Oleh Dion DB Putra
I. Pengantar
Suatu kehormatan bagi kami untuk menjadi salah seorang nara sumber dalam forum Bimbingan Teknis Penyuluhan Hukum tahun 2006 yang diselenggarakan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Propinisi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bagi kami forum ini lebih tampan dilukiskan sebagai kesempatan berbagi pengalaman (sharing), bukan forum untuk “mengajari” Ibu/Bapak sekalian tentang hukum, apalagi aspek penyuluhannya. Kami tidak dalam kompetensi seperti itu. Anda semua dalam bidang tugas masing-masing tentunya lebih memahami cara memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang dilayani.
Sesuai permintaan penyelenggara kegiatan ini, kami membuat beberapa catatan tentang “Peranan Media Massa dalam Penyuluhan Hukum”. Sebagian besar catatan ini mengacu pada pengetahuan dan pengalaman keseharian kami sebagai wartawan media massa cetak (Surat Kabar Harian Pos Kupang). Materi ini sekadar pengantar untuk kita mendiskusikannya lebih jauh dalam spirit berbagi pengalaman.
II. Peranan media massa
Media massa, baik media massa cetak maupun elektronik di belahan dunia manapun memiliki fungsi dan peranan yang kurang lebih sama. Sering dikatakan pers atau media massa memiliki empat fungsi dan peranan yang menonjol yaitu sebagai media informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertain) dan menggugah atau mempengaruhi (to influence).
a. Memberikan informasi.
Media massa memberikan informasi (to inform), entah informasi tentang peristiwa yang sedang terjadi, gagasan atau pikiran seseorang. Orang membaca surat kabar (koran), majalah, menonton televisi, mendengar radio atau mengakses media online terutama karena mereka ingin mencari informasi yang dibutuhkannya. Misalnya, informasi tentang lapangan kerja, informasi tentang cuaca, kesehatan, lembaga pendidikan berkualitas, informasi bisnis dan sebagainya.
Hadirlah surat kabar harian (koran), mingguan, majalah bulanan, radio, televisi. Ada media yang bersifat umum, artinya media tersebut menyajikan informasi dalam cakupan yang luas. Ada juga media yang membatasi penyajiannya untuk soal-soal khusus. Misalnya, koran bisnis/ekonomi, majalah hukum dan kriminalitas, majalah politik, televisi berita (CNN, Metro TV) dll. Sering dikatakan media merupakan sumber informasi publik.
b. Mendidik
Media massa melakukan edukasi (to educate). Lewat pemberitaannya, media massa ikut memberi pencerahan, mencerdaskan dan menambah wawasan khalayak pembaca, pendengar atau pemirsanya. Dalam konteks hukum, pers menyadarkan mereka akan hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat maupun sebagai warga negara. Dalam kenyataan sehari-hari, tidak sedikit orang yang tidak tahu apakah sesuatu sudah menjadi produk hukum positif atau belum. Mereka tidak menghiraukannya dan baru merasakan atau memikirkannya apabila telah melanggar hingga merasakan akibat pelanggaran tersebut. Mereka baru merasakan adanya hukum apabila kepentingannya dibatasi oleh peraturan hukum yang ada. Di sinilah pers atau media massa ikut memberikan pencerahan, memberi tuntunan.
c. Menghibur
Media massa juga menghibur (to entertain). Hal hal yang bersifat menghibur sering Anda temukan di media massa seperti berita seputar selebritis, cerita tentang gaya hidup, hobi komunitas, dll. Sulit dipungkiri bahwa media massa sudah merupakan panggung tontonan. Media dikemas serba entertain, populer. Kecuali menarik juga menghibur. Unsur entertain sangat menonjol di media elektronik terutama televisi. Media massa cetak juga menyajikan hal-hal yang menghibur itu tapi dengan pola kemasan yang berbeda.
d. Mempengaruhi (kontrol sosial).
Media massa menggugah atau mempengaruhi (to influence). Media yang independen dan bebas dapat mempengaruhi dan melakukan fungsi kontrol sosial (social control). Yang dikontrol bukan cuma penguasa, pemerintah, parlemen, institusi pengadilan, bisnis, militer, institusi hukum tetapi juga berbagai persoalan di dalam kehidupan masyarakat. Dia menjadi “anjing penjaga” yang terus menggongong. Media massa juga menggugah perhatian dan perasaan khalayak terhadap suatu permasalahan yang sedang terjadi. Misalnya, mengangkat fenomena tingginya anak usia sekolah di NTT yang terpaksa bekerja karena kesulitan ekonomi keluarganya. Dengan mengungkap realitas itu diharapkan muncul perhatian atau bantuan konkrit dari berbagai pihak yang peduli.
III. Perintah UU Pers
Bagi media massa di Indonesia atau insan pers nasional, fungsi dan peranannya sudah digariskan secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 3 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 disebutkan, pers nasional mempunyai fungsi sebagai:
a. Media informasi
b. Pendidikan
c. Hiburan
d. Kontrol Sosial.
Disamping fungsi-fungsi tersebut (ayat 1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. UU No. 40 Tahun 1999 juga menegaskan secara khusus tentang peranan pers. Dalam pasal 6 UU tersebut dikatakan pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) serta menghormati kebhinekaan;
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Penjelasan tentang pasal 6 tersebut lebih menekankan lagi peranan pers nasional. Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.
Kiranya sangat jelas perintah UU tersebut bagi pekerja media massa di Indonesia. Insan pers nasional menjalankan fungsi dan peranan yang sangat mulia meskipun pelaksanaannya bukan perkara sepele. Dan, tepatlah bila forum Bimbingan Teknis Penyuluhan Hukum yang diselenggarakan Kanwil Departemen Hukum dan HAM NTT tahun 2006 ini memandang penting peranan media massa untuk ikut mendorong terciptanya masyarakat sadar hukum di daerah ini. Masyarakat yang tahu hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat yang terikat dengan norma sosial/hukum.
IV. Penyuluhan hukum
Penyuluhan hukum bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat kita. Penyuluhan hukum sudah berlangsung lama yaitu sejak masa pemerintahan Orde Baru. Penyuluhan hukum giat dilaksanakan pemerintah sejak awal tahun 1980-an dan masih berlangsung sampai sekarang. Masyarakat kita tidak asing lagi dengan istilah Kadarkum (Keluarga Sadar Hukum) atau Desa Sadar Hukum. Tetapi apakah masyarakat kita sudah sadar hukum?
Pertanyaan ini tampak sederhana saja, namun jawabannya bisa sangat panjang dan berliku. Sebagaian besar warga masyarakat kita baru menyadari pentingnya hukum ketika ia berurusan dengan persoalan hukum.
Baru sadar bila terkena kasus hukum. Itulah sebabnya tidak sedikit pula mereka yang menjadi korban karena ketidaktahuannya tentang hukum.
Dengan demikian penyuluhan hukum sangatlah penting dan tidak boleh berhenti. Dan menjadi penyuluh hukum adalah pekerjaan yang mulia! Penyuluhan hukum tentunya diarahkan kepada terwujudnya pengetahuan masyarakat tentang hukum dan terwujudnya perilaku masyarakat menurut hukum.
Tujuannya meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum, meningkatkan kepatuhan hukum dan memberikan akses informasi hukum kepada masyarakat. Banyak cara yang ditempuh seperti melalui forum tatap muka, panel diskusi, seminar atau lewat media cetak dan elektronik serta multi media.
V. Bukan isu yang tampan
V.1. Sosialisasi produk hukum?
Idealnya media massa menjalankan fungsi dan peranannya sebagaimana tertuang dalam UU No.40/1999. Namun, perlu dikatakan dengan jujur dalam forum ini bahwa peranan itu belum optimal dilaksanakan. Sesuai amanah UU Pers, salah satu peranan media adalah memenuhi rasa ingin tahu masyarakat. Maka media seharusnya terlibat aktif mensosialisasikan setiap produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada publik (masyarakat).
Kenyataanya tidak semudah itu. Sosialisasi hukum (bisa juga dibaca: penyuluhan hukum) bukanlah isu yang tampan atau seksi bagi pengelola media massa, baik cetak maupun elektronik. Isu tersebut belum menjadi perhatian utama media massa nasional dalam kebijakan redaksionalnya. Nasibnya kurang lebih sama dengan isu lingkungan atau pemberdayaan ekonomi rakyat melalui program usaha kecil dan menengah (UKM) atau koperasi. Nilai beritanya sangat kecil.
Mengapa demikian? Kiranya disadari bahwa pers senantiasa berpijak pada prinsip “bad news is a good news”. Hadirnya suatu produk hukum yang baru barangkali tetap diberitakan pers, tetapi porsinya sangat kecil dan sekadar informasi di permukaan. Media tidak mengungkap substansinya secara mendalam. Porsi yang kecil akan kecil pula pengaruhnya terhadap khalayak.
Media massa umumnya merasa rugi bila kolom atau program acaranya hanya dipakai untuk mempublikasikan produk hukum atau perundang-undangan. Itu dipandang sebagai pekerjaan instansi yang lebih berkompeten seperti Departemen Hukum dan HAM atau institusi hukum lainnya.
Kalau sekadar sosialisasi produk hukum, maka tempatnya di media massa dikenal sebagai iklan layanan masyarakat (advertorial). Hal ini tentu membutuhkan dana atau biaya, sesuatu yang mudah dipercakapkan tetapi tidak enteng diwujudkan karena beragam kendala dan keterbatasan.
V.2. Aplikasi hukum, bidikan media!
Media massa cenderung bergerak pada aplikasi hukum dalam kehidupan masyarakat. Untuk yang satu ini peranan media sangat menonjol. Anda tentunya tidak asing dengan berita surat kabar, majalah, televisi atau radio tentang beragam kasus hukum. Misalnya, berita tentang pencuri sandal jepit yang dihukum 2 tahun penjara, berita tentang bebasnya koruptor kelas kakap. Berita pembunuhan, perkosaan, pencemaran nama baik, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan oleh petugas LP terhadap narapidana dan sebagainya. Singkatnya, media massa menyajikan berita berita aktual dari berbagai isu. Hal itu menunjukkan bahwa media memiliki kontribusi yang tidak kecil dalam mendukung proses pembangunan demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia serta terwujudnya penegakan hukum yang adil.
Salah satu agenda besar reformasi adalah meminimalisir praktek KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Maka dapat dimengerti bila media massa nasional cukup intens mengungkap kasus-kasus korupsi serta penyimpangan lainnya. Dengan memberitakan masalah tersebut, media melaksanakan perannya seperti tertuang dalam Undang undang Pers 40/1999 yaitu melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Media juga membentuk pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Masih segar dalam ingatan kita kasus hukum yang melanda Tibo cs, tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso yang telah dieksekusi akhir bulan September lalu. Selama berbulan-bulan kasus itu menjadi liputan utama media massa nasional bahkan mendapat perhatian cukup besar dari komunitas masyarakat internasional. Media massa mengembangkan pendapat umum dengan mengangkat kembali proses peradilan terhadap Tibo cs, tahapan hukum yang telah diupayakan serta vonis hukuman mati yang harus mereka jalani.
Media memberi ruang yang lebih dari cukup tentang masalah tersebut. Terjadi polemik. Muncul simpati dan antipati. Ada sikap pro dan kontra. Demonstrasi di mana-mana. Bahwa pada akhirnya Tibo cs tetap dieksekusi, hal itu soal kepastian hukum. Tetapi masyarakat setidaknya mendapat gambaran yang cukup tentang adil tidaknya proses hukum terhadap Tibo cs, tentang prosedur hukum yang masih bisa ditempuh, tentang konsekwensi dan implikasi hukum bila seseorang divonis mati dan masih banyak hal lainnya.
Contoh lain adalah kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP). Media massa nasional sejak awal melakukan koreksi dan kritik terhadap RRU tersebut sebelum diundangkan. Sikap protes atau keberatan masyarakat terhadap RUU APP tertuju pada sejumlah ketentuan yang dapat merugikan suatu kelompok masyarakat tertentu di Indonesia dan menguntungkan kelompok masyarakat lainnya. Sementara prinsip hukum harus berlaku sama dan adil untuk semua orang. Media berperan besar dalam menggugah kesadaran masyarakat Indonesia untuk memperjuangkan haknya. Dapat juga disebut hadirnya UU Perlindungan Saksi antara lain berkat kontribusi media massa yang terus-menerus mempublikasikannya.
Di tingkat lokal NTT, media massa pun tidak tinggal diam. Banyak peraturan daerah (Perda) yang merugikan kepentingan masyarakat dibuka menjadi konsumsi publik. Media menunjukkan hal-hal yang tidak rasional dan memberatkan masyarakat. Media menghimpun pandangan mereka. Wacana yang dibangun media mendapat tanggapan dari pemerintah sehingga ada sejumlah Perda ditunda pemberlakuannya. Media massa juga cukup konsisten mengkritisi produk hukum yang kontrapoduktif bagi pengembangan investasi di daerah serta urusan lainnya. Dalam praktek, media massa sering menjadi benteng terakhir bagi warga masyarakat untuk memperjuangkan keadilan.
VI. Manfaatkan media
Lantas, bagaimana memanfaatkan media untuk menggolkan tujuan penyuluhan hukum? Apakah mungkin memanfaatkan kekuatan media massa untuk mensoalisasikan hukum kepada masyarakat?
Media menyiapkan kolom/space untuk itu. Artinya sosialisasi itu tidak datang semata-mata dari pihak media, tetapi Anda sendiri proaktif melakukannya. Misalnya dengan menulis artikel di media massa. Anda menjelaskan duduk soalnya secara baik, sehingga masyarakat memperoleh gambaran yang benar dan utuh tentang implikasi dari suatu produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagaimana sebaiknya?
Bagaimana kita merajut hubungan dua kubu yang berbeda? Media massa di satu pihak dan pemerintah di pihak yang lainnya. Adakah 'jembatan' menuju tujuan bersama? Adakah 'benang merah' yang bisa dipilin tanpa mencederai tugas dan peranan masing-masing? Benang merah itu jelas ada karena kedua pihak melayani/mengabdi kepada pihak yang sama yaitu masyarakat, rakyat, publik.
Pers melayani publik sesuai fungsinya sebagai media informasi, pendidikan dan kontrol sosial. Pers tidak bekerja di hutan rimba secara liar. Ada ketentuan hukum yang mengikatnya. Pemerintah pun melayani publik sesuai ketentuan yang berlaku. Yang berbeda cuma soal cara. Di sinilah titik pijak untuk membangun komunikasi yang positif dan saling mendukung satu sama lain.
Pengalaman kami menunjukkan, rekan-rekan dari unsur pemerintah belum sepenuhnya tahu bagaimana cara mendekatkan diri dengan media massa dan bagaimana memanfaatkan kekuatan media untuk meningkatkan citra daerah, menjual potensi daerah demi pengembangan ekonomi, pembangunan dalam pelbagai bidang.
Asal tahu saja, kemenangan pasangan SBY-JK pada Pilres 2004 bukan karena mereka lebih berkualitas dari empat paket calon yang lain. Salah satu faktor kunci kemenangan SBY-JK adalah cerdas memanfaatkan kekuatan media massa untuk meningkatkan citra diri. Pencitraan SBY-JK melalui media sebagai pembawa berubahan dalam jargon "Bersama Kita Bisa" terbukti ampuh. SBY-JK menang telak.
Bagaimana memanfaatkan media, beberapa tips berikut ini mungkin dapat dipertimbangkan.
a). Hilangkan fobia bahwa media massa hanya menggarap berita tentang kelemahan pemerintah. Bahwa media melakukan kontrol sosial itu sudah kewajibannya sesuai perintah UU. Toh tidak semua media menggelorakan jurnalisme perang. Banyak media yang sejuk-bernafaskan jurnalisme damai. Anda bisa memilah-milah dan memilih mana yang layak dipercaya dan perlu memanfaatkan kekuatannya.
b). Proaktif menjalin komunikasi dengan wartawan, pimpinan media massa. Tidak salah jika mengenal secara pribadi. Dengan saling kenal niscaya Anda akan lebih mudah mengkomunikasikan pesan pemerintah. Anda mendapat kesempatan yang cukup untuk memberikan penjelasan tentang sesuatu. Di sana ada ruang diskusi, ada keterbukaan. Saling pengertian.
c). Tidak saatnya lagi Kepala Bagian Humas/Kepala Biro Humas, Kepala Badan atau Dinas Infokom atau apapun predikatnya menunggu ditemui wartawan, merasa diri penting, dibutuhkan. Tinggakan cara berpikir seperti itu. Di beberapa tempat, pertemuan periodik dengan insan pers masuk dalam agenda kerja bagian Humas atau Badan Infokom. Namanya bisa "minum kopi bersama" atau kongkow-kongkow. Dalam forum ini seorang bupati bicara apa saja tentang daerahnya. Ada yang ditulis, ada yang cuma informasi bagi pengelola media agar mereka dapat mengerti duduk perkara suatu masalah. Bahkan dia dapat memperoleh masukan berharga dari pengelola media bagaimana seharusnya menyikapi suatu problem sosial. Budaya seperti itu belum tercipta di NTT. Bupati/Gubernur di sini masih merasa bahwa dialah yang dibutuhkan wartawan. Maaf saja, cara berpikir demikian bergaya feodal. Tidak cocok lagi dengan dunia yang terus berubah amat cepat.
d). Tugas aparat Humas tidak sebatas kliping koran. Menumpuk bundelan koran/majalah. Diperlukan pengetahuan dan keterampilan membaca atau mengalisa kliping koran/majalah, siaran radio dan televisi serta menarik implikasinya dengan kondisi setempat. Syaratnya policy maker tertinggi di daerah perlu menerapkan prinsip manajemen: the right man on the right place. Menempatkan personel di bagian Humas atau Badan Informasi dan Komunikasi secara tepat. Tenaga profesional mungkin masih jauh-- tetapi setidaknya dia memiliki hasrat untuk belajar, menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan di bidang kehumasan dan teknologi informasi.
f). Idealnya Humas/Badan Infokom menjadi pusat data dan informasi pemerintah daerah yang mudah diakses oleh siapapun dalam semangat globalisasi. (Pemkab Ende misalnya sudah memiliki website sendiri, tetapi mohon maaf data dan informasinya cukup lama baru diperbarui). Menjadi pusat data menuntut adanya sarana dan prasarana kerja yang memadai. Menurut pandangan kami, jaringan internet mutlak ada di ruang kerja Humas/Badan Infokom. **
Sumber: Materi ini saya sampaikan dalam forum Bimbingan Teknis Penyuluhan Hukum Tahun 2006 yang diselenggarakan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM NTT di Hotel Charvita Kupang, hari Rabu tanggal 15 November 2006. Saya diundang sebagai pembicara dalam kapasitas sebagai Pemimpin Redaksi SKH Pos Kupang.