Sungai Nimanga, Minahasa, Sulawesi Utara |
SEBANYAK 24 wartawan, di antaranya lima jurnalis Harian Tribun Manado masing- masing Anton Iwan, Arthur Rompis, Charles Imanuel Komailing, Wastef Abisada dan Dion DB Putra berkesempatan menjajal arung jeram sungai di Desa Timbukar dalam gelaran Media Gathering PT Daya Adicipta Wisesa, Sabtu 24 November 2012.
Sebelum meluncur ke lokasi gathering, para jurnalis berkumpul dulu di main dealer Honda PT Daya Adicipta Wisesa yang berada di Maumbi.
Persiapan |
"Ini merupakan teknologi Honda yang ramah lingkungan," kata Erik seraya menambahkan, teknologi PGM-FI sudah nyantol di motor Honda sejak 1982. "Ada motor tertentu yang sudah memakai teknologi ini," sebutnya.
Setelah 1982, berturut-turut pada 1993, 2002 hingga akhirnya dicanangkan semua motor Honda akan menggunakan teknologi ini pada 2013.
Para wartawan juga diajak menengok aktivitas di gudang Honda pada bagian sparepart dan unit. Masuk ke dalam 'area rahasia" Honda, para jurnalis dilarang bawa kamera.
Simak penjelasan instruktur |
Mereka hanya dapat mencatat pada BlackBerry atau secarik kertas, hal-hal yang dijelaskan oleh penjaga gudang. Dijelaskan tentang barang-barang sparepart sewaktu diterima lalu dipak untuk dijual ke distributor yang ada di tiga daerah yaitu Sulut, Maluku dan Gorontalo.
Pada ruangan yang mampu menampung ribuan sepeda motor, para peserta gathering sempat terkejut begitu tahu motor-motor itu sudah terjual semua. Pada sisi kanan ruangan berkapasitas 1.500 motor itu, ada satu ruang berukuran kecil yang difungsikan sebagai tempat reparasi motor yang masuk.
Keluar gudang, para jurnalis langsung digiring menuju dua buah bus yang akan membawa mereka ke Timbukar.
Selama satu setengah jam lebih, perjalanan ditempuh dari Maumbi menuju Timbukar masuklah di daerah perbukitan dengan jalan sangat sempit. Namun di kanan kiri, pemandangan begitu indah. Bahkan beberapa kali ditemui air terjun.
Dan akhirnya tibalah di tempat rafting bernama Karapi Rafting Nimanga River Timbukar itu. Sungai sudah menderu-deru serta pepohonan menari-nari di pelupuk mata seperti memanggil-manggil, tapi "adu nyali" belum dimulai.
Sesudah makan siang yang riang, suasana jadi "mencekam" ketika para peserta gathering yaitu para jurnalis dan karyawan PT DAW mengambil perlengkapan rafting satu per satu mulai dari pelampung, helm pelindung hingga dayung.
Adrenalin para peserta membara ketika mendengar pasal demi pasal aturan rafting dibacakan. "Ada beberapa komando yaitu dayung depan, dayung belakang, pindah kiri dan kanan, buum yang berarti menunduk, buum, buum, buum yang artinya duduk. Juga pegang dayung ada caranya yaitu pegang ujung dan bagian tengahnya," kata seorang instruktur panjang lebar.
Penjelasan itu disambut anggukan kepala, tanda paham. Perahu karet sebanyak delapan buah sudah terparkir di tepi Sungai Nimanga. Peserta menghampirinya dan mengambil posisi, dua di belakang, satu di tengah serta sang kapten yang bertugas mengawasi, duduk pada posisi paling belakang.
Jeram Say Goodbye
Puluhan wartawan dan karyawan PT Daya Adicipta Wisesa itu terjun ke sungai yang membelah Desa Timbukar. Lalu mereka meluncur menumpang perahu karet.
Siap meluncur dari titik start |
Delapan perahu karet itu ditumpangi 4-6 orang. Satu orang merupakan pemandu dari Karapi Rafting Nimanga River Timbukar. Air sungai mengalir tenang diiringi rintik hujan.
Setengah jam setelah meluncur, tiba-tiba muncul arus deras dari atas. Air berwarna hitam dan membawa berbagai material, utamanya batang pohon ukuran sedang. Air semakin deras dan mereka yang ada di lokasi start pun panik.
Pengelola rafting yang stand by di lokasi start pun meluncur dengan sepeda motor, menyusul mereka yang mengikuti rafting. Tujuannya meminta mereka minggir dan melihat situasi, apakah perjalanan bisa dilanjutkan atau harus dihentikan. Semua untuk keselamatan peserta.
Di awal-awal perjalanan, semua merasa tegang. Saat dijelaskan mereka menganggu-anggukkan kepala, tapi medan yang beringas itu membuat teori di kepala buyar.
"Saya perintah dayung ke belakang, tapi kamu kamu dayung ke depan," hardik sang kapten bernama Doni kepada seorang peserta yang gugup.
Berbagai kesalahan mendasar dilakukan pada awalnya, mulai dari salah dengar komando hingga salah pegang dayung. "Pegang dayung baik-baik," kata sang kapten.
Jeram pertama dilalui dengan mulus karena bisa dilewati dengan mudah. Namun kala jeram kedua dan ketiga terlewati, itu pasti karena ketrampilan dan kekompakan.
Takut yang sempat muncul di awal perjalanan lenyap berganti nyali untuk terus menjajal rute sepanjang 12 kilometer melintasi dua desa beda kabupaten yaitu Desa Timbukar Kabupaten Minahasa dan Desa Tangkunei, Kabupaten Minahasa Selatan.
"Bole sampe jembatan Maruasei kalu bagini," seloroh seorang peserta. Perahu terus bergerak mengikuti arus. Tak melulu ke depan, para peserta juga mengayuh ke belakang mengikuti perintah sang kapten.
Gerak perahu kadang terhalang oleh batu besar di tengah sungai, atau tersendat - sendat kala melalui permukaan air yang melapisi hamparan batu kecil di bawahnya.
Tiba selamat di finish |
Tegak, lalu oleng lagi, para peserta harus berjuang keras melawan arus. Hingga suatu ketika, perahu memasuki area tenang.
Tak perlu berkelahi dengan arus, para peserta meletakkan dayung masing-masing di sisi perahu. Perahu kemudian menepi dan berhenti pada suatu tempat.
Di sini, para peserta beristirahat dengan cara duduk pada tepi perahu. Sambil menyudut rokok atau meminum air mineral yang dibawa, para peserta berbagi pengamalan seru yang barusan dialami.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang pria yang tak lain pengelola yang menyusul akibat ada gelombang besar. Sang pengelola minta menunggu arus sampai tenang kembali.
Para peserta tegang lagi mendengar peringatan itu, apalagi mengetahui rute yang dijalani baru tiga kilometer. Berarti masih ada sembilan kilo lagi sebelum peserta benar-benar finish. "Di depan, tantangan yang ada makin ekstrem, " kata Donny.
Benar saja, ketika perahu dilepas sudah terasa adanya sesuatu yang seram menanti di depan sana. Bebatuan berukuran besar maupun kecil, jumlahnya lebih banyak ketimbang tiga kilometer pertama tadi.
Awak Tribun Manado |
Arus yang makin kencang memukul bebatuan itu membuat gelombang makin besar. Bukan hanya oleng, perahu kadang berputar-putar hingga 180 derajat.
Perlu usaha ekstra keras untuk mengembalikan perahu pada posisi semula. Keadaan sempat tenang lagi, ketika peserta tiba pada suatu tempat yang tidak terlindung pepohonan.
Dari situ, tampak matahari bersinar cerah, perahu melaju mulus pada area yang tak banyak batunya itu. Kayuh dicelupkan pada permukaan air dan teraba dasarnya tanda air di situ tak dalam.
Namun, seperti bunyi pepatah, tenangnya air di situ hanya pertanda sebelum datangnya badai. Tak jauh dari situ terdapat salah satu jeram maut bernama Say Goodbye. Nama itu merujuk pada seringnya peserta jatuh dari perahu usai melalui tempat itu. Dari jauh, buih sudah terlihat. Perahu pun goyang kembali. Saking bahayanya, perahu yang datangnya berombongan harus melewati jeram maut itu satu per satu.
Satu perahu, kemudian dua, tiga dan empat perahu melewati jeram itu dengan cara meluncur dari atas ke bawah. Sial bagi perahu kelima. Seorang peserta terlempar dari perahu, dayungnya pun terlepas dibawa air sungai.
Namun semua tantangan itu berhasil dilalui hingga tiba di garis finish. Mereka pun bergembira. Ronald Manueke, Marketing Communication PT Daya Adicipta Wisesa menyatakan, kegiatan ini digelar sebagai wujud apresiasi perusahaan terhadap insan pers yang telah menjalin kerja sama dengan baik. (arthur rompis)
Sumber: Tribun Manado 25-26 November 2012 hal 1