ilustrasi |
Memang sepanjang dasawarsa 1990-an, Indonesia mengalami masa paling berantakan. Bukan saja bencana alam, kita juga mengalami kehancuran ekonomi paling parah dengan jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar menyusul meningkatnya jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan yang konon mencapai 80 persen. Kita juga mengalami disintegrasi paling menakutkan dengan puluhan rumah ibadah dibakar, penjarahan toko-toko dan pemerkosaan, pembunuhan ratusan orang yang dituduh dukun, perang antarsuku dan agama, dari Sumba sampai ke Ambon, dari Kalimatan sampai ke Sulawesi.
Saya ketika itu sedang ditugaskan untuk melatih wartawan baru yang bertugas di Kediri Pos, sebuah koran yang diterbitkan oleh Harian Surya. Kesempatan ini saya pergunakan untuk mengunjungi seorang tokoh paranormal di perbatasan Kediri. Pernyataan saya cuma satu, "Siapa yang pantas menjadi Presiden RI keempat?"
"Menurut pendapat saya," ujarnya sesudah menatap saya dalam-dalam, "Gus Dur tidak bisa diandalkan karena keadaan kesehatannya. Wong jalan saja harus dipapah orang. Amien Rais agak tidak jelas, selalu berubah-ubah. Mega dan Habibie menurut saya sama, kedua-duanya sangat lemah. Yang harus jadi Presiden berikut kalau kita mau selamat mestilah ABRI".
"Apakah tidak akan terjadi masalah kekerasan karena kita semua tahu pendekatan ABRI selama ini terhadap masalah yang muncul?"
"Tidak ada masalah. Menurut perhitungan para ahli, justru orang Jawa ini harus sisa sepertiganya saja kalau mau negara bisa diurus dengan baik".
Saya tentu saja protes, seperti juga ketika saya mewawancarai Permadi untuk Surya di akhir tahun 1990. Ramalan Joyoboyo menurut pendapat saya hanya berlaku untuk orang Jawa saja. Tidak untuk seluruh Indonesia, dan dengan pemikiran Joyoboyo berarti tidak ada kesempatan untuk orang bukan orang Jawa seperti saya untuk menjadi presiden. Dan sang paranormal hanya tertawa. "Kita memang Indonesia, tetapi lebih dari separoh penduduk negara ini masih orang Jawa".
Dan beberapa hari lalu, Undang-Undang Keadaan Bahaya menimbulkan protes keras dari mahasiswa dan rakyat, dan seperti yang sangat ditakutkan dari undang-undang yang konon membuka peluang bagi berkembangnya militerisme di Indonesia, para mahasiswa dibantai tentara dan enam orang yang dilaporkan meninggal dunia di luar puluhan yang luka parah dan entah berapa yang hilang.
Masalah yang muncul tentang Timor-Timur, juga dikarenakan pendekatan kita selama seperempat abad ini adalah pendekatan sekuriti dan bukan budaya. Itulah sebabnya, kendati kita sudah membangun daerah tersebut habis-habisan dan membiarkan Timor NTT yang sduah ikut merdeka semenjak 1945 tetap saja melarat, dan kendati kemampuan sumber daya untuk menjadi sebuah negara tidak memadai, kebanyakan rakyat Timtim memilih merdeka.
Dalam tradisi Hindu yang cukup berpengaruh di Indonesia, memang raja dan tentara berada dalam satu kasta, yang berlainan dengan Cina di mana kedudukan tentara dianggap rendah karena merupakan orang bayaran. Dalam keadaan yang sedemikian kacaunya seperti sekarang ini dan yang masih akan terus berkembang, mungkin pengambilalihan kekuasaan oleh pihak militer bukanlah mustahil. (julius r siyaranamual)
Sumber: SKH Pos Kupang, Senin 27 September 1999 hal 1