Oleh Dion DB Putra
Alas kata
Kejatuhan Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru tahun 1998 melahirkan kondisi paradoks bagi dunia kewartawanan di Indonesia. Iklim kebebasan yang didorong oleh semangat Reformasi 1998 menempatkan insan pers nasional pada dua kondisi sekaligus, sukacita sekaligus sedih dan memalukan.
Sukacita karena regulasi yang super ketat berakhir. Institusi pers muncul bagaikan jamur di musim hujan karena proses perizinan sangat ringan. Asalkan punya dana, siapa pun dapat membangun media baru, entah media massa cetak maupun media elektronik. Menjadi wartawan bahkan pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana begitu enteng.
Hari ini si A bekerja sebagai tukang ojek atau sopir angkot, besok dia bisa langsung "naik status" menjadi redaktur. Bermodalkan kartu pers dari institusinya, dia mencari berita ke mana saja tanpa didukung keterampilan dan pengetahuan yang memadai dan terutama memahami dan melaksanakan prinsip dan nilai-nilai dasar kewartawanan.
Kebebasan yang tak terkendali itu menjadikan wartawan sebagai profesi yang memalukan. Sebagian kalangan masyarakat menilai wartawan adalah profesi yang tidak patut dipercaya dan dihargai karena mengabaikan kode etik jurnalistik, bekerja sembrono dan tidak membawa pencerahan. Cukup banyak kejadian seseorang mengaku wartawan tetapi pekerjaan utama justru "memeras" nara sumber. Banyak istilah yang populer semisal Wartawan Bodrex, WTS (Wartawan Tanpa Suratkabar), Wartawan Preman dan lain-lain.
Wartawan yang kerap diagung-agungkan sebagai bukan pekerja biasa, seorang pekerja intelektual, seorang profesional seperti halnya perawat, dokter atau advokat -- "hilang martabatnya" di Indonesia. Banyak kalangan lalu mempertanyakan dengan serius apa dan bagaimana wujud kompetensi wartawan. Standar kompetensi menjadi kebutuhan.
Dan, insan pers nasional sedang bergerak menuju ke sana. Setidaknya dalam lima sampai enam tahun terakhir, Dewan Pers sangat intens menggelar diskusi, seminar atau workshop tentang masalah tersebut dan telah menerbitkan buku Kompetensi Wartawan pada tahun 2004, sesuatu yang disambut dengan baik pengelola media massa di tanah air. Tetapi pelaksanaannya masih merupakan tanda tanya besar. Masih banyak media massa cetak maupun elektronik di tanah air yang cenderung mengabaikan standar kompetensi.
Boleh jadi karena memang buku tersebut bukan titik akhir. Belum dapat dikatakan sempurna sehingga diskusi tetap menjadi sesuatu yang penting sebagaimana diselenggarakan Dewan Pers di Kupang, tanggal 19 Juli 2007. Forum diskusi merupakan momentum untuk memperkaya, memperdalam dan mempertajam rumusan tentang kompetensi wartawan. Melalui diskusi kita bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan. Apa yang kami sampaikan dalam makalah ini lebih banyak merupakan percikan pengalaman sehari-hari di lingkungan SKH Pos Kupang. Pengalaman konkret yang kami coba beberkan apa adanya.
Kompetensi wartawan
Apa yang dimaksud dengan kompetensi wartawan? Tentu banyak definisi yang bisa diajukan. Dewan Pers telah memberikan rumusan yang sangat bagus yaitu kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.
Kompetensi tersebut mencakup penguasaan keterampilan (skill), didukung pengetahuan (knowledge) dan dilandasi kesadaran (awareness) yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsi jurnalistik. Kompetensi ditentukan sesuai unjuk kerja yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan media, dipersyaratkan oleh institusi media (perusahaan pers) dan diakui oleh asosiasi wartawan.
Kompetensi jelas berbeda dengan seperangkat hukum yang bersifat mengikat. Kompetensi wartawan merupakan informasi yang penting diketahui oleh calon wartawan, wartawan, asosiasi wartawan dan perusahaan pers .
Secara singkat dapat dikatakan ada tiga aspek mendasar yang berkaitan dengan kompetensi wartawan yaitu:
1. Kesadaran (awareness). Mencakup kesadaran tentang etika, hukum dan karir.
2. Pengetahuan (knowledge), mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan.
3. Keterampilan (skill), mencakup keterampilan mengumpulkan bahan berita melalui observasi, wawancara, riset, investigasi, menggunakan berbagai peralatan seperti komputer, kamera, faksimil dan sebagainya. Seorang wartawan juga dituntut terampil menulis atau melaporkan berita.
Ternyata tidak mudah mencapai kompetensi wartawan sebagaimana rumusan umum tersebut di atas. Pengalaman memperlihatkan, keterampilan (skill) cenderung lebih mudah dibentuk ketimbang membangun kesadaran dan memperkaya pengetahuan seorang jurnalis. Seseorang dengan keterampilan luar biasa, justru lemah dalam hal kesadaran akan etika, hukum dan karir. Berita hasil garapan wartawan dengan tipe semacam ini menuai kecaman dan kritik dari publik bahkan sampai dengan proses hukum. SKH Pos Kupang pernah mengalami situasi seperti itu dalam sejarahnya sejak tahun 1992. Bahkan gugatan hukum jauh lebih marak pada periode pasca kejatuhan Orde Baru.
Mendapatkan wartawan dengan tingkat pengetahuan yang memadai pun bukan perkara gampang. Lulusan Fakultas Komunikasi atau Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (program studi/jurusan jurnalistik) tidak otomatis akan menjadi seorang wartawan dengan kinerja dan reputasi baik. Mungkin dia memiliki cukup dasar pengetahuan jurnalistik, tetapi tidak serta-merta sesuai untuk bidang tugas redaksional SKH Pos Kupang.
Mengapa demikian? Permasalahannya sangat kompleks. Perkembangan masyarakat yang begitu lekas tak sanggup diadaptasi dengan cepat pula oleh awak redaksi. Barangkali hal seperti ini bukan pengalaman Pos Kupang saja. “Penyakit” klasik wartawan adalah merasa “sudah tahu semua” sehingga malas membaca, tidak bergairah untuk terus menimba pengetahuan baru. Sebagai pekerja interlektual, karya seorang jurnalis terukur. Pembaca atau permirsa tahu siapa wartawan yang tidak pernah berhenti belajar dan siapa wartawan yang mapan.
Secuil pengalaman
Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang yang hadir di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak tanggal 1 Desember 1992 mengalami pengalaman pasang surut dalam mendidik wartawan. Lima tahun pertama merupakan masa-masa yang sangat sulit. Wartawan datang dan pergi dalam jumlah yang hampir sama banyak.
Sejak awal, para pendiri koran harian pertama di NTT ini memberikan beberapa rambu-rambu ketika melakukan rekruitmen wartawan. Poin pertama adalah minat dan motivasi seseorang memilih pekerjaan sebagai wartawan. Kedua, watak baik. Ketiga, pengetahuan dan terakhir keterampilan jurnalistik. Keempat aspek tersebut menjadi pedoman umum bagi manajemen Pos Kupang sampai sekarang karena masih relevan dengan kondisi di wilayah pengabdian SKH Pos Kupang sebagai “Suara Nusa Tenggara Timur”.
A. Minat dan motivasi.
Unit Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Pos Kupang selalu menggali sedalam-dalamnya tentang minat dan motivasi seseorang ketika dia mengikuti tes atau seleksi menjadi wartawan. Proses itu sudah dimulai sejak wawancara dan diperkuat dengan psikotes. Kepada calon wartawan ditanya sedemikian rupa sehingga mendapatkan gambaran tentang minat dan motivasinya terjun ke dalam dunia kewartawanan. Memang tidak seratus persen mendekati ideal, tetapi pengalaman empirik membuktikan seseorang dengan minat yang besar serta motivasi yang kuat terhadap kewartawanan lebih loyal dan bertahan dalam profesi ini.
Pembuktian terhadap minat dan motivasi seorang calon wartawan umumnya segera kelihatan pada tahun pertama sampai tahun ketiga dia bergabung. Kami sudah kerapkali menghadapi kenyataan pahit. Profesi wartawan sekadar menjadi “batu loncatan” untuk beralih ke pekerjaan lain. Yang paling populer dan primadona di Propinsi NTT adalah meniti karir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tercatat lusinan mantan wartawan Pos Kupang yang sekarang menjadi PNS. Berawal dari dunia wartawan, seseorang memiliki akses yang luas dan berpengaruh terhadap pengambil kebijakan di lingkungan birokrasi. Dia dikenal sehingga mudah masuk ketika mengikuti test masuk CPNSD. Ada pula yang beralih ke bidang pengabdian lain seperti politisi (menjadi anggota DPRD, dll).
Ujian terhadap minat dan motivasi pun mudah dilihat dalam kesehariannya sebagai jurnalis. Ada wartawan kami yang bertipe “penyerang total”. Dia cenderung memandang segala soal dari sisi negatif semata. Pandangannya tidak berimbang – sesuatu yang jelas melanggar prinsip dasar jurnalistik. Berita baik bukan dianggap berita. Komplain pembaca Pos Kupang menjadi sesuatu yang lumrah bahkan wartawan yang bersangkutan menghadapi teror fisik dan mental. Manajemen Pos Kupang harus memutasikan ke daerah yang baru sebagai salah satu solusi. Mengutip pedoman Kompetensi Wartawan yang dirumuskan Dewan Pers, wartawan dengan ciri semacam ini tidak memiliki kesadaran (awarness) akan etika, hukum dan karirnya.
B. Watak baik.
Di lingkungan SKH Pos Kupang berlaku adagium: Orang pintar mudah dicari. Tapi tak gampang menemukan yang berwatak baik. Poin kedua ini terkait erat dengan yang pertama di atas. Boleh jadi seorang calon wartawan memiliki minat dan motivasi yang baik tetapi percuma kalau tidak ditopang oleh watak yang baik. Kejujuran merupakan tuntutan mutlak dan jelas sanksinya dalam ketentuan peraturan perusahaan.
Orang bisa pintar dan mahir asalkan dia mau belajar sungguh, tetapi mengubah watak adalah pekerjaan yang rumit. Pos Kupang memecat wartawan/karyawan yang tidak jujur. Sudah banyak yang dipecat karena melanggar ketentuan tersebut. Ada yang dipecat gara-gara meminta uang Rp 25 ribu dari narasumber. Hasil penelusuran menemukan sikap seperti itu sudah menjadi kebiasaannya hanya narasumber tidak berani melapor. Pada akhirnya ketahuan dan ada bukti dan saksi sehingga yang bersangkutan di-PHK.
Manajemen Pos Kupang pernah mem-PHK dua orang karyawan yang kedapatan menipu uang Rp 23 ribu. Ada pembelian barang seharga Rp 53 ribu. Angka 5 diubah menjadi 8 sehingga jumlahnya menjadi Rp 83 ribu. Dari sisi investasi SDM, manajemen mengalami kerugian tak ternilai karena karyawan yang bersangkutan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sangat bagus untuk kebutuhan perusahaan. Tetapi manajemen berpinsip: untuk apa memelihara pencuri?
C. Pengetahuan.
Pengetahuan seseorang berkaitan dengan latar belakang pendidikan. Sejak awal Pos Kupang tidak mematok pendidikan khusus untuk menjadi wartawan. Manajemen Pos Kupang merekrut calon wartawan dari semua latar belakang pendidikan. Syaratnya minimal S1 (Strata 1). Untuk calon wartawan dengan pengalaman nol tahun, usia maksimum 27 tahun dan belum menikah. Konvensi yang berlaku di lingkungan Pos Kupang, sekurang-kurangnya dua tahun bekerja baru boleh menikah. Ada pengecualian bagi calon wartawan yang sudah berpengalaman. Tetapi usianya tidak lebih dari 35 tahun.
Dalam proses seleksi, seorang calon wartawan sekurangnya melewati tahap seleksi kelengkapan administrasi, wawancara, psikotes dan ujian tertulis. Ujian tertulis diperlukan untuk mengetahui kadar pengetahuan mereka. Mata pelajaran utama antara lain, bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Pengetahuan Umum. Pertanyaan bersifat terbuka dan tertutup. Hasil ujian tertulis menentukan seseorang dinyatakan lulus atau tidak disamping hasil tes aspek-aspek yang lainnya.
D. Keterampilan.
Jika melewati ujian itu, seorang calon reporter akan memasuki masa pelatihan. Pada tahap inilah Pos Kupang membetuk keterampilan jurnalistiknya. Pelatihan berlangsung selama satu bulan penuh dari pukul 08.00 - 18.00 Wita. Dalam praktek, biasanya bisa berlangsung sampai malam hari. Teori 20 persen, 80 persen praktek.
Pengalaman kami menunjukkan, banyak calon reporter gugur pada pekan pertama. Selain karena tidak tahan secara fisik, mereka tak kuat mental menghadapi pekerjaan jurnalistik yang bakal dijalaninya. Ada hal-hal yang mengejutkan mereka, mengubah pandangan mereka tentang dunia kewartawanan.
Setelah lolos pelatihan selama satu bulan, seorang calon reporter bisa mulai bekerja dengan masa magang 6 bulan. Setelah enam bulan masa magang, barulah seorang bisa disebut reporter SKH Pos Kupang. Tentu saja perlakuan berbeda jika wartawan yang direkrut sudah berpengalaman. Biasanya kepada kelompok seperti ini yang utama adalah menanamkan kesadaran dan tanggung jawab profesinya serta bagaimana seharusnya sikap seorang wartawan sesuai standar yang digariskan lembaga Pos Kupang serta norma yang berlaku umum.
Sejumlah upaya kecil
Menyadari kompetensi sebagai kebutuhan, terutama pada masa “pers kebablasan” karena eforia Reformasi 1998, Pos Kupang melakukan sejumlah upaya untuk mempertahankan kredibilitas di mata pembaca. Beberapa bisa disebut di sini.
1. Buku panduan
Sejak tahun 2000, Redaksi Pos Kupang memiliki buku panduan tentang sikap dasar wartawan Pos Kupang. Buku untuk kebutuhan intern itu menjadi semacam “kitab suci” yang menjadi rujukan untuk membangun kesadaran wartawan (selengkapnya lihat lampiran). Dalam buku panduan tersebut juga terdapat kategorisai level seorang wartawan (dari pemula sampai tingkat senior).
Namun, yang utama ditekankan bahwa menjadi wartawan itu suatu panggilan hidup. Mereka yang memilih profesi ini seolah-olah ditarik oleh suatu kekuatan dari luar diri mereka untuk menjadi khusus dan mengemban kewajiban khusus. Tanggung jawab yang dipikul wartawan merupakan tanggung jawab yang murni muncul dari dalam lubuk hatinya sendiri. Motivasi menjadi wartawan adalah motivasi intrisik. Wartawan laksana orang Samaria yang baik hati (the good Samaritan role).
Dengan demikian wartawan mempunyai tujuan mulia. Senang rasanya bagi seorang wartawan Pos Kupang bila bisa menolong orang yang sedang menghadapi kesulitan dengan menyampaikan berita dan gagasan tentang dunia sekitar mereka. Dan memang inilah yang dibutuhkan pembaca koran kita. Untuk lebih meningkatkan kredibilitas, wartawan Pos Kupang wajib menghargai pembaca dengan menyajikan apa yang diinginkan pembaca sebagai berita. Jadikan prioritas utama tidak menyakiti orang karena hakekat jurnalisme merupakan bisnis bagi orang-orang etis. Demikian yang selalu ditanamkan para pendiri koran ini dalam berbagai kesempatan.
2. Pendidikan dan latihan
Selain dasar pendidikan formal yang dipersyaratkan saat rekruitmen awal, Pos Kupang secara rutin memberi kesempatan kepada setiap wartawan (baik pemula, tingkat madya maupun wartawan senior) untuk mengikuti pendikan dan pelatihan sesuai kebutuhan. Tujuannya menambah pengetahuan dan keterampilan. Sudah menjadi program tahunan mengirim wartawan/redaktur mengikuti pelatihan di lembaga Diklat KKG (Kelompok Kompas Gramedia) di Jakarta. Pelatihan juga berlangsung di daerah (Kupang).
Selain Diklat pada level grup, manajemen Pos Kupang juga rutin mengutus para wartawan mengikuti pelatihan atas undangan/sponsor serta kerja sama dengan pihak ketiga. Pelatihan semacam ini termasuk yang berlangsung di luar negeri. Secara intern juga berlaku in house training tentang materi kontekstual sesuai kebutuhan. Yang paling sering kami lakukan adalah apa yang kami sebut sebagai “penyegaran” secara periodik. Biasanya tiga bulan sekali. Penyegaran Bahasa Indonesian, teknik penulisan features, teknik penulisan berita hukum dan kriminal, berita politik dan lain-lain.
Penutup
Demikianlah beberapa hal yang dapat kami sampaikan sebagai bahan untuk diskusi lebih jauh tentang Kompentensi Wartawan yang diselenggarakan Dewan Pers di Kupang, 19 Juli 2007. Kami menyadari materi yang disiapkan ini sangat jauh dari sempurna. **
Sumber: Materi ini saya sampaikan dalam diskusi bertopik Upaya Pencapaian Kompetensi Wartawan yang diselenggarakan oleh Dewan Pers di Hotel Kristal-Kupang, hari Kamis tanggal 19 Juli 2007. Saya diundang sebagai narasumber dalam kapasitas sebagai Pemimpin Redaksi SKH Pos Kupang.