Tampilkan postingan dengan label Damyan Godho. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Damyan Godho. Tampilkan semua postingan

Damyan Godho, Firmus Wangge dan Uskup Petrus Turang


Damyan Godho
TANGGAL 27 Juli itu istimewa. Setidaknya bagi ketiga tokoh ini, Firmus Wora Wangge, Damyan Godho dan Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr.

Nama pertama dan kedua telah berpulang ke haribaanNya. Berselang setahun saja.  Damyan Godho meninggal dunia 29 Januari 2019.  Dua belas purnama kemudian Firmus Wangge menyusul, 6 Februari 2020.

Buat Om berdua yang terkasih, semoga bahagia di sisiNya. Amin.
Saya mengenang 27 Juli karena gara-gara tanggal itulah saya berintekrasi cukup intens  dengan mereka.

Itu dua dekade lalu, 23  tahun silam, tepatnya 27 Juli 1997. Setahun menjelang Soeharto lengser keprabon.

Saya masih wartawan muda.  Belum genap lima tahun berkiprah bersama Harian Pos Kupang  yang mulai terbit 1 Desember 1992.


Semua  bermula dari kota suci Vatikan tanggal 21 April 1997.

Kegembiraan disertai rasa penasaran menyeruak di Kupang serta kota dan desa seantero wilayah Keuskupan Agung Kupang  ketika pemimpin Umat Katolik Sedunia Paus Johanes Paulus II mengumumkan Petrus Turang sebagai uskup koajutor.

Umat  Keuskupan Agung Kupang (KAK) gembira mendapat seorang gembala. Serentak pula merebak rasa  penasaran mengenai sosok sang  gembala yang kala itu berusia 50 tahun  karena namanya belum begitu familiar.

Sebagai uskup koajutor, Mgr. Petrus Turang berhak menggantikan Uskup Agung Kupang Mgr. Gregorius Manteiro, SVD yang waktu itu telah memasuki usia pensiun. Kondisi kesehatan beliau pun tidak begitu bugar lagi.

Firmus Wangge
Saat Uskup Manteiro wafat  10 Oktober 1997,  Mgr. Petrus Turang meneruskan secara otomatis kepemimpinan keuskupan ini sampai sekarang.

Pascapengumuman Tahta Suci 21 April 1997 tersebut,  pekerjaan besar menanti hirarki gereja lokal dan seluruh umat  KAK  yaitu mempersiapkan acara penahbisan Uskup Petrus Turang.

Rapat menetapkan penahbisan tanggal 27 Juli 1997 di Kota Kupang. Firmus  Wangge didaulat  sebagai ketua panitia pentahbisan Uskup Turang.

Suatu  pagi yang cerah,  Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Pos Kupang, Damyan Godho memanggil saya ke ruang kerjanya di kantor kami, Jl. Kenari No 1 Naikoten I Kupang.

“Dion, saya sudah masukkan  kau di seksi Humas dan Publikasi Panitia Penahbisan Uskup Piet Turang. Kerja baik-baik ya,” kata Om Damyan Godho membuka percakapan.

 “Iya Om,:” jawab saya.

“Om Damy, sebagian besar masyarakat NTT sepertinya belum terlalu mengenal bapak uskup kita yang baru,” lanjut saya.

“Benar. Justru karena itu tugas kau untuk menulis sebanyak mungkin tentang beliau  sehingga bisa dikenal umat Keuskupan Agung Kupang dan masyarakat NTT pada umumnya,” kata Om Damy.

Sebelum saya pamit  dari pertemuan pagi itu, Om Damy meminta saya segera bersua  Firmus Wangge sebagai ketua panitia.

“Ingat, selalu koordinasi dengan kau pung Om  Firmus. Usahakan satu atau dua hari ada berita mengenai persiapan penahbisan.” kata Om Damy memberi arahan. Saya menganggukkan kepala.

Kurang lebih tiga bulan persiapan panitia, saya  jadinya berintekasi cukup intens dengan Om Firmus dan semua anggota panitia yang lain seperti Alo Djong Joko, para tokoh umat  termasuk Gubernur NTT saat itu, Herman Musakabe.

Semua informasi mengenai tahbisan  itu selalu saya publikasikan di Pos  Kupang yang merupakan satu-satunya koran harian yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat itu.

Jangan dikau tanya media online karena belum muncul  batang hidung dan sosoknya, sehingga  Pos Kupang  merupakan sumber informasi utama bagi masyarakat Flobamora.

Mgr. Petrus Turang, Pr
Hampir sebulan menjelang penahbisan saya menulis mengenai tema tersebut.

Beberapa topik yang saya tulis secara serial antara lain, sejarah Keuskupan Agung Kupang dari gereja diaspora hingga menjadi keuskupan,sejarah Gereja Katedral Kupang,  profil Uskup Gregorius Monteiro dan yang paling menantang saya adalah profil Uskup Petrus Turang.

Maklum sumber referensi mengenai Yang Mulia di sekretariat keuskupan pun tidak banyak.

Saya mesti  putar otak (baca: kerja keras)  untuk mendapatkannya.  Waktu itu belum ada Google,  bung. Jadi semua harus cari secara manual. Tapi di situlah letak keasyikannya.

Puji Tuhan semua bahan yang saya butuhkan tersedia pada waktunya. Maka saya menulis profil Mgr. Petrus Turang sejak masa kecil di Tondano, Minahasa, Provinsi  Sulawesi Utara, masa pendidikan di seminari, tahbisan imamat serta pengabdian beliau sebelum diangkat Paus Johannes Paulus II sebagai uskup.

Petrus Turang yang ditahbiskan menjadi imam diosesan Keuskupan Manado pada 18 Desember 1974 sempat memegang jabatan sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Saya juga  menulis makna motto beliau Petransiit Benefaciendo atau Berkeliling Sambil Berbuat Baik (Kisah Para Rasul 10:38), makna lambang keuskupan dan lain-lain yang berkenaan dengan tugas sang gembala kelahiran Tataaran, Tondano Selatan, Minahasa, Sulawesi Utara, 23 Februari 1947 tersebut.

Bekerja dengan Om Firmus Wangge dalam kepanitiaan menyenangkan. Berlatarbelakang pengusaha, cara berpikir dan bertindak Om Firmus jauh dari birokrasi bertele-tele.

Apalagi waktu efektif bagi panitia pentahbisan saat itu tidak lama. Hanya kira-kira dua bulan lebih.

Om Firmus selalu memastikan setiap rencana dapat dikerjakan secara baik oleh masing-masing seksi dalam kepanitiaan. Orangnya tegas, bicara blak-blakan tapi juga mau mendengar setiap saran dan masukan.

Singkat cerita tibalah hari H  acara penahbisan Uskup Petrus Turang pada 27 Juli 1997 di Arena Promosi Hasil Kerajinan Tangan Rakyat NTT, Kelurahan Fatululi, Kecamatan Kelapa Lima, Kupang.

Di lokasi tersebut kini berdiri megah Lippo Mall Kupang. Arena promosi yang dibangun masa pemerintahan Herman Musakabe  tak berbekas lagi.

Uskup Agung Jakarta, Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ bertindak sebagai Penahbis Utama  didampingi Pro-Nuncio Apostolik untuk Indonesia yang bergelar Uskup Agung Tituler Bellicastrum, Pietro Sambi dan Uskup Agung Kupang saat itu, Gregorius Manteiro, SVD.

Upacara penahbisan berlangsung hikmat dan meriah. Sukses. Puluhan ribu umat Katolik tumpah ruah di sana.

Saya masih ingat  kepada siapa ucapan terima kasih pertama yang disampaikan Uskup Petrus Turang, Pr saat memberikan sambutan seusai prosesi penahbisan. Beliau mengucapkan terima kasih kepada wartawan!

“Terima kasih wartawan yang telah menulis sangat banyak tentang saya dan keuskupan ini.” kata Uskup Petrus Turang.

Saya yang berdiri meliput dari sisi kanan tribune, merinding. Tak lazim seorang tokoh melakukan itu. Biasanya terima kasih bagi wartawan di bagian akhir, bahkan cukup sering tak ada  sama sekali.

Tentu bukan tujuan utama kami meminta atau mengharapkan ucapan terima kasih.

Menulis adalah tugas dan kewajiban jurnalis. Tapi ketika seorang gembala mengucapkan pada sebuah forum yang luar biasa, sungguh merupakan sesuatu.

Sampai akhir hayatnya, Om Damyan Godho dan Om Firmus Wangge menjalin relasi indah dengan Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang.

Hubungan mereka tidak sekadar antara umat atau tokoh umat dengan sang gembala atau pemimpinnya. Mereka bersahabat. Teman diskusi. Saling berbagi.

Ketika kematian menjemput Om Damy dan Om Firmus, Yang Mulia Bapa Uskup Petrus Turang, orang pertama yang memberi peneguhan bagi keluarga.

Beliau juga yang memimpin misa requiem melepas jenazah kedua sahabatnya menuju tempat peristirahatan terakhir.

“Damy sudah berada di tempat yang lebih baik.” kata Mgr. Petrus Turang ketika memimpin misa pelepasan jenazah Om Damyan Godho di Gereja St Fransiskus dari Asisi Kolhua Kupang, akhir Januari 2019 silam.

Kata peneguhan dan penghiburan senada beliau sampaikan ketika memimpin misa requiem saat pemakaman jenazah Om Firmus Wangge di Gereja Katedral Kupang, Minggu 9 Februari 2020.

Saya, terus terang, belajar banyak dari beliau bertiga dalam membangun relasi. Saling berbagi dalam setiap gerak langkah untuk berkontribusi bagi pembangunan daerah, masyarakat luas, untuk Gereja dan Tanah Air.

Tatkala Om Damyan Godho dipercayakan Uskup Turang menjadi Ketua Panitia Pembangunaan Taman Ziarah Yesus Maria di Belo, Kabupaten Kupang, saya tidak kaget.

Bapak Uskup tahu betul kepada siapa beliau memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang besar tersebut.

Bukit tandus dan lerengnya seluas kurang lebih 5 hektare berubah menjadi taman ziarah yang indah setelah dibangun selama 4 tahun.

Menurut Mgr. Petrus Turang, lahan ini merupakan hibah dari seorang umat, Yoseph Soleman kepada Keuskupan Agung Kupang.

Keuskupan lalu berinisiatif membangun tempat ziarah dengan bantuan para dermawan serta swadaya umat.

Pembangunan taman ziarah tersebut  yang panitianya dipimpin Om Damyan Godho  mulai 1 Oktober 2009. Di taman ini ada 20 titik tempat berdoa dan satu kapel di puncak bukit, Kapel St. Yohanes Paulus II.

Dari halaman kapel itu peziarah akan menikmati pemandangan indah jika mengarahkan  pandangan mata ke Teluk Kupang serta pegunungan Fatuleu di kejauhan sana.

Pada hari Senin tanggal 25 November 2013, taman ziarah  Yesus Maria Belo diresmikan Kardinal dari Vatikan, Mgr. Stanislaw  Rylko.

Sampai akhir hayatnya Om Damyan Godho tercatat sebagai pengurus stasi taman ziarah tersebut. Setiap kali berziarah ke sana, saya selalu teringat beliau. Karyanya akan terkenang selalu.

Dalam wujud dan cara yang berbeda, kontribusi Firmus Wangge untuk Gereja dan Tanah Air  pun tidaklah kecil.

Dalam suatu forum diskusi kecil, saya melihat bagaimana Firmus Wangge, Damyan Godho dan Uskup Mgr. Petrus Turang bertukar pandangan untuk membangun daerah, membangun Indonesia. Mereka tak sekadar  bergumul dengan masalah tapi memberikan tawaran solusi.

Kesaksian mengenai peran penting Firmus Wangge itu antara lain diungkapkan mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Drs. Frans Lebu Raya.

"Jasa beliau sangat besar bagi pembangunan di Nusa Tenggara Timur. Kita kehilangan seorang putra terbaik Flobamora," kata Frans Lebu Raya  hari Sabtu (8/2/2020) malam.

Firmus Wangge dikenal luas sebagai pengusaha dan  sesepuh Partai Golongan Karya (Golkar).

Pria kelahiran Ende, Flores tersebut  pernah menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Nusa Tenggara Timur.  Firmus juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.

Menurut Lebu Raya, ketika dirinya masih menjabat gubernur,  Firmus Wangge selalu menyempatkan waktu bertemu dan berdiskusi tentang pembangunan.

Frans Lebu Raya selalu mendengar dan menghargai masukan dari Firmus.

"Saya sering bertemu beliau untuk berdiskusi, tukar pikiran. Beliau selalu memberikan masukan yang sangat berharga bagi daerah ini. Saya sangat menghormatinya," kata Lebu Raya.

Ketua DPD I Partai Golkar NTT, Melki Laka Lena juga mengenang jasa mendiang Firmus Wangge bagi Nusa Tenggara Timur.

"Pak Firmus Wangge memberi warna ekonomi dan politik di NTT.   Sampai akhir hayatnya  masih terus berbicara dan mengamati perkembangan ekonomi dan politik NTT," kata Melki Laka Lena, anggota DPR periode 2019-2024.

Demikian sekeping catatanku  mengenang dua  tokoh yang bersahabat karib, Damyan Godho dan Firmus Wangge.

Om Damy…
Om Firmus…
Beristirahatlah dalam damai dan kasih Tuhan. 

Bapa Uskupku, Mgr. Petrus Turang, sehat selalu dan bahagia.

Dengan penuh cinta

Dion DB Putra
Denpasar, 11 Februari 2020

Kenangan di Lekebai



Di Lekebai, Sikka Flores 27 Oktober 2005
Waiara, 27 Oktober 2005. Jarum jam menunjuk pukul 12.20 Wita. Di kejauhan sana, puncak Gunung Egon berselimut kabut tipis. Egon sedang ramah. Kota Maumere tampak membentang berhiaskan nyiur melambai.

Persis di depan mata, Pulau Besar, Pemana dan Pulau Babi anggun berdiri. Laut utara Flores tenang membiru. Udara bersih. Semilir angin Waiara Beach menyapu lembut wajah kami. Tapi tak ada keheningan.

Gelak tawa dan canda membahana sepanjang acara makan siang. Sungguh jauh dari suasana formal. Benar-benar bersahaja, apa adanya.

Mereka yang menyantap menu makan siang di restoran Flores Sao Resort hari itu adalah dua tokoh nasional, Frans Seda dan Jakob Oetama serta para petinggi Kelompok Kompas Gramedia (GKG) yaitu August Parengkuan, St. Sularto, Rikard Bagun, Petrus Waworuntu, Wandi S Brata, Julius Pour.

Hadir pula pendiri sekaligus Pemimpin Umum Harian Pos Kupang, Damyan Godho dan Kepala Biro Kompas di Bali, Frans Sarong.


Itulah pertama kali saya mengenal lebih dekat Om August Parengkuan. Om August mendampingi Pak Jakob Oetama dalam kunjungan beliau ke Kupang dan Flores tanggal 26-29 Oktober 2005. Orangnya hangat. Murah senyum. Cepat akrab dengan siapa saja.

Kami sempat pose bersama di depan rumah keluarga Frans Seda di Lekebai, sekitar 40 km barat Kota Maumere. Hari Kamis tanggal 27 Oktober 2005 itu setelah makan siang di Waiara.

Frans Seda mengajak Pak Jakob dan seluruh anggota rombongan dari Jakarta ke Lekebai, kampung asal Frans Seda. Di sana mereka bakar lilin di makam orangtua Frans Seda.

August Parengkuan
Kamis malam itu Frans Seda menjamu sahabatnya Jakob Oetama makan malam di rumahnya di Maumere. Saya ingat malam itu setelah acara di rumah Pak Frans Seda, Om August Parengkuan mengajak Om Damyan Godho dan Frans Sarong melanjutkan acara santai di Flores Sao Resort, Waiara.

Setelah Pak Jakob istirahat, Om August, Om Damyan Godho, Frans Sarong dan lainnya ngobrol macam-macam sambil minum bir. Malam agak larut baru mereka menuju ke pembaringan.

Om August Parengkuan merupakan wartawan perintis di Harian Kompas. Pria kelahiran Surabaya 1 Agustus 1943 bergabung dengan Kompas sejak awal terbit dan menempati sejumlah jabatan penting di antaranya Redaktur Pelaksana Harian Kompas, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Direktur Komunikasi KKG (Kelompok Kompas Gramedia), Presiden Direktur TV7 dan staf Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia.

August Parengkuan muda sempat bercita-cita menjadi tentara mengikuti jejak ayahnya. Dia juga berniat menjadi diplomat tapi batal. August melamar ke Harian Kompas yang terbit tahun 1965 dan diterima.

Cita-citanya menjadi diplomat baru tercapai setelah pensiun dari Kompas Gramedia. Om August ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Italia tahun 2012-2017.

Om August memang wartawan hebat. Jaringannya luas dan dikenal piawai dalam melakukan lobi. Tahun 2011 ketika Kupang dipercayakan menjadi tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional (HPN), Om August ikut berperan meyakinkan pengurus pusat PWI dan komunitas masyarakat pers nasional. Dalam kapasitasnya sebagai penasihat PWI Pusat, suara Om August didengar.

Meskipun akomodasi di Kupang sangat terbatas kala itu, beliau menyatakan Kupang harus diberi kesempatan jadi tuan rumah agar memberi efek positif di kemudian hari. Saya dengar cerita itu dari Om Damyan Godho (almarhum).

Hari Kamis 17 Oktober 2019 pukul 05.50 WIB, Om August Parengkuan meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra Jakarta. Meninggalkan seorang istri dan empat anak dan sembilan orang cucu. Selamat jalan Om August. Tuhan maharahim mendekapmu dalam keabadian. Amin.

Ketewel, Sukawati Gianyar Bali, 17 Oktober 2019

Daftar Riwayat Hidup Damyan Godho


Damyan Godho
Nama lengkap           : Damyan Godho
Tempat tanggal lahir     : Boawae, Kabupaten Nagekeo, Flores,  25 Maret 1945
Nama ayah              : Lambertus Laga Nenu
Nama Ibu             : Klara Wona

Damyan Godho adalah putra kedua dari 9  bersaudara 

Saudara kandung
1. Getrudis
2. Sofia Uta
3. Fabianus Aga
4. Wens Mola
5. Lusia Fesa
6. Adel Tawa
7. Fransiskus
8. Yohanes Kasto Tue Nenu

Keluarga
Damyan Godho menikah dengan Theodora Menodora Mandaru pada  tanggal 26 Juni 1977 di  Waerana, Kabupaten  Manggarai Timur

Pasangan ini dikaruniai empat orang anak yaitu:
1. Romanus Krisantus Tue Nenu (almarhum)
2. Eleonora Ira
3. Berno Marselino
4. Clara Fransisca 

Pendidikan
1.    Menamatkan pendidkan SR  pada tahun  1957 di Boawae
2.    Menamatkan SMP Kotagoa Boawae pada tahun 1961
3.    Menamatkan SGA (Sekolah Guru Atas) Ndao Ende pada tahun 1964
4.    Setelah menamatkan pendidikan SGA beliau merantau ke Kupang

Karier di bidang Pers
1. Pada 1977 sampai dengan 1984 mengelola Mingguan  Kupang Post
2. Pada tahun 1976 bergabung ke Harian Kompas Jakarta dan diangkat menjadi karyawan pada tanggal 1 Januari  tahun 1990
3. Pada tahun 2005 beliau pensiun sebagai wartawan Harian Kompas. Masa kerja beliau di harian terkemuka Indonesia tersebut kurang lebih selama 30 tahun.

4.  Pada tanggal 1 Desember 1992 bersama-sama dengan Bapak  Valens Goa Doy (alm) dan Bapak Rudolf  Nggai (alm)  mendirikan Harian Umum Pos Kupang beralamat di Jl.  Jenderal Soeharto 53 Kupang, lokasi  Hotel Syilvia saat ini. Pos Kupang merupakan koran harian pertama di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

5. Pada tahun 1996 Harian Pagi Pos Kupang memiliki gedung kantor sendiri di Jalan. Kenari No. 1 Naikoten 1. Kupang  dan berkantor sampai dengan 8 Januari 2018. Kini Pos Kupang memiliki kantor baru di Jalan RW Monginsidi III, Kelurahan Fatululi Kota Kupang.

6. Pada tahun 1998-2008 beliau dipercayakan sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang NTT. Beliau memimpin PWI selama dua periode.

7. Damyan Godho merupakan pemegang Kartu Pers Utama yang diberikan Komunitas Hari Pers Nasional yang terdiri dari Dewan Pers, PWI, IJTI, SPS, Serikat Grafika Pers, ATVSI, ATVLSI, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia dan  PRSSNI. Pemegang kartu ini adalah para tokoh pers yang karya jurnalistiknya diakui di tingkat nasional dan internasional dan menghasilkan karya jurnalistik yang bermutu secara konsisten dalam kurun waktu 25 tahun.

7. Pada tahun 2013  Damyan Godho  menerima penghargaan dari pemerintah provinsi NTT  berupa cincin emas. Penghargaan itu diberikan  pada saat peringatan HUT ke-55 Provinsi NTT.

8. Sampai  akhir hayatnya beliau merupakan komisaris  Harian Pos Kupang.


Riwayat Sakit
Pada bulan Februari 2017 almarhum  mulai sakit dan sempat ke Singapura untuk pemeriksaan lengkap. Pada Agustus 2018 almarhum sempat merasa pinggang sakit dan dibawa ke RS Siloam. September  2018 beliau menjalani perawatan di  Penang Malaysia. Perawatan selanjutnya di Kupang hingga beliau menghembuskan napas terakhir pada tanggal 29 Januari 2019 pukul 01.30 Wita di RS St. Carolus Borromeus Belo, Kupang. Beliau meninggal  pada usia 73 Tahun, 10 Bulan, 4 Hari.

Demikian  riwayat hidup singkat Bapak Damyan Godho

Catatan: Daftar riwayat hidup ini dibacakan Dion DB Putra (Pemimpin Redaksi Pos Kupang) saat misa pemakaman di Gereja Fransiskus dari Assisi Kolhua Kupang, 31 Januari 2019.

Gerson Poyk Ikut Berdiskusi Melahirkan Pos Kupang

Gerson Poyk
SIANG  hari, 15 Agustus 1974, aparatur pemerintah daerah (pemda)  dan warga Kota Atambua Kabupaten Belu begitu sibuk. Di tengah suhu udara yang terbilang cukup panas, orang lalu lalang membawa bendera dan umbul-umbul untuk memperindah Kota Atambua dalam rangka peringatan hari Proklamasi 17 Agustus.

HUT kemerdekaan RI  tahun 1974 itu menjadi spesifik karena perayaannya akan dihadiri tamu istimewa dari Timor Portugis (kini negara Timor Leste).
Dari Timor Portugis memang datang rombongan pemerintah bersama tim kesenian dan olahraga. Kehadiran mereka dalam rangka mempererat  hubungan persaudaraan antarbangsa, Indonesia dan Portugis, penguasa Timor Portugis.

Siang hari itu, kebetulan perut sudah keroncongan dalam perjalanan bersepeda motor dari Halilulik menuju Atapupu, saya singgah di sebuah restoran Chinese -lupa namanya-yang berlokasi di pertigaan jalan, dekat Kantor Bupati Belu.

Saya  kala itu sedang mencari bibit sapi Bali guna memenuhi pesanan Pemda Kabupaten Sika. Ketika memasuki restoran yang kebetulan lagi sepi, terlihat seorang pria berambut agak ikal, bercelana jeans biru sedang akrab ngobrol dengan pemilik restoran, kebetulan  seorang wanita cantik. Di atas meja, tergeletak sebuah kamera foto merk Olympus lengkap dengan telelens. Tentu saja terbilang mahal untuk ukuran saat itu.

Melihat kedatangan saya, sang pria yang semula hanya senyum-senyum, datang menemani saya sambil memperkenalkan diri. "Saya Gerson. Gerson Poyk." Dan, katanya kepada saya.. "kamu pasti orang Flores" dengan sangat yakin. Dia lalu berkisah tentang masa kecil saat Sekolah Rakyat di Ruteng, Manggarai, sama sekolah dengan Ben Mboi (Gubernur NTT 1978-1988).

Kalau main sepakbola, posisi  Ben Mboi kanan luar. Tapi Om Gerson tak cerita dia pada posisi mana. Dia juga cerita tentang mata air Lawir, di pinggiran Kota Ruteng yang di  kemudian hari jadi tempatnya mencari inspirasi menulis berbagai novel.
Cara menyapanya yang hangat segera mengakrabkan kami dan memulai ngobrol.

Saya menyapanya dengan Om Gerson karena jelas usianya jauh di atas saya. Dan, ketika saya meminta daftar menu makan siang sambil menawarkan untuk makan bersama, Om Gerson bilang. "Dari tadi saya memang menunggu rasa lapar. Pesan apa saja". Maka kami berdua melalap masing-masing dua porsi mie goreng babi dan Om Gerson meminta traktir minuman alkohol merk "Laurentina".  Aneh, orang ini menunggu lapar?

Dari ngobrol sana sini hampir tiga  jam, saya akhirnya tahu bahwa Om Gerson ini seorang jurnalis dan penulis yang ingin masuk ke wilayah Timor dengan sponsor Harian Kompas.

 Entah mengapa, Om Gerzon sebenarnya masih wartawan Harian Sinar Harapan, bahkan membidani kelahiran surat kabar milik Partai Kristen Indonesia (Parkindo) tahun 1973, perjalanannya ke Timor dibiayai Harian Kompas.  Saya tak bertanya lebih jauh. Tetapi saya akhirnya tahu, Om Gerson sedang kesukitan menemukan cara untuk memasuki wilayah Timor Portugis.

Ketika sedang asyik ngobrol dataang seorang pejabat Pemda Belu bergabung dengan kami sambil bercerita bahwa  sore itu  akan ada rombongan tamu dari Timor Portugis  ke Atambua, Om Gerson Poyk pun mengajak saya bersamanya menemui tamu, siapa pun dia.

Beruntung memang, malam itu sejumlah pejabat Pemerintah Timor Portugis datang ke restoran, tempat kami makan siang. Saya perhatikan, bagaimana Om Gerson begitu lincah mendekati para pejabat Timor Portugis dan segera saja menjadi akrab.  Saya hanya ingat, ucapan seorang pejabat Timor Portugis yang mengatakan.."Oooo jurnalista, jurnalista" sambil angguk-angguk kepala dan berkata "oke..oke".

Kemudian saya tahu, Om Gerson memang bertemu pejabat Timor Portugis yang punya kompetensi memberi izin masuk ke wilayah Timor Portugis. Bahkan menawarkan transportasi menggunakan truk, dua hari kemudian.

Saya tak tahu berapa lama Om Gerson berada di Timor Portugis. Tetapi dua bulan kemudian dia mencari saya di Kupang dan mengobrol macam-macam. Ternyata dari kunjungan "jurnalista" sejak pekan ketiga Agutus 1974, laporan jurnalistiknya menjadi acuan atau rujukan semua wartawaan Indonesia yang berbondong-bondong ke Atambua guna meliput perang Saudara Timor Portugis Juli 1975 yang berbias sampai pengungsian besar-besaran ke Timor Indonesia (NTT).

Karakteristik wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Portugis serta kehidupan masyarakat Timor Portugis yang dicari insan pers Indonesia, memang disajikan dengan lengkap dalam laporan jurnalistik Om Gerson Poyk.

Sesudah itu kami lama tak bersua. Sampai suatu malam saya bertemu Om Gerson di Hotel Sasando Kupang  bersama sejumlah wartawan Indonesia atas undangan Merpoati Nusantara Airlines dalam rangka penerbangan perdana ke Darwin, Australia. Jika wartawan Indonesia lain membawa kopor, Om Gerson cuma bawa sebuah kantong kresek berisi majalah Tempo yang dia wakili.

Beberapa tahun kemudian, wartawan Sinar Harapan, Aco Manafe (alm), mengungkap sisi kehidupan Om Gerson yang sangat tak peduli pada materi. Cerita Aco, yang kemudian dibenarkan sastrawan Julius Siyaranamual (alm), ketika bersiap- siap kembali Indonesia, setelah kuliah di Iowa University Amerika Serikat, Gerson Poyk  membuang semua barang miliknya lewat jendela hotel. Kata Om Gerson,  mengapa harus lelah mengurusi barang bawaan?

Esoknya Om Gerson naik pesawat kembali Indonesia, tanpa bagasi, tanpa kabin. Pihak airline rupanya mengenal siapa Om Gerson sehingga tak bertanya mengapa tak ada barang bawaan, berbeda dengan warga Indonesia lain yang bagasinya sampai berlebihan.

Ketika saya dan Valens Goa Doy  (alm)  sedang menyiapkan kelahiran Surat Kabar Harian  Pos Kupang medio 1992, Om Gerson ikut dalam diskusi empat  orang di rumah Pak Ben Mboi di komplek  perumahan Angkatan Darat, Jalan Gatot Subroto Jakarta. Om Gerson dan Ben Mboi, tentara dan politikus lebih banyak bernostalgia masa kecil mereka di Ruteng sambil menghabiskan beberapa botol wine.

Ketika Pos Kupang terbit akhir 1992, Om Gerson yang sempat jadi Redaktur Khusus Pos Kupang menulis artikel yang mengeritik perilaku pejabat birokrat. Itu PNS-PNS, tulis Gerson, kalau sudah jadi pejabat, kalau sudah dikasih baju safari, kebanyakan pasti berubah. Cara jalan, cara duduk, berbicara.. Berubah semua... Saya lupa judul artikel tersebut dan kapan muatnya.

Banyak kenangan tentang Om Gerson. Tapi satu hal yang tak terlupakan dan agak sulit dipahami. Orang ini, dengan segudang kekayaan intelektual, penulis, novelis yang menghasilkan begitu banyak karya dan tentu saja berkesempatan punya banyak uang, hidupnya boleh dikatakan pas-pasan saja.

Ketika saya dan Valens Goa Doy medio 1992 menjemputnya untuk menuju ke rumah Pak Ben Mboi, kami harus menyuruk-nyuruk di bawah pohon dan menghindari tanah rawa berlumpur mencari rumahnya yang sangat sederhana di bilangan pelosok Jakarta Timur, kurang lebih dua  jam menggunakan taksi. Selamat jalan Om Gerson Poyk, Om humanis.. (damyan godho)

Sumber: Pos Kupang 25 Februari 2017 hal 1

"Kembali" ke Kupang


bildad11.jpg


IKAN BAKAR — Menikmati ikan bakar di pantai Kupang (1997) bersama Bildad (paling kiri), Paul Bolla dan pasangannya, kemudian Ana Jukana, Peter A Rohi, dan Hans Christian Louk. Ikan termasuk murah di Kupang, terutama kalau kita mau beli langsung dari nelayan pas mereka naik dari laut. Ikan segar itu langsung dibersihkan dengan air laut, dibakar, disantap. Gurih sekali.

Buku Kiriman Dion

KAKA.. Ini be kirim buku 15 Tahun Pos Kupang. Baca sudah! Tapi jang bilang-bilang orang laen. Be cuma bawa beberapa sa untuk ketong pung teman yang perna di Kupang, na!”

ITULAH yang dibisikkan Dion Dosi Bata Putra, Pemimpin Redaksi Pos Kupang di sela-sela Rapat Kerja pimpinan koran-koran daerah Persda di Ciater, Subang, Jawa Barat, 5 Desember 2007. Ia merogoh ransel, mengeluarkan buku bersampul biru.

Saat membacanya kemudian, saya tersedot kembali ke Kupang. Kembali ke masa-masa belajar dari para guru, mulai dari Bildad sampai Pius Rengka. Dari pendeta Paul Bolla, sampai Pater Jan Menjang (alm). Dari Daniel Rattu sampai guru besar Damyan Godho, dan masih banyak nama lagi yang harus saya sebut dengan rasa hormat karena telah begitu bermurah hati membagikan ilmu mereka.

Saya teringat kembali ketika untuk pertama kali menjejakkan kaki di Pulau Karang itu pertengahan tahun 1995. Apa yang disaksikan lewat jendela pesawat, tanah tandus kecoklatan dengan tonjolan-tonjolan karang, jadi lebih nyata beberapa saat setalah mendarat di bandara El Tari.

Sepanjang perjalanan menuju kantor, Domu Warandoy dan Evi H Pello yang menjemput saya, menunjukkan tempat-tempat di kiri kanan jalan yang kami lalui. Aduh! Tak terbayangkan bagaimana sulitnya mengembangkan koran di tempat seperti ini. Tempat di mana beli dan baca koran entah jadi prioritas keberapa dalam kehidupan sehari-hari warganya.

Pertama terbit 1 Desember 1992, sampai saat itu (1995) Pos Kupang terbit teratur sebagai koran harian berformat tabloid delapan halaman. Ya, tabloid. Ya, cuma 8 halaman. Atau setara dengan selembar koran broadsheet! Dicetak hitam-putih, dengan logo POS KUPANG di kiri atas. Jadi, meskipun “setebal” delapan halaman, koran ini jadi tipis jika selesai dibaca langsung kita lipat-lipat, masuk saku.

Sekarang, setelah berusia 15 tahun, tentu saja Pos Kupang tidak seperti dulu lagi. Ia terbit dalam bentuk broadsheet 16 halaman, dengan empat halaman warna. Ia pun sudah melakukan cetak jarak jauh di Ende dan di Maumere (Flores) di seberang laut. Nah, buku kiriman Dion itu antara lain berkisah tentang jejak langkah perjalanan Pos Kupang.

Ada testimoni dari pada pelaku, maupun mantan pelaku (banyak yang sudah berhasil di berbagai bidang, baik di NTT maupun di ibu kota dan di daerah lain), dan lebih banyak lagi berisi telaah mengenai peran Pos Kupang pada berbagai sisi kehidupan masyarakat di provinsi itu. Tokoh masyarakat, ilmuwan, kaum rohaniwan, kalangan birokrat, mantan pejabat dan lain sebagainya menuliskan pandangan kritis mereka terhada surat kabar ini.

Dus, meski buku ini diterbitkan menandai 15 tahun surat kabar itu, ia terhindar dari kesan sebagai kecap dapur yang biasanya lebih banyak berisi puji-pujian atas diri sendiri. Ia sekaligus jadi referensi yang cukup bernas mengenai perkembangan pers dan perannya di dalam kehidupan masyarakat setempat.

Tapi, bagi saya, buku itu seakan membawa saya kembali ke Kupang. Melalui buku ini, saya “bertemu” lagi dengan para guru yang luar biasa gairahnya membangun koran di negeri kering dan serba minim. Saya “bertemu” lagi dengan Pius Rengka yang kata-katanya luar biasa tajam, kokoh, dan indah.

“Bertemu” lagi dengan Hans Ch Louk yang ramah, suaranya pelan dan seperti tak pernah punya marah, namun tulisan-tulisannya lugas dan menyentak. “Betemu” lagi dengan pak pendeta, Yulius O Lopo yang kini jadi direktur pemberitaan Top TV Papua. Kepada merekalah –tentu pula dengan Dion dan Om Damyan Godho yang jadi tokoh sentral Pos Kupang– saya belajar banyak bagaimana gairah, ruh, spirit, bahu-membahu untuk menjalankan sebuah niat, membangun koran. Dan, mereka berhasil.

di-bandung-nasi-pun-berpayung-kaka.jpg
Santap malam sebelum rapat kerja: “Ai Kaka… di Bandung, nasi pun berpayung ko?
***
SAYA masih ingat betul, bagaimana sulitnya merekrut tenaga wartawan. Ketika itu, Pos Kupang baru saja ditinggal “bedol desa” oleh sejumlah wartawan dan redakturnya yang ikut Valens Goa Doy yang diberi kepercayaan mengelola Berita Yuda versi baru. Belakangan, proyek Berita Yuda itu tak berlanjut.

Rekrutmen pertama, berhasil menghimpun kemudian menyaring calon wartawan. Empat orang! Kami melatihnya secara penuh, kelas dan lapangan. Sampai akhir masa pelatihan, tak ada satu pun yang memadai. Bisa dipaksakan, tapi akan menyiksa mereka sendiri dan mungkin mengganggu sistem. Maka, buka lagi rekrutmen. Hasilnya, nihil lagi.

Toh, akhirnya dapat juga. Itu setelah berlangsung rekrutmen “ronde” ketiga. Dari sejumlah pelamar yang masuk dan lulus testing, kali ini tampak bibit-bibit yang sangat potensial. Dan terbukti, sebagian di antara mereka kini menduduki posisi-posisi penting di Pos Kupang. Satu dua lainnya, juga jadi tokoh jurnalis di luar Pos Kupang.

Itu dari satu sisi, SDM. Sisi lain, infrastruktur, jalur distribusi, persebaran penduduk di puluhan pulau, adalah tantangan lain yang hanya akan bisa diterobos dengan gairah yang dimiliki para awak Pos Kupang. Jika tidak, koran itu mungkin kini tinggal nama, bukan lagi jadi satu pilar yang kokoh dalam kehidupan demokrasi dan bisnis di NTT sebagaimana sosoknya yang tampak hari-hari ini.

Sebelum belajar ke Pos Kupang, saya sudah “sekolah” di Bandung (Bandung Pos, Mingguan Pelajar, Salam, dan kemudian Mandala – saat koran ini digandeng Kelompok Kompas-Gramedia), di Yogya (Bernas), di Palembang (Sriwijaya Post). Sarana, fasilitas dan infrastruktur di koran-koran itu boleh dibilang termasuk sederhana untuk ukuran sebuah industri koran di Jawa dan Sumatera saat itu. Tapi, begitu masuk ke Pos Kupang, saya seperti sedang menyaksikan dan ikut dalam sebuah gegar tekonologi (jika istilah ini ada).

Sampai pada proses pracetak, infrastruktur Pos Kupang tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang digunakan di Bernas. Tapi begitu masuk proses cetak, ya ampun. Saya seperti terlontar ke masa silam. Masa sekitar tahun 70-an, manakala saya sering ngintil paman saya mengantarkan naskah untuk korannya ke percetakan Ganaco NV di Bandung. Itu pun, mesinnya sudah agak lebih “modern” dibanding dengan yang digunakan Pos Kupang.

Sebagai ilustrasi, untuk mencetak 3000-4000 Pos Kupang saat itu, kami membutuhkan waktu antara 6-7 jam! Selain mesin, puluhan orang –tetangga sekitar– juga terlibat dalam penerbitan surat kabar ini. Tiap pagi, mulai pukul 03.00 belasan orang berderet di meja lipat di sisi lain percetakan. Ya, mereka jadi juru lipat dan juru sisip koran tabloid “setebal” delapan halaman itu!

Itu jika mesin tidak ngadat. Namanya mesin sepuh yang “berpengalaman” panjang, tentu pula acapkali macet. Ada saja gangguannya. Sampai-sampai pernah Om Damy meminta khusus pastor memberkati mesin itu. Menyembahyangi, kemudian memercikkan air suci.

Toh, mesin tak jua mau kompromi, sesekali penyakitnya datang lagi. Sampai sekali waktu, Om Damy mendatangkan paranormal untuk –jika ada– mengusir demit penyakit yang ngendon di itu mesin. Upacara pun digelar di lantai pelat baja sisi mesin. Potong ayam dan mengucurkan darahnya di lantai. Lalu ditaruhlah telur di atas genangan kecil darah itu. Beberapa saat kemudian, darah terserap entah ke mana!

Paranormal itu bermeditasi, merapal mantra, lalu bangkit bergerak ke arah mesin. Ia menunjuk sebuah titik hitam di sisi luar dinding mesin itu. Mengorek-ngoreknya sebentar, dan…. seperti ujung rambut, sepotong kawat mencuat. Ditariklah kawat itu, ternyata panjang. Seperti terkait ke suatu mekanisme di dalam mesin.
Dan ternyata, mesin itu tetap saja dengan sifat tuanya. Sesekali masih ngadat dan ogah mencetak. Jika sudah begini, tak ada jalan lain kecuali memindahkan cetakan ke Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) milik Deppen setempat.

Tapi, bagi saya, “pastor” maupun “pawang” mesin itu yang sesungguhnya adalah Ign Setya Mudya Rahartono (kini mengepalai unit cetak Pos Kupang). Putra Yogya inilah yang dengan telaten ngopeni mesin peninggalan zaman “purba” itu hingga mampu mengantar Pos Kupang menuju masa-masa kejayaan.

Tokoh lain yang menurut saya berperan besar adalah Bildad yang berhasil memegang kunci pengelolaan infrastruktur teknologi informatika Pos Kupang. Yang mengagumkan saya dari Bildad, adalah dia belajar secara otodidak mengenai IT. Pada masa itu, di Kupang belum ada lembaga, bahkan sebatas, kursus mengenai komputer/IT. Ilmu yang berhasil dikuasasinya ternyata menjadi tulangpunggung kelancaran proses kerja penerbitan surat kabar di Tanah Timor itu.

Selain  soal mesin dan keterbatasan infrasutrktur pendukung,  kertas juga jadi masalah utama, karena sangat tergantung pada pengriman dari Surabaya. Kapal pengirim, tergantung cuaca. Pernah sekali waktu, proses pracetak sudah rampung, tapi percetakan tak bisa bergerak karena kertas habis. Kiriman belum masuk karena kapal tertahan jauh dari pelabuhan. Belum bisa merapat.

Maka, menjelang tengah malam, Om Damy dan Domu melesat ke seantero pojok kota Kupang, menggedori toko yang menjual kertas ukuran plano. Dapat! Beberapa rim, cukup untuk oplaag hari itu. Mesin cetak pun bergerak. Dan hari itu Pos Kupang terbit warna warni. Kertasnya, yang warna warni! Ada yang warna telur-asin, hijau muda, kuning muda, putih, ada yang gabungan antara kertas putih dan warna lain!
Hebatnya, koran itu tetap laris dibeli orang!

***
borong-abis-na.jpg
ayo-foto-bersama-yang-melirik-nona-sendiri.jpg
Usai rapat kerja, 6 Desmber 2007, singgah ke Tribun Jabar. Ayo foto bersama! ajak Dion. Klik, dan di antara “kebersamaan” itu, cuma satu orang yang melirik ade nona! Hehehehehe…. Atas: Sempat pula pi pesiar sambil borong abis macam-macam barang. Saya diapit Dion dan Daud (Pemimpin Perusahaan Pos Kupang)
***
ITU cuma sekelumit dari gambaran nyata keadaan saat itu. Kini cerita itu tentu tinggal kenangan. Para kerabat kerja Pos Kupang telah mulai mereguk hasil kerja keras mereka yang tiada henti. Koran ini sudah mendarah daging dan jadi bagian hidup warga NTT, menjadi ruh informasi mereka, menjadi penerang, jadi penggerak opini publik, jadi pengontrol yang awas dan dipercaya.

Dion yang kini jadi pemimpin redaksi koran itu selalu bersemangat saat menceritakan, membandingkan dan menggugat, jika kami sedang rapat kerja, setidaknya setahun sekali. Keadaan sekarang, mungkin sudah jauh berubah. Setidaknya, sarana, fasilitas, dan infrastruktur pendukung, mungkin sudah lebih baik dibanding 12-15 tahun silam.

Tapi, tentu segalanya masih jauh tertinggal oleh perkembangan yang terjadi di daerah-daetah lain di luar NTT, terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Toh Dion Cs tetap dalam spiritnya, tetap dalam gairah yang sama dengan saat-saat saya mulai berguru kepada mereka 12 tahun silam. Hebat!
Buku yang dihadiahkannya itu sedikit mengobati kerinduan saya untuk menghirup kembali udara Kupang. Setidaknya, lewat buku itu saya bertemu dan “mendengar ” pembicaraan mereka, tidak saja mengenai Pos Kupang, melaikan mengenai hal-hal lain yang ingin saya ketahui dalam konteks kekinian.

Terimakasih, Dion. Terimakasih Om Damyan Godho. Terimkasih para guru besar saya di Kupang !! **
orang-bandung-makan-daun-ko.jpg
“Orang Bandung cuma makan daun ko, Kaka?”

Hanya Bermodal Semangat

Damyan Godho
Oleh Damyan Godho

PADA
tanggal 1 Desember 2007 usia Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang genap 15 tahun. Pada momen penting ini, saya bersama seluruh karyawan patut memadahkan syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada para pembaca. Berkat campur tangan Tuhan dan dukungan para pembaca, surat kabar ini bisa tumbuh dan bertahan mencapai tahapan dan kondisi seperti saat ini.

Ketika merencanakan penerbitan Harian Pos Kupang 15 tahun lalu, kami tidak punya apa-apa.  Modal dan kemampuan manajerial untuk mengurusi surat kabar kami tidak punya.  Yang kami punya cuma semangat dan sedikit pengalaman. Kami menyadari bekerja dengan peralatan yang tidak memadai.

Meskipun sudah mengalami banyak kemajuan, harapan yang kami bentangkan dalam visi dan misi ketika mendirikan surat kabar ini sampai saat ini belum terwujud. Visi dan misi Pos Kupang terkait erat dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu terciptanya masyarakat NTT yang memiliki budaya baca dan akses terhadap informasi.

Semua kita tahu berapa persen warga atau kepala keluarga (KK) di NTT yang suka membaca. Rasanya belum sampai 5 persen. Sebagai orang yang percaya bahwa membaca itu penting, saya harus katakan bahwa upaya mencerdaskan bangsa itu masih sangat jauh dari harapan.

Kendati demikian, kami harus menggelutinya. Kami  harus menghadapi perjuangan yang sangat berat, sebab mau tidak mau usaha ini bersentuhan  dengan bisnis. Kalau masyarakat tidak bisa atau tidak mau membeli koran, bagaimana usaha ini bisa hidup dan berkembang? Perjuangan itulah yang kami rasakan selama ini.

Pos Kupang didirikan oleh tiga orang, yaitu Valens Goa Doy,  Rudolf Nggai, dan saya sendiri. Valens Doy menangani bagian redaksi, Rudolf Nggai menangani percetakan. Sedangkan saya  mengurusi hal-hal di luar yang diurus kedua orang ini.

Inisiatif mendirikan Harian Pos Kupang bermula pada tanggal 12 April 1992. Pada waktu itu saya sebagai wartawan Kompas di NTT bertemu Harmoko di Bajawa, Kabupaten Ngada. Harmoko datang dalam kapasitas sebagai Ketua Umum DPP Golkar dan Menteri Penerangan RI. Bersama dengan Ansel da Lopez (wartawan Kompas) dan disaksikan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Departemen Penerangan (Deppen) NTT, Sinuraya, Harmoko menantang saya untuk mendirikan koran di NTT. Dia berjanji memberikan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

Sebagai Menpen, Harmoko ingin paling kurang di setiap ibu kota propinsi ada koran harian. Waktu itu hanya ada Surat Kabar Mingguan (SKM) Dian yang terbit di Ende. Saya sendiri pun pernah mendirikan Mingguan Kupang Pos pada tahun 1977, tapi mingguan ini tidak bertahan lama karena keterbatasan dana dan lemahnya manajemen.

Ketika mendapat tantangan Harmoko itu, saya langsung menyatakan siap mendirikan koran harian. Saya menghubungi Valens Goa Doy (Direktur Kelompok Persda-KKG), yang sudah merintis pendirian enam koran daerah di bawah Kelompok Kompas Gramedia (KKG/Persda) dari Sabang sampai Merauke. Dia turut mendirikan Harian Serambi Indonesia di Banda Aceh, Harian Sriwijaya Post di Palembang, Harian Bernas di Yogyakarta, Harian Surya di Surabaya, Tifa Irian di Jaya Pura, dan Post Maluku di Ambon.
Valens sebagai orang NTT memang sudah lama merindukan agar di NTT ada koran harian. Begitu saya kontak, dia spontan datang, mengurus segala  persiapan untuk mendirikan koran ini. Karena itulah saya tidak habis-habisnya berterima kasih kepada Valens (almarhum), karena tanpa dia tidak mungkin Pos Kupang ada.

Pada saat dia tiba di Kupang, kami langsung memulai proses pengurusan SIUPP. Waktu itu lebih dari 10 persyaratan administratif harus kami penuhi untuk penerbitan SIUPP.  Kami bertiga (Valens, Rudolf dan saya) juga menghadap notaris untuk mengurus pendirian PT yang sampai saat ini disebut PT Timor Media Grafika.

Pada tanggal 12 Juli 1992, kami mengajukan permohonan SIUPP kepada Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG), Departemen Penerangan RI. Saya sendiri yang mengurusnya di Jakarta.

Sebagai orang Kompas, saya mendapat izin dari Pemimpin Umum Kompas, Jacob Oetama untuk mendirikan koran di daerah ini dengan status tetap sebagai wartawan Kompas.  Ketika saya bertemu Pak Jacob Oetama pada bulan Juli 1992, beliau mengatakan, "Bung, coba-cobalah!" Artinya, mudah-mudahan jalan. Padahal saya berharap Kupang mendapat perhatian seperti koran-koran daerah lainnya yang didirikan Kompas waktu itu. Tapi saya bisa memahami kebijakan ini karena dari sudut bisnis NTT belum menguntungkan.

Karena berbagai kesibukan Harmoko, SIUPP No: 282/SK/Menpen/SIUPP/A.6/1992 tanggal 6 Oktober 1992  itu baru kami terima  pada tanggal 12 Oktober 1992. Saya dan Valens yang menerima SIUPP itu. Begitu mendapatkan SIUPP, Wens John Rumung langsung melamar dari Jakarta untuk menjadi wartawan Pos Kupang.

Bantuan GMIT

Namun, mendapatkan SIUPP tidak otomatis semuanya langsung bisa dimulai. Kami masih harus merekrut wartawan. Pius Rengka ketika itu sebagai dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang yang juga aktif sebagai koresponden SKM Dian, mulai bergabung dengan kami. Dialah yang menangani perekrutan wartawan dan tenaga-tenaga lainnya. Untuk mendapatkan tenaga-tenaga itu, kami mengumumkan melalui radio dan pasang iklan di koran terbitan Surabaya. Alhasil, sebanyak 300-an orang mengajukan lamaran.

Pada tanggal 1 November 1992, kami mulai mengadakan pelatihan wartawan selama dua minggu. Pelatihan dimulai dari jam 08.00 pagi sampai jam 12.00 malam, melelahkan. Valens Goa Doy bertindak sebagai instruktur tunggal. Hasil dari pelatihan itu, beberapa orang masih bertahan di Pos Kupang sampai saat ini, seperti Dion DB Putra, Beni Dasman, Paul Burin, Ferry Jahang dan Mariana Dohu. Itu juga makanya sejumlah wartawan di sini merasa begitu dekat dan menyebut Valens guru.

Untuk perekrutan, kami juga meminta bantuan Sinode GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor). Kami bertemu dengan Pdt. Dr. A A. Yewangoe sebagai Rektor Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang untuk membantu rekrut tenaga. Sinode menanggapinya dengan mengirim enam sarjana lulusan Fakultas Theologia UKAW, di antaranya Eben Nuban Timo, Esther Gah, Yulius O Lopo  dan Mesakh Dethan. Mereka juga mengikuti pelatihan wartawan angkatan pertama.

Kami juga merekrut loper. Tapi karena mereka menganggap menjual koran sebagai pekerjaan hina, mereka menjual dengan menyembunyikan koran dalam kantong plastik. Mereka malu-malu. Padahal pada tahun 1966-1967, saya menjadi loper Harian Kompas di Kupang. Waktu itu saya sedang menjadi anggota DPRD GR Propinsi NTT. Sehabis sidang DPRD, saya langsung pergi ke Kantor Pos untuk mengambil koran lalu menjualnya. Karena itu bisa dimengerti kalau sampai sekarang orang-orang Kupang masih mengenal saya sebagai loper Kompas.

Setelah melalui tiga kali menerbitkan nomor percobaan, pada tanggal 1 Desember 1992 Pos Kupang secara resmi terbit enam hari seminggu dengan 12 halaman. Bentuknya tabloid berukuran 41 X 30 cm, disesuaikan dengan kemampuan mesin cetak milik Rudolf Nggai. Motonya, Suara Nusa Tenggara Timur.

Pada waktu kami mempersiapkan percetakan, kami diberi tempat oleh Rudolf Nggai di bangunan reyot berdinding bebak, yang sebenarnya warung. Di bangunan tersebut tidak ada WC. Kami hanya diperlengkapi dengan empat unit komputer tua yang tiada hari tanpa ngadat (hang).

Saya harus mengambil komputer, meja dan rak di rumah saya, dibawa  ke kantor. Wartawan harus bekerja antre dengan dukungan perangkat kerja telex Antara dan jaringan koran daerah KKG (Persda). Meski demikian, di tempat itu jugalah kami dikunjungi Harmoko pada tahun 1993.

Begitu mulai terbit, kami langsung menghadapi masalah baru yang sifatnya sangat politis. Kehadiran Pos Kupang tidak begitu saja diterima. Muncul banyak sinisme yang menganggap penerbitan Pos Kupang sebagai pekerjaan orang gila. Gila karena kami tidak punya apa-apa, tetapi berani menerbitkan koran apalagi mengklaim sebagai Suara Nusa Tenggara Timur.

Masalah lainnya berkaitan dengan figur Valens dan saya yang memang pernah berkecimpung di partai politik. Muncul banyak kecurigaan bahwa Pos Kupang terbit untuk memenuhi kepentingan politik kami berdua. Apalagi Pos Kupang hadir menjelang suksesi gubernur NTT waktu itu. Tantangan itu kami hadapi dan menganggapnya sebagai hal wajar.

Tantangan yang lebih serius justru datang dari dalam diri Pos Kupang sendiri. Sarana kerja yang serba terbatas. Bagaimana membuat masyarakat NTT menjadikan koran sebagai salah satu dari sepuluh kebutuhan pokoknya; suatu upaya yang tidak gampang berhadapan dengan kebiasaan orang NTT yang kurang gemar membaca. Bahkan sampai dengan usia 15 tahun ini, masalah yang tidak pernah terselesaikan dalam perusahaan ini adalah masalah etos kerja, disiplin yang memprihatinkan, sikap mapan, puas dengan apa yang ada, lemahnya spirit dari setiap karyawan untuk membangun cakrawala baru.

Sebagai pendiri dan sebagai pemimpin umum, kadang-kadang saya sedih menyaksikan sejumlah orang yang tidak mau berubah. Mereka tidak sadar bahwa menghadapi perubahan di luar yang begitu cepat dan tak terduga membutuhkan kesadaran dari setiap karyawan di dalam perusahaan ini.

Harus disadari bahwa posisi Pos Kupang saat ini tidak lagi seperti ketika dia pertama kali hadir pada tahun 1992. Kalau pada tahun 1992, Pos Kupang satu-satunya koran harian di daerah ini, maka ketika memasuki era reformasi posisi itu langsung berubah. Pos Kupang hanya salah satu di antara sekian banyak media baru yang bermunculan.

Kehadiran media-media ini juga sebenarnya terinspirasi oleh kehadiran Pos Kupang. Sejak tahun 1992, Pos Kupang menjadi semacam persemaian wartawan dan pekerja-pekerja media di Indonesia. Tercatat sebanyak 198 orang pernah bekerja di Pos Kupang, 98 orang di antaranya wartawan, sekarang bekerja di mana-mana di seluruh Indonesia. Bahkan ada yang menjadi pemimpin media baru, baik di NTT maupun di Jakarta. Ada  yang menjadi politisi (anggota DPRD, wakil bupati) dan aktivis LSM. Ada juga yang bekerja sebagai PNS. Akan tetapi, semua itu belum membuat Pos Kupang cukup bangga karena visi Pos Kupang adalah membentuk masyarakat NTT yang gemar membaca.

Mengembangkan Pos Kupang pada tahun-tahun awal tidak gampang. Selain berhadapan dengan kurangnya minat baca di semua lapisan masyarakat NTT dan daya beli yang rendah, kondisi wilayah NTT yang berpulau-pulau sungguh menjadi masalah yang sangat berat. Yang jelas usaha surat kabar juga bisnis. Dia harus dikembangkan secara bisnis. Tetapi kenyataan yang kami hadapi bahwa kami tidak punya pasar. Kami juga tidak meminta bantuan pemerintah daerah (Pemda). Pasar itu kami kembangkan sendiri. Jadi bisa dibayangkan betapa beratnya mengembangkan usaha koran di NTT.

Untuk mendistribusi koran ke daerah-daerah  (Flores, Sumba dan Alor), kami menggunakan jasa pesawat terbang setiap hari. Itu pun kami tetap menghadapi kendala. Selain sering tidak terangkut, koran yang kami distribusi hanya bisa menjangkau ibukota-ibukota kabupaten.

Kami juga sempat mendistribusikan Pos Kupang ke Bali, Jawa Timur dan Jakarta. Untuk mendukung pemberitaan kami juga menugaskan wartawan ke daerah-daerah tersebut. Tapi kemudian terasa bahwa upaya ini tidak efisien. Karena itu, kami hanya berkonsentrasi pada pengembangan di wilayah NTT.

Oplah kami awalnya mencapai 3.000-an. Kondisi itu bertahan sampai tahun 1995; suatu tingkat oplah yang tidak memungkinkan untuk keberlangsungan suatu usaha penerbitan pers. Jangankan bisa maju, bertahan pun tidak. Pendapatan kami semata-mata dari hasil penjualan koran. Iklan waktu itu sama sekali belum ada. Iklan kami baru mulai tumbuh pada saat kami memuat iklan dari Toko Tiflos. Namun tetap saja sampai saat ini penghasilan kami dari iklan belum ideal sebagai salah satu sumber penghasilan di perusahaan penerbitan pers. Penghasilan kami masih didominasi oleh penjualan koran; suatu usaha koran yang sebenarnya tidak sehat.

"Sonde usah pakai iklan ju, orang tahu," begitu jawaban para pengelola toko di Kupang ketika petugas iklan Pos Kupang menawarkan jasa pemasangan iklan kepada mereka.

Dalam tiga tahun pertama Pos Kupang jatuh bangun. Tak satu pun bank yang percaya pada Pos Kupang ketika mengajukan permohonan kredit karena usaha ini dianggap tidak memiliki prospek masa depan.

Kami benar-benar mengalami krisis pertama pada tahun 1994. Kami tidak punya apa-apa lagi karena manajemen yang kurang baik. Kami mencatat piutang yang tidak tertagih sebanyak Rp 1,7 miliar. Kami menurunkan orang-orang untuk melakukan penagihan, tapi mereka tidak menemukan orang-orangnya.

Meski begitu, Pos Kupang tetap bertahan. Karena kehabisan kertas koran, kami mulai mencetak koran pakai kertas warna-warni yang kami beli di toko-toko di Kupang. Penampilan ini malah menimbulkan kesan pada pembaca seolah-olah Pos Kupang sudah sangat berkembang.

Dalam keadaan bisa bertahan itu, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) melakukan survei dan melihat pertumbuhan, prospek dan daya tahan kami. Maka pada April 1995 saya langsung menawarkan merger dengan KKG. Tawaran itu ternyata diterima. Merger dengan KKG dilakukan pada tanggal 30 Juli 1994 dengan akta notaris No. 158, dan direalisasikan mulai tanggal 9 Maret 1995. Merger dilakukan karena Rudolf Nggai menyatakan ingin berkonsentrasi pada bisnis utamanya. Karena itu, kami terpaksa bubar. Tinggal saya dan Valens Goa Doy.

Pada saat Rudolf Nggai mundur, kami langsung mengalami krisis cash flow. Saat itu tingkat pendapatan karyawan sangat menyedihkan. Ya, antara Rp 60 ribu sampai Rp 100 ribu perorang per bulan ditambah uang makan. Hal yang membanggakan saya adalah pada saat krisis itu sebagian wartawan angkatan pertama rela gaji mereka dipotong 50 persen asalkan Pos Kupang tetap terbit.

Dalam beberapa bulan pun proses merger selesai. Kami keluar dari tempat lama yang disediakan Rudolf di Jl. Soeharto No.53 pada tanggal 1 Maret 1995, bertepatan dengan liburan lebaran. Kami pindah ke Jl Kenari No. 1 Naikoten 1 Kupang, kantor yang kami tempati sampai saat ini.

Kantor yang sekarang ini awalnya rumah toko milik Suwarno Suyanto. Ketika kami masih bingung mencari tempat, dia menawarkannya dengan biaya kontrak Rp 10 juta per tahun untuk jangka waktu lima tahun. Selanjutnya, KKG membeli bangunan dua lantai dan tanah ini dengan harga Rp 500 juta. Ini yang saya sebut penyelenggaraan Tuhan.

Pada waktu merger, kami hanya memiliki satu mesin cetak tua dengan fasilitas kredit bank karena sudah dinilai memiliki prospek. Kredit ini pun diperoleh atas dukungan Gubernur Herman Musakabe yang bertindak sebagai Ketua Pengawas Bank NTT waktu itu. Dengan uang kredit itu, kami membeli mesin cetak dan sarana kerja lainnya. Pinjaman itu kami lunaskan dalam tiga tahun kemudian.

Pada tahun 1996, kami mulai mendapat bantuan tenaga dari KKG/Persda), yaitu Marcel Weter Gobang, Januari 1996, diikuti Hyeronimus Modo, mulai 1 Februari 1996. Sebelumnya kami juga mendapat tenaga percetakan Setya MR.

Untuk efisiensi waktu itu, kami mendapat inspirasi untuk coba mengembangkan Sistem Cetak Jarak Jauh (SJJ) di Ende mulai 25 Maret 1998, bekerja sama dengan Percetakan Arnoldus Ende. Hal ini tidak terencanakan, tetapi menjadi blessing indisguise (berkat terselubung) karena beberapa bulan kemudian Indonesia dilanda krisis moneter. Distribusi koran kami ke daerah-daerah tertolong oleh cetak jarak jauh ini.

Cetak jarak jauh yang kami kembangkan itu ternyata menjadi satu-satunya yang dikembangkan koran daerah ketika itu, sehingga pada suatu hari saya ditelepon oleh Dirjen PPG Deppen, menanyakan teknologi cetak jarak jauh itu. Pada waktu itu Deppen sedang membahas peraturan cetak jarak jauh.

Kemudian KKG juga ingin agar Pos Kupang mengubah format dan memperbaiki mutu percetakan. Maka kami mendapat bantuan mesin cetak web pada tahun 1999. Gedung baru untuk mesin cetak web ini diresmikan pada Februari 2000. Akibatnya kami melakukan percetakan dalam dua versi. Di Ende Pos Kupang tetap dicetak dalam ukuran tabloid, sedangkan di Kupang dalam ukuran broadsheet.

Selanjutnya pada tahun 2000 kami pun mendapat bantuan satu unit mesin web dari KKG untuk Flores. Maka cetak jarak jauh kami pindahkan dari Ende ke Maumere menggunakan mesin web ini. Sejak itu ukuran koran Pos Kupang di Flores sama dengan di Kupang yaitu broadsheet. Bedanya, di Flores tetap dicetak hitam putih, sedangkan di Kupang dicetak warna untuk halaman-halaman luar.

Dengan cetak jarak jauh di Flores, kelihatan ada prospek di Flores. Maka mulai 1 November 2004, kami juga merintis cetak jarak jauh di Ruteng sampai sekarang. Kami juga bermimpi untuk membangun cetak jarak jauh di Sumba. Mudah-mudahan mimpi itu bisa terealisasi pada waktu mendatang. Apa yang kami lakukan ini intinya untuk mengatasi kesulitan distribusi.

Selain cetak jarak jauh, sejak tahun 1997 kami juga sudah memiliki website. Sejak itulah berita-berita Pos Kupang bisa diakses di seluruh dunia. Website ini mengambil bagian dalam website Harian Kompas. Di balik upaya ini kami ingin agar Pos Kupang menyebar luas.

Sampai dengan usia 15 tahun ini, Pos Kupang tidak pernah lepas dari masalah, bahkan akan terus menghadapi masalah. Selain masalah distribusi, sebagai media cetak Pos Kupang menghadapi revolusi teknologi multi-media yang sedang menyerbu dunia saat ini. Kendati demikian, sebagai pemimpin di sini saya tidak cemas. Saya yakin media cetak tidak akan pernah tergusur karena multi-media pun dimulai dengan membaca.

Yang menjadi persoalan bagi kami adalah pengembangan diri orang-orang yang mengelola Pos Kupang. Ada yang menulis berita belum benar, bahasa yang jelek dan logika yang tidak jalan. Yang terakhir inilah sebenarnya yang mengancam kami. Karena itu, kami merasa perlu setiap orang dalam perusahaan ini mengoreksi diri. Setiap karyawan harus peka terhadap perubahan yang serba cepat saat ini.

Sayangnya, ada di antara kami yang belum sadar akan hal ini. Saya tidak membutuhkan semuanya. Cukup 50 persen saja dari karyawan memiliki visi maju, maka kami berani mengatakan bahwa kami tidak takut perubahan. Kami sudah banyak melakukan perubahan selama ini. Tapi kalau ada yang tidak mau berubah, dia akan mati (If you don't change, you die!).

Saat ini pun hadir begitu banyak media di NTT, selain Pos Kupang. Terhadap kehadiran media-media ini, Pos Kupang patut berbangga karena Pos Kupang ikut  mendidik jurnalis dan pekerja-pekerja pers yang bisa merintis media baru.

Dalam posisi sebagai salah insan pers di NTT, saya bangga dengan kehadiran media-media ini. Kita sama sekali tidak alergi terhadap kehadiran mereka. Kehadiran mereka justru memperkuat Pos Kupang dalam mencapai visi dan misinya membangun budaya baca di NTT. Kehadiran media-media ini membantu kami untuk saling mengoreksi.

Kami senantiasa sadar bahwa mati hidupnya usaha ini sangat tergantung pada masyarakat pembaca. Kami tidak mungkin hidup tanpa pembaca, baik dengan membeli dan memasang iklan Pos Kupang maupun melalui kritik dan sarannya untuk kemajuan Pos Kupang. Kami yakin dengan demikian Pos Kupang masih bisa merayakan ulang tahunnya pada waktu-waktu mendatang. Dirgahayu Pos Kupang. Ad multos annos.*

Sumber: Buku 15 Tahun Pos Kupang, Suara Nusa Tenggara Timur (editor Dion DB Putra, Tony Kleden, Maria Matildis Banda)

Biodata
 
DAMYAN Godho lahir di Boawae-Flores, 25 Maret 1945. Menyelesaikan SR Boawae (1957), SMP Kota Goa Boawae (1960) dan SGA Ndao-Ende (1963). Pernah kuliah di IKIP Malang Cabang Kupang, Fakultas Hukum Berdikari (cikal bakal Fakultas Hukum Undana), tapi drop out.
 

Ayah empat anak ini sarat pengalaman. Dia pernah menjadi Guru SD Frateran Kupang (1963), karyawan Perusahaan Daerah Perdagangan NTT (1966), loper koran (1967-1968), kontraktor bangunan (1969),  pedagang ternak kecil-kecilan (awal 1970-an), wartawan Harian Kompas (1975), Pemimpin Redaksi Mingguan Kupang Post (1977) dan akhirnya mendirikan SKH Pos Kupang sekaligus menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi (1992). Setelah merger dengan KKG, menjadi Direktur PT Timor Media Grafika (1995-sekarang).  Motto: Percaya diri, peduli sesama dan jujur.
 

Damyan Godho juga matang di bidang organisasi. Dia menjadi anggota dan pengurus PMKRI Cabang Kupang (1963-1965), Ketua KAMI Konsulat NTT (1967),  Anggota Panitia Persiapan pembentukan Kabupaten Nagekeo (1967),  aktif di Partai Katolik (1967) lalu menjadi pengurus Komisariat Daerah NTT (1969). Dalam usia sangat muda ia  menjadi anggota DPR GR NTT (1967-1971), aktif di Partai Demokrasi Indonesia (1973) dan menjadi salah satu Wakil Ketua DPD PDI NTT (1976-1982). Ketua Cabang PWI NTT (1997-2008).

Sang Provokator

Damyan Godho
UNTUK anak-anak seusia saya, 11 tahun, peristiwa seram tentang tertembak-matinya dua polisi di Teluk Kelambu – Kabupaten Ngada medio 1956 oleh segerombolan Kahar Muzakar, tidaklah menarik. Juga terhadap cerita lanjutan dari mulut ke mulut bahwa ratusan gerombolan Kahar Muzakar merampok dan membunuh di pantai utara Flores dan menginfiltrasi wilayah Flores lainnya. Bahkan ada rasa aneh dan lucu ketika menyaksikan sejumlah warga, termasuk ayah saya, diam-diam menyiapkan bambu runcing guna dijadikan senjata menghadapi kemungkinan serbuan gerombolan pemberontahak dari Sulawesi ini ke Boawae.

Saya baru tertarik, ketika suatu hari, dua truk penuh pasukan polisi, bedil dan mortir, muncul dari Boawae, tempat lahir saya dan langsung bergerak ke utara Boawae, sekitar 15-20 kilometer. Begitu tiba, sejumlah kawasan bukit yang dilaporkan sebagia ‘sarang’ sejumlah Kahar Muzakar, langsung dihujani ribuan peluru. Namun, hasil pengamatan setelah operasi ini, tidak menemukan sedikit pun tanda-tnada bahwa daerah ini memang sarang gerombolan.

Maka dua warga, Tangi dan Logo, sumber informasi dan penunjuk jalan, menjadi sasaran pertanyaan polisi yang kelelahan setelah turun-naik menyisir kawasan bukit sehari penuh. Akhirnya Tangi dan Logo dengan tergagap-gagap mengaku salah dan minta maaf. Kata mereka, cerita tentang gerombolan Kahar Muzakar hanyalah omongan main-main (mungkin juga sok tahu) di antara sesama kala minum moke. Tetapi, tanpa diduga, omongan main-main ini beredar begitu cepat sehingga warga jadi resah dan takut, Kepala Kerajaan kerepotan dan akhirnya polisi harus didatangkan

Lain lagi di Kupang, suatu hari di tahun 1965. Dua kawan saya, Yos (sudah almarhum) dan yang satu, Michael (masih hidup). Keduanya tiba-tiba dijemput polisi berkaitan dengan  ‘kabar’ jatuhnya pesawat DC3/Dakota Garuda dalam penerbangan Kupang– Maumere-Denpasar sehari sebelumnya. Kepada polisi, Yos Mengaku bahwa berita itu didengarnya kala memangkas rambut di kawasan Kampung Solor Kupang.  Michael lalu meneruskannya kepada temannya, yang ternyata diteruskan lagi dari mulut ke mulut dengan sangat cepat. Akibatnya, Kantor Garuda kebingungan menghadapi jejalan puluhan warga yang mencari tahu nasih anggota keluarganya. Setelah diusut polisi, terungkap bahwa berita ini ‘bohong’. Berasal dari seorang penumpang yang tidak kebagian tempat di pesawat. Karena kesal, di tempat pangkas rambut Kampung Solor,ia tumpahkan amarahnya dengan kata-kata lepas ‘masuk lautlah pesawat itu!”
Yos, yang mendengar kata-kata itu samar-samar lalu menyampaikan kepada Michael bahwa pesawat Garuga jatuh ke laut. Dan tersebar luas berita menggelisahkan masyarakat Kupang  ini hingga keduanya dijemput polisi.
Dua kisah nyata di atas menggambarkan bahwa cerita iseng atau juga cerita sok tahu oleh Tangi dan Logo serta Yos dan Michael yang meneruskan kabar yang tidak benar, secara tidak sadar telah melakukan provokasi. Tangi dan Logo menyebabkan warga Boawae resah, takut dan bisa berbuat nekad serta berakibat polisi membuang-buang peluru. Sedang Yos dan Michael, membikin warga Kupang resah dan untung saja kantor Garuda diserbu. Namun, perbuatan provokasi Tangi, Logo, Yos dan Michael tidak berdampak luas karena akar ceritanya segera diketahui.

Pekan lalu, menjelang Hari Damai Natal 1999, berkaitan dengan batalnya testing Calon Pegawai Negeri Sipil di Wilayah Kota Madya Kupang dan Kabupaten Kupang, Gubernur NTT Piet Tallo mengungkapkan kepada pers bahwa dil ingkungan Pemda NTT ada provokator yang mau menjatuhkannya dari jabatan Gubernur NTT. Seorang Gubernur tentu saja tidak asal omong. Dan seorang Piet Tallo yang kini Gubernur NTT, rasanya tidak mungkin mau meresahkan masyarakatnya sendiri, jika tidak ada buktinya.
Tetapi susahnya ialah, orang lalu hanya bisa mereka-reka apa alasan Gubernur berkata demikian? Mengapa pula pembocoran bahan testing Calon Pegawai Negeri Sipil di Kupang sepertinya kronis dan seolah merupakan tradisi? Namun yang pasti, pelaku pembocoran sebenarnya bermaksud agar adik, kakak, saudara/i, konco atau relasinya bisa lolos testing. Orang ini mungkin tidak membayangkan bahwa yang dilakukannya itu termasuk perbuatan provokatif. Artinya, bias memancing dan/atau melahirkan ketidakpuasan ‘politisi’ dan Gubernur menjadi sasaran tembak.

Tetapi bisa juga suatu provokasi untuk menghantam Piet Tallo, Gubernur NTT melalui rekayasa yang sistematis memang sedang dimainkan. Caranya, dengan membocorkan bahan testing Calon Pegawai Negeri Sipil di Kupang sehingga terbangkitlah ketidakpuasan massal. Mengapa di Kupang? (Kota Madya Kupang dan Kabupaten Kupang)? Karena di sini berkumpul politisi dan birokrat-politik yang bisa dan biasa berpolitik, campur-aduk. Otak provokasi dan pelaku pembocoran mungkin saja berharap, “syukur-syukur” bisa terulanglah semacam peristiwa berdarah di Sumba Barat setahun lalu dan pada gilirannya Gubernur yang bertanggung jawab.

Jika rekaan di atas benar, maka ungkapan Gubernur bahwa ada provokator di lingkungan Pemda NTT memang tidak bisa disangsikan kebenarannya. Artinya ada. Dan yang seperti ini berbeda dengan Tangi, Logo, Yos dan Michael. Yang terakhir ini, semuanya orang-orang partikulir, rakyat kebanyakan tanpa NIP dan Karpeg yang hanya karena omong iseng bisa dianggap provokator. 

Sebaliknya, pelaku pembocoran bahan testing calon pegawai negeri sipil sudah pasti adalah birokrat yang punya NIP dan Karpeg. Ia mungkin sekali sedang berprovakasi alias berpolitik terhadap gubernurnya melalui  birokrasi.  (damyan godho)


Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 27 Desember 1999 hal 1

Persaudaraan El Tari

Damyan Godho
SUATU hari di bulan Maret 1977, Gubernur NTT (kala itu El Tari alm) meminta saya menemuinya. Serangkaian tanda tanya segera saja memenuhi benak saya megingat status saya. Cuma rakyat biasa, bukan birokrat, bukan pengusaha atau politisi, kenapa dipanggil Gubernur. Saya tidak punya hubungan pribadi dengan Pak El. Kalau pun pernah ada, itu sudah lama, lama sekali, kala “ramai-ramai” jadi anggota DPRD GR tahun 1967-1971 yang mau tidak mau harus berhubungan dengan gubernur. Maka pertanyaan seperti mengapa, ada apa, untuk apa, dan macam-macam lagi membebani benak saya kala menuju kantor Gubernur NTT, di Jalan Basuki Rachmat Kupang.

Rupa-rupanya Pak Gubernur membaca kebingunggan saya yang datang dengan dahi agak berkerut. Tetapi saya menjadi lega ketika dengan senyum dan sambil bangkit dari kursi, begitu saya masuk ruangan kerjanya. Pak El langsung menyapa dengan dialek Kupang. “Kermana Damy, bae-bae ko?”. Dan saya, sambil duduk sopan menjawab “ya.. bae-bae sa … Pak”
Pak El pun tidak lama berbasa-basi dan langsung bicara dengan nada bertanya “Orang NTT banyak yang berbakat tulis-menulis. Tidak sedikit jadi wartawan besar. Tapi, kok hebatnya itu di Jawa, di Bali di luar NTT? Kenapa tidak di NTT, khususnya di Kupang, ibukota Propinsi NTT? Beta pung mimpi di akhir jabatan ini (kala itu, El memang tinggal setahun menjabat Gubenur NTT), di Kupang musti ada Koran yang penerbitnya putra NTT”.

Dan tanpa memberi kesempatan kepada saya untuk bicara, Pak El langsung ‘perintah’: “Lu bikin koran ya. Beta kasih doi. Modal awal lima juta rupiah. Bikin dulu, kurang-lebihnya nanti diatur”.

Tentu saja saya makin bingung. Bikin koran? Menjadi penerbit koran? Ah gila. Pekerjaan apa ini? Apalah saya ini, yang belum apa-apa, belum dua tahun ‘tiba’tiba’ jadi wartawan Kompas Jakarta, gara-gara perang saudara di Timtim tahun 1975, disuruh menerbitkan koran?

Pak El pun tetap saja melanjutkan ‘perintahnya’. “Lu.. kumpul beberapa teman dan mulai. Biar jelek. Kritik beta yang keras, jangan takut. Beta bosan orang puji-puji tetapi dibawah sana (maksudnya daerah-daerah kabupaten), rakyat ternyata lapar, miskin, sengsara, susah”, seolah meramal beberapa bulan lagi akan meledak Bencana Paga Kabupaten Sikka 1977 yang makan korban ratusan anak balita tewas karena kurang gizi.
Saya yang masih bingung, diberondong lagi dengan ‘perintah’ terakhir yang sangat menggetar. “Lu… jangan senang naik sepeda motor kesana-kemari siang malam. Lalu pulang rumah, bikin berita. Lalu, tunggu honor. Dan sambil mengepal tinju, Pak El berujar, “Sudalah Damy, lu mulai saja dulu. Ingat orang NTT jangan kalah dengan orang daerah lain”.

Rangkaian perintah Pak EL di atas, kemudian memang melahirkan Surat Kabar Mingguan (SKM) pertama di Kupang bernama “KUPANG POS”. Dengan sangat susah payah, hanya mengandalkan satu mesin tik karena hampir seluruh dana diperuntukkan bagi biaya cetak SKM KUPANG POS terbit awal 5 Desember 1977, empat halaman dan dicetak di percetakan Arnoldus Ende-Flores.

Menyambut kelahiran KUPANG POS 5 Desember 1977 atau hanya empat bulan sebelum dipanggil Sang Pencipta, Pak El seolah menyesali dirinya yang terlambat mendorong kehadiran koran di NTT, khususnya Kupang, Ibu kota Propinsi NTT. “Seharusnya dari dulu, kita sudah mulai”, begitu Pak El menorehkan salam selamat datangnya kepada bayi Redaksi Mingguan KUPANG POS. Tetapi hanya setahun kemudian KUPANG POS pun mati, menyusul Pak El. Berbagai faktor penghambat mengganjal kelangsungan hidup KUPANG POS. Ada faktor internal seperti kurangnya Sumber Daya Manusia, modal,  prasarana dan sarana kerja. Tetapi yang paling berpengaruh adalah faktor eksternal yang berasal dari birokrasi dan politisi. KUPANG POS yang gencar mengeritik dan dikelola oleh yang non-Golkar, dipandang sebagai musuh yang harus dihabisi. Dan memang kisah KUPANG POS berakhir setelah ‘tulang-belulangnya’ diperebutkan oleh sejumlah pentolan birokrat, politisi serta ‘pencuri tulang’.

Proses kelahiran Mingguan KUPANG POS di atas, sesungguhnya memperlihatkan gaya kepemimpinan tipikal Pak El Tari, tentara yang menjadi pamong praja.  Semangat persaudaraan (broederschap) yang selalu didengungkan kepada semua pemimpin di NTT, tercermin dari ‘perintahnya’ untuk mendorong hadirnya koran di Kupang secara bersaudara tanpa mempersoalkan latar belakang seseorang.

Jika sekiranya di Hari Ulang Tahun ke-41 Propinsi NTT hari ini 20 Desember 1999, Pak El masih hidup, rasanya beliau akan menjadi salah seorang yang paling berbahagia. Karena ‘perintahnya’ yang penuh semangat persaudaraan 22 tahun yang lalu, telah menyemangati sejumlah wartawan dan bibit wartawan di NTT untuk memulai pekerjaan di penghujung 1992 menerbitkan Surat Kabar Harian Pertama di NTT, Surat Kabar Harian Pos Kupang. Dan dalam tempo yang relatif singkat, hanya tujuh tahun kemudian, telah lahir sedikitnya empat surat kabar harian di daerah ini, sebagaimana mimpinya Pak El. Pak El, doakan kami dari surga dan Selamat Ulang Tahun ke-41 NTT. (damyan godho)


Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 20 Desember 1999 hal 1

Iman vs Demokrasi Luar Biasa

Damyan Godho
TIDAK sedikit politikus yang ada di MPR/DPR berpandangan bahwa terpilihnya Amien Rais menjadi Ketua MPR-RI sah-sah saja meski Amien Rais berasal dari Partai Amanat Nasional, partai yang sangat kecil perolehan suaranya dalam Pemilu 1999. Juga ketika Akbar Tandjung menjadi Ketua DPR-RI meski partainya Akbar, Partai Golkar, hanya di urutan kedua. Dan rasanya, para politikus itu akan berpandangan yang sama, jika yang terpilih nanti menjadi Presiden RI 1999-2004, bukan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai peraih suara terbanyak, meski tidak mayoritas, dalam Pemilu 1999.

    Tetapi bagi rakyat kebanyakan, rangkaian 'peristiwa' di gedung MPR/DPR di atas, mengundang tanda tanya dan membingungkan. Bagaimana yang kalah jadi menang dan yang menang justru keok? Yang besar jadi kecil? Sebelum Pemilu, tidak ada "koalisi besar-besaran, tetapi kemudian ada kelompok "poros-tengah", Meski Pemilu bertujuan untuk memilih wakil rakyat, namun untuk kemenangan partai, nama calon presiden sudah dipajang jauh-jauh hari. BJ Habibie dipajang Partai Golkar, Yusril dari PBB dan Amien Rais dari PAN.     Hasilnya, semua orang sudah tahu. Namun di hari-hari ini PDIP dengan Megawati sebagai calon presiden dibikin tidak berarti. Konon "bakal digusur" dalam pertarungan menuju Istana Merdeka sehingga ada yang membaptis gaya demokrasi Indonesia sekarang ini sebagai "demokrasi luar-biasa". Yang kalah harus menang dan yang menang harus kalah. Yang tidak laku harus terjual. Itulah demokrasi luar biasa di Senayan, dua pekan terakhir ini!

    Maka tidak heran, dengan gaya demokrasi luar biasa ini bisa terjadi banyak hal luar biasa yang bisa mengguncang-guncang, terutama iman.

    Bayangkan, jika gaji anda rata-rata Rp 1 juta/bulan dan ketika terpilih menjadi anggota MPR tiba-tiba diam-diam disodok dengan tawaran Rp 5 miliar agar memilih si A untuk jadi presiden, bagaimana "iman"  anda? Bukankah jumlah itu sama dengan gaji setelah bekerja susah payah empat ratus tahun lebih, sementara umur mungkin hanya sampai 60 tahun. Ah, luar biasa tumpukan uang itu, luar biasa pula godaan yang mengguncangkan itu.

    Jadi, wajarlah jika banyak yang jadi curiga atau setidak-tidaknya berkesan luar biasa aneh dalam pemilihan Ketua MPR dan Ketua DPR. Yang hanya didukung sekian suara dalam Pemilu, bagaimana bisa meraih begitu banyak suara? Mengalahkan yang menang Pemilu? Jika hal demikian terjadi di zaman "demokrasi bulat Soeharto", oke. Atau, kalau toh sejumlah suara lari-lari, oke. Atau juga kalau semua partai membuka rahasianya buat rakyat, oke. Tetapi diam-diam yang kalah meraih kemenangan luar biasa, sungguh luar biasalah demokrasi Indonesia, paska reformasi.

    Lalu, bagaimana gerangan bayangan ke depan menjelang pemilihan presiden? Kalaulah benar, cerita burung tentang harga satu suara sekitar 5 miliar, bayangkan berapa triliun rupiah berhamburan dan melayang-layang serta menggedor-gedor menggoncangkan iman yang lemah. Dan tentu saja menjadi pertanyaan: dari mana uang sebanyak itu? Sudah pasti, yang tajam mata dan terutama punya iman dan hati nurani, entah siapa dia, bisa melihat hal yang luar biasa ini. Juga yang masih menderita, entah rakyat pedesaan, pengawai kecil, buruh, mahasiswa-demonstran, suami/ketika "demokrasi luar biasa" hasil Pemilu Reformasi. (damyan godho)
 

Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 11 Oktober 1999 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes