Orang desa

SETINGGI-TINGGI bangau terbang, ke kubangan/perlimbahan juga ia kembali. Itulah peribahasa yang sering dikenakan kepada orang tidak lupa kampung asalnya dengan segala adanya budaya yang melingkupnya. Sejauh-jauh dia merantau, ke kampung juga ia kembali. Ya, orang yang tahu diri, betapa pun ia telah 'menjadi orang' ia tidak lupa akan kampung halaman tempat ari-arinya ditanam di kala baru keluar dari rahim ibunya. Ia tetap menghargai, menghormati, peduli dan mau dekat denga orang-orang di desanya betapapun mereka kuyu dan dekil. Ia tidak apatis terhadap mereka kendati budaya desa, cara berpikir orang desa yang pernah melekat pada diri seseorang telah terlebur dalam budaya dan cara berpikir baru, tetapi asli desa tidak mungkin terhapuskan dari benaknya.

    Sikap itu biasanya bertolak belakang dengan orang yang mentang-mentang. Mentang-mentang sudah mendapat pendidikan tinggi, mentang-mentang sudah menjadi pejabat ini pejabat itu lalu kampung dengan segala ketertinggalannya bersama sanak keluarga dan masyarakat yang masih berkutat dengan yang itu-itu saja sejak dari dulu, ia lihat dengan sebelah mata. Bahasa yang dipakainya pun bahasa pejabat dengan segala retorika bernuansa manipulatif.

    Salah satu hal yang masih melekat kuat pada orang desa adalah berpikir asosiatif. Bagi etnik atau subetik tertentu di NTT ini misalnya, sinyal yang diberikan alam atau binatang mempunyai makna tertentu. Kupu-kupu masuk ke ruang tamu pada malam hari punya makna tertentu. Misalnya, pertanda bakal kedatangan tamu. Atau kupu-kupu malam hari terbang langsung masuk kamar tidur juga punya arti tertentu, tanda bakal dapat berita sedih. Hal yang sama juga terhadap serangga belalang. Belalang sentadu yang masuk rumah pada malah hari mungkin tidak membawa sinyal apa-apa. Belalang dengan bentuk kaki panjang dan leher jangkung ini dipakai sebagai lelucon. Tetapi kalau malam hari belalang hijau dengan kepala bentuk kerucut masuk rumah bukan pada musimnya, pertanda kurang baik.

    Berpikir asosiatif memang masih monopoli orang-orang desa. Tapi dari contoh di atas, berpikir asosiatif masih berlaku pada orang-orang terpelajar yang rasional.

    Kembali pada belalang. Petani sudah bisa membaca apa yang bakal terjadi seandainya serombongan belalang jenis tertentu menghinggapi tanaman ladangnya. Bagi petugas penyuluhan pertanian (PPL) juga sudah bisa membaca hahaya apa yang akan menimpa petani kalau belalang jenis tertentu itu menumpuk di atas daun-daun tanaman. Petani paham akan bahaya itu karena pengalamannya Sedangkan PPL paham karena referensi ilmu yang pernah diperolehnya dalam pendidikan formal. Dan, untuk bahaya belalang itu, mereka sama-sama peduli.

    Begitulah kira-kira yang terjadi di Sumba Timur. Petani dan orang pertanian berteriak. Sayang, teriakan mereka hanya setengah didengar. Tatkala serangan hama belalang merambah sampai ke rumah-rumah pejabat barulah kepedulian datang. Masyarakat dikerahkan ramai-ramai menangkap belalang. Upahnya, beras.

    Kini, apa jadinya? Kita berkutat seputar diksi lapar dan rawan pangan. Sementara orang desa masuk hutan mencari iwi tetap dianggap budaya. Itulah kepedulian kita terhadap orang desa. Kita yang masih berkutat pada diksi lapar dan rawan pangan, barangkali ada baiknya tidak lupa desa, kampung halaman. Bukankah orang kota bergantung pada orang desa? Apa jadinya orang kota tanpa petani-petani di desa? (marcel weter gobang)

Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 15 November 1999 hal 1

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes