SUATU hari di bulan Agustus 1971. Saya bersama seorang sepupu saya menunggu opelet (baca: oplet, yaitu sejenis angkutan kota di Jakarta kala iatu yang karoserinya terbuat dari kayu). di Jl. Martaman Raya, Jakarta tak jauh dari kompleks RS St. Carolus. Saat berdiri menunggu, tiba-tiba bus Pelita Mas jaya, yang supirnya dan kondekturnya umumnya didominasi oleh moat-moat dari daerah Sikka, berhenti.
Berhamburan turunlah belasan orang berjubah putih dan beberapa di antara mereka bertopi mirip yang dipakai haji-haji. Tiba-tiba saudari sepupu saya yang baru dua minggu datang dai kampung di Lambaleda, Manggarai, Flores Barat, menyelutuk dengan dialek khas Lambaleda, "Oleee, mai nia mai frater siok ta kaka? Ae, diod frater ce'e Jakarta ho'ok (Hai, kakak, dari mana frater-frater itu? Kok, beda sekali frater di Jakarta ini)."
Mendengar celetukan spontan sepupu saya itu, saya tidak tahan tertawa geli lalu menjelaskan, "Orang-orang itu bukan frater (calon pastor/imam Katolik). Itu orang-orang Bangladesh atau bisa pula orang-orang Pakistan. Pakaian mereka umumnya memang begitu, mirip jubah yang biasa dipakai frater-frater atau pastor-pastor". Untuk lebih menyakinkan saudari sepupu saya yang masih mirip rusa masuk kampung itu, saya pun melanjutkan, "Frater-frater seperti di Flores itu kan selalu berpenampilan rapi, necis. Rambut tidak acak-acakan, tidak berewokan dengan jenggot lebat, kalau bepergian dengan jubah tapi tidak pakai sandal jepang/jepit seperti orang-orang yang baru turun dari bus itu. Di Flores, frater atau pastor itu kalau pergi ke mana-mana tidak mengenakan jubat tapi pakaian biasa. Meskipun pakai pakaian biasa seperti kita orang awam ini, baisanya merkea lebih tahu diri bila berada di tempat umum. Pokoknya, frater-frater biasanya tidak macam-macam di jalanan atau di mana saja mereka berada, kapan pun mereka beraktivitas dan dengan siapa mereka bergaul"
Hal itu jelaskan sebab penampilan orang-orang yang baru turun dari bus itu kelihatan kampungan sekali. Begitu mengingakkan kaki di trotoar, ada yang bercanda dan berjalan sambil mengangkat baji panjangan mirip jubah itu lewat lutut sehingga terlihat jelas paakaian dalammnya yang hanya celana pendek berbentuk segi tiga.
Dalam kesempatan lain pada tahun-tahun berikutnya, saya sering disuguhi pertanyaan-pertanyaan seputar orang-orang yang mengenakan jubah yaitu biarawan dan biarawati Katolik. Pertanyaan yang mirip diskusi kecil itu datang dari teman-teman mislimin dan milimat baik yang seprofesi dengan saya maupun tidak
Suatu hari, masih di Jakarta, di bulan Oktober 1984 - di sela-sela meliput suatu kegiatan - seorang wartawati berjilbab dari sebuah media massa cetak yang ktntal dengan warnanya yang dianut rekan wartawati itu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang saya nilai sangat mendasar. Rekanita jebolan sebuah pesantren di Jawa Timur ini tahu banyak tentang kehiduap selibat, tetangn kaul yang dijalani biawawn dan biarawatoi Katolik, tentang suster-suster yang ke mana-mana tetap mengenakan jubah sebagian pakaian 'kebesaran' sementara pastor tidak, tentang pengakuan dosa, hubungan antara biarawan dan biarawati dengan berbagai dampak yang mungkin, tentang hubungan antara mereka yang sudah diurapi sebagai imam dengan umat dan warga masyarakat yang lain jenis atau hubungan antara mereka yang sudah berkaul kekal dengan umat dan warga masyarakat lain jenis, serta macam-macam pertanyaan seputar kehidupan biarawan dan biarawati.
Pertanyaan-pertanyaan itu memang cukup memusingkan saya. Tetapi sebagai warga masyarakat awam yang peduli tentang semua itu, saya punya kewajiban moril menjelaskannya dan merasa wajib 'melindungi' orang-orang pilihan itu. Saya bersyukur bahwa saya juga punya bekal sedikit tentang semua itu sehingga saya bisa menjelaskan kepada rekanita seprofesi saya itu atau yang lainnya.
Menyangkut kaul, saya menceritakan tahapan-tahapan yang harus dilalui baik oleh calon biarawan maupun calon biarawati. Kaul-kaul itu diantaranya adalah kaul kesucian/kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan. Saya katakan, yang paling berat rata-rata dirasakan tiap calon biarawan/biarawati adalah kaul kesucian/kemurnian. "Kesucian dalam memelihara indera dan seluruh komponen tubuh. Atau dengan kata lain, bagaimana si calon itu mampu mengekang emosi dan nafsu manusiawi, mampu mengendalikan sensor motoriknya. Ini sangat berat sebab ini agak ke laur dari kodrat/naluri kemanusiaannya," kata saya, dengan maksud agar rekanita tadi lebih bisa menerima secara akali. Kemurnian itu, kata saya, sudah mulai dideteksi semenjak calon masuk di sekolah khusus, yaitu seminari untuk calon biarawan.
Tiba-tiba Reno Aysah, nama awrtawati berjilbab rekan saya asal Blitar, Jawa timur, tadi, menimpal, " Kalau yang calon biarawati itu saya kira mudah dideteksi. Tapi yang laki-laki itu khan sulit dideteksi." Ucapannya itu membuat saya kelinggungan menajwabnya. Sambil menarik napas panjang saya katakan, " Disinilah letak kejujuran orang itu. Selama ditempat persemaian, seminarium, ia harus sudah sadar bahwa ia akan hidup selibat. Karena itu, ia harus jujur terhadap diri sendiri. Jujur terhadap Tuhan, jujur terhadap sesama tidak saja terhadap kalangannya tapi juga terhadap kalangan lain, warga masyarakat agama lain. Pokoknya, kejujuran itu ia harus jaga sampai ia masuk ke liang lahat."
Namun, Retno memotong dengan berkata, "bagaimana dengan mereka yang sudah diurapi. Tetapi kemudian ternyata mengingkari kaulnya, khususnya kaul kesucian, dengan melakukan hal-hal yang bahkan lebih 'berani' menyimpang dari norma-norma dan adat kebiasaan masyarakat yang tidak atau jarang dilakukan kaum awam yang soleh atau saleha?"
Beruntung, pertanyaan Retno ini tidak sempat saya jawab karena suara panitia melalui loud speaker meminta para wartawan berkumpul untuk mengikuti konperensi pers. Bagaimanapun juga, pertanyaan Retno tidak mengada-ada. Pertanyaan itu muncul dari fakta yang fenomenal.
Betapapun masuk akalnya penjelasan-penjelasan diatas, penjelasan yang paling masuk akal adalah penjelasan oleh mereka yang menyandang predikat-predikat tadi yaitu, penjelasan yang tidak manipulatif, tapi penjelasan yang sesuai antara pilihan hidup dan pengejawantahan dalam hidup ini. Dan, pertanyaan Retno yang tidak sempat saya jawab, saya pulangkan juga kepada mereka yang menyandang predikat-predikat itu, yang berjubah. (marcel weter gobang)
Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin, 10 Januari 2000 hal 1