Damyan Godho |
Tetapi bagi rakyat kebanyakan, rangkaian 'peristiwa' di gedung MPR/DPR di atas, mengundang tanda tanya dan membingungkan. Bagaimana yang kalah jadi menang dan yang menang justru keok? Yang besar jadi kecil? Sebelum Pemilu, tidak ada "koalisi besar-besaran, tetapi kemudian ada kelompok "poros-tengah", Meski Pemilu bertujuan untuk memilih wakil rakyat, namun untuk kemenangan partai, nama calon presiden sudah dipajang jauh-jauh hari. BJ Habibie dipajang Partai Golkar, Yusril dari PBB dan Amien Rais dari PAN. Hasilnya, semua orang sudah tahu. Namun di hari-hari ini PDIP dengan Megawati sebagai calon presiden dibikin tidak berarti. Konon "bakal digusur" dalam pertarungan menuju Istana Merdeka sehingga ada yang membaptis gaya demokrasi Indonesia sekarang ini sebagai "demokrasi luar-biasa". Yang kalah harus menang dan yang menang harus kalah. Yang tidak laku harus terjual. Itulah demokrasi luar biasa di Senayan, dua pekan terakhir ini!
Maka tidak heran, dengan gaya demokrasi luar biasa ini bisa terjadi banyak hal luar biasa yang bisa mengguncang-guncang, terutama iman.
Bayangkan, jika gaji anda rata-rata Rp 1 juta/bulan dan ketika terpilih menjadi anggota MPR tiba-tiba diam-diam disodok dengan tawaran Rp 5 miliar agar memilih si A untuk jadi presiden, bagaimana "iman" anda? Bukankah jumlah itu sama dengan gaji setelah bekerja susah payah empat ratus tahun lebih, sementara umur mungkin hanya sampai 60 tahun. Ah, luar biasa tumpukan uang itu, luar biasa pula godaan yang mengguncangkan itu.
Jadi, wajarlah jika banyak yang jadi curiga atau setidak-tidaknya berkesan luar biasa aneh dalam pemilihan Ketua MPR dan Ketua DPR. Yang hanya didukung sekian suara dalam Pemilu, bagaimana bisa meraih begitu banyak suara? Mengalahkan yang menang Pemilu? Jika hal demikian terjadi di zaman "demokrasi bulat Soeharto", oke. Atau, kalau toh sejumlah suara lari-lari, oke. Atau juga kalau semua partai membuka rahasianya buat rakyat, oke. Tetapi diam-diam yang kalah meraih kemenangan luar biasa, sungguh luar biasalah demokrasi Indonesia, paska reformasi.
Lalu, bagaimana gerangan bayangan ke depan menjelang pemilihan presiden? Kalaulah benar, cerita burung tentang harga satu suara sekitar 5 miliar, bayangkan berapa triliun rupiah berhamburan dan melayang-layang serta menggedor-gedor menggoncangkan iman yang lemah. Dan tentu saja menjadi pertanyaan: dari mana uang sebanyak itu? Sudah pasti, yang tajam mata dan terutama punya iman dan hati nurani, entah siapa dia, bisa melihat hal yang luar biasa ini. Juga yang masih menderita, entah rakyat pedesaan, pengawai kecil, buruh, mahasiswa-demonstran, suami/ketika "demokrasi luar biasa" hasil Pemilu Reformasi. (damyan godho)
Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 11 Oktober 1999 hal 1