kita hidup di negara Pancasila. Kita tidak mengenal suboordinat. Tidak ada agama yang mengurus bangsa atau sebaliknya," terangnya.
Sejarah Etnis Tionghoa
Narasumber Sofyan Jimmy Yosadi SH banyak bercerita mengenai sejarah etnis Tionghoa di Sulawesi Utara. Dikatakannya, kedatangan etnis Tionghoa di Sulut memang menarik untuk diteliti. Menurutnya penemuan huruf kuno Tiongkok di Watu (batu) penanda budaya yang ada di daerah Tompaso Minahasa menunjukkan interaksi budaya antara orang Tionghoa dan Minahasa sudah ada sejak Dinasti Han (206 SM- 220).
Peserta diskusi |
Selain itu, Yosadi menyampaikn berbagai kebijakan terhadap etnis Tionghoa mulai dari Instruksi Presidium Kabinet RI No 37/U/IN/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina hingga kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang menetapkkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional. "Dengan adanya UU No 12 tahun 2006 tentang kewargaanegaraan merupakan akhir perjalanan panjang bagi warga Tionghoa menjadi warga negara Indonesia," kata Sofyan.
Dr Ivan Kaunang MHum yang jadi pembanding dalam diskusi ini mengatakan, tema diskusi yang membahas eksistensi dan etnis Tionghoa memberi kesan adanya latar belakang sejarah, darimana datangnya, siapa yang mempelopori datangnya, kapan dan bagaimana proses. "Kita harus tahu bagaimana perjumpaan etnik Tionghoa di Sulawesi Utara yang terlebih di tanah Minahasa ini dengan tou Minahasa dan etnik lainnya," tutur Kaunang.
Ia menambahkan, etnis Tionghoa memiliki peranan penting sejak berabad-abad lamanya dalam pembangunan daerah ini. Di sisi lain, menurut Kaunang, wacana sejarah dan eksistensi menunjuk pada situasi pemahaman bahwa telah terjadi pergesaran nilai generasi etnis Tionghoa di daerah ini. "Bagi generasi Tionghoa saat ini tidak lagi memperdulikan masa lampau sehingga penting wacana sejarah diangkat ke permuakaan," tukasnya.
Sementara Ketua Paguyuban Etnis Tionghoa Tumou Tou Hengky Wijaya menyatakan apresiasinya terhadap pelaksanakan diskusi ini. Menurutnya, keberagaman adalah sebuah keniscayaan yang harus dijaga bersama. "Kehidupan yang sangat harmonis ini jangan sampai rusak," tuturnya.
Menurutnya, diskusi ini merupakan sebuah gagasan yang brilian. Kata dia, warga Tionghoa yang ada di Sulut akan berperan serta dalam setiap langkah pembangunan. "Kami sangat bangga dan berharap agar semua warga tetap mewujudkan masyarakat yang saling menghargai," ujarnya.
Diskusi menyingkap pluralisme dan multikulturalisme di Sulut berawal dari media sosial. Hal ini disampaikan pencetus diskusi Michael Umbas. "Awalnya kami memulai diskusi lewat jejaring sosial dan kami inisiatif untuk membedah lebih dalam lagi," kata Umbas. Ia menambahkan, diskusi ini merupakan buah pemahahaman bahwa pluralisme merupakan suatu kekuatan besar. "Kami bangga Pak Gubernur sangat mendukung diskusi ini," kata Umbas.
Diskusi selama empat setengah jam kemarin menarik perhatian. Buktinya beberapa tokoh penting dari kalangan pemerintah hadir seperti Danrem 131 Santiago, Wakapolda Sulut, Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama, Kepala BIN, Wakil Wali Kota Manado Harley Mangindaan, beberapa tokoh agama seperti Pdt RD Siwu, Prof Dr WA Roeroe. Dari kalangan akademisi ada Dr Meike Imbar, Dr Taufik Pasiak, Toar Palilingan, Rocky Koalow, serta dari kalangan pengusaha seperti Hengky Wijaya, Amelia Tungka, Kiky Wangkar, Jimmy Asiku, Andrei Angouw, Jhonie Lieke, Hendri Mamahit, dan beberapa aktivis organisasi masyarakat seperti Brigadir Manguni. (aro)
Perlu Dibukukan
DISKUSI Pluralisme dan Multikulturalisme yang diselenggarakan North Sulawesi Network, Tribun Manado dan Paguyuban Tionghoa Tumou Tou sukses digelar, Rabu (24/10/2012). Berbagai tanggapan diberikan para sejarahwan, tokoh Tionghoa, akademisi, bahkan tokoh agama yang bukan dari etnis Tionghoa.
Kiky Wangkar, satu di antara tokoh etnis Tionghoa di Sulut mengatakan, di Sulut ini ada tokoh Tionghoa yang memberikan sumbangsih besar bagi dunia pendidikan dan keagamaan. Seperti pendiri GMIM Kristus yang kemudian membuka yayasan Eben Haezar. Selain itu, kata dia, ada juga tokoh Tionghoa dari kalangan Muslim. "Mereka banyak di kawasan Lili Loyor. Saya rasa banyak juga sejarah mengenai etnis Tionghoa yang mereka ketahui," tuturnya.
Selain Kiky Wangkar ada juga Dr Meike Imbar Mpd. Dosen sejarah di Fakultas Ilmu Sosial Unima ini mengatakan, pluralisme tak perlu disingkap karena itu realita. Menurutnya yang menjadi persoalan adalah multikultur. "Kami etnis Tionghoa sejajar dengan etnis lain yang ada di Indonesia ini," ujar Imbar.
Menurut dia, sejarah etnis Tionghoa di Sulut perlu dibukukan. Hal ini kata dia, biar menjadi pelajaran bagi generasi Tionghoa mendatang, dan bahkan bisa menjadi pengetahuan bagi masyarakat yang bukan etnis Tionghoa. Ada hal menarik yang juga perlu diangkat dari sejarah Tionghoa di Sulawesi Utara. "Kita harus teliti mengapa pecinaan di Manado itu di sampingnya ada komunitas Arab dan mereka hidup rukun sampai saat ini. Ini satu-satunya loh," tutur Imbar.
Ketua Paguyuban Tionghoa Tumou Tou Hengky Wijaya mengatakan, sejarah itu penting tapi saat semua orang hidup untuk masa depan. Kata dia, dalam diskusi ini perlu dibahas mengenai interaksi etnis Tionghoa dalam memajukan bangsa Indonesia terlebih khusus Sulawesi Utara. "Kita jangan tonjolkan perbedaan, seperti saya katakan kita ini sudah berada di Sulut sudah berinteraksi dengan masyarakat di sini jadi kita juga harus saling menghidupi memajukan tanah tercinta ini," tandasnya. (aro)
Sumber: Tribun Manado 25 Oktober 2012 hal 1
Artikel terkait
Eksistensi Etnis Tionghoa di Sulawesi Utara