Belajar dari Kaisar!

Franz Beckenbauer (afp)
 "KEJAYAAN seorang pemain atau suatu tim sepakbola pasti mengenal batas. Tak pernah ada sebuah kesebelasan yang terus berjaya. Mereka sadar betul bahwa suatu ketika ia akan jatuh, meski tidak pernah dikehendakinya. Dalam pengalaman saya sebagai pemain maupun pelatih, saya pernah bahkan berulang-ulang merasakan sakitnya sebuah kekalahan."

    Kata-kata ini, dengan polos dan tegas pernah dilontarkan sang “Kaisar” Franz Benckenbauer pada tahun 1994, tatkala dia menghibur rekan seangkatannya Berti Vogts yang kecewa karena gagal membawa Jerman mempertahankan Piala Dunia. Jerman kala itu kalah 1-2 dari Bulgaria di babak perempatfinal.

    Bangsa Jerman mencerca Vogts, menuding Lothar Matthaeus dan Klinsmann yang tak berdaya mempertahankan nama besar negerinya. Tim Panser yang kalah pada saat injury time lewat gol si kepala 'jambul' Iordan Lechkov, pulang ke Bonn seperti manusia tanpa roh.     Berti Vogts didesak mundur dari posisinya sebagai pelatih tim nasional. Vogts di mata orang Jerman, bagai guru tua yang mulai kehilangan daya pukaunya, sehingga tak dapat mengajarkan bagaimana bermain sepakbola yang benar, bagaimana menyuguhkan sepakbola khas manusia Aria.

    Beruntunglah nasib Vogts, karena masih ada sang Kaisar Frans Beckenbauer yang membelanya. Kata-kata rendah hati dari Beckenbauer pada detik akhir, ternyata mampu meluluhkan kekerasan hati rakyat Jerman. Seburuk-buruknya suara sang Kaisar masih didengar. Franz menyadarkan bangsanya yang terkenal dengan prinsip Deutch Uber Alles itu bahwa di kolong langit ini, tak ada yang paling hebat. Segala bangsa sama-sama memiliki kekuatan dan kelemahan. Dan, itulah kehidupan yang sesungguhnya.


***
    HARI-HARI INI, bukan mustahil suasana seperti pertengahan Juli 1994 kembali bergejolak di Jerman. Mendung bakal menggantung di atas langit Bonn, Berlin, Hamburg, Frankfurt hingga pelosok terjauh negeri itu tatkala Juergen Klinsmann dan kawan-kawan tiba dari Sofia dengan membawa kekalahan 2-3 melawan Bulgaria di penyisihan grup VII Piala Eropa 1996.

    Vogts, sungguhpun masih menyembulkan optimisme bahwa timnya akan lolos ke Inggris tahun depan, tak mungkin menutup mata melihat kerutan wajah publik sepakbola Jerman yang menatapnya dengan pandangan sinis serta bola mata memerah. Sakit, sakit sekali hati orang Jerman, karena untuk kedua kalinya dalam jangka waktu belum setahun, tim kebanggannya terantuk pada tim yang sama, Bulgaria.

    Padahal, Bulgaria di masa lalunya, tak lebih dari tim ayam sayur yang selalu menjadi santapan ringan tim Panser. Dari delapan kali pertemuan, Jerman masih unggul 5-3 dengan jumlah gol mencolok, sehingga di atas kertas adalah muskil Jerman tak mampu menaklukkannya.

    Akan tetapi, Berti Vogts, Juergen Klinsmann atau Thomas Haessler mungkin sedikit lupa bahwa keperkasaan Bulgaria kini di arena sepakbola dunia merupakan buah dari kebebasan. Bulgaria, negeri komunis Eropa Timur yang mendapat terpaan glasnost dan perestorika tiupan mantan pemimpin Soviet, Michael Gorbachev tahun 1985, kini mulai memetik hasil kebebasan bangsanya dari cengkraman ketidakadilan, anti demokrasi dan keterasingan.

    Bulgaria di masa ini sedang menikmati indahnya seruan dari masa lalu, penyair Aljazair Khalil Gibran dan pemikiran bernas filsuf Imanuel Kant tentang kebebasan. Karena kebebasan itulah, maka Hristo Stoichkov, Balakov, Emil Kostadinov atau Iordan Leechkov bebas melanglang buana ke seluruh dunia untuk bermain sepakbola profesional-sesuatu yang tidak pernah dialami para pendahulunya pra glasnost dan perestroika.

    Pengalaman bertanding di negeri orang, mengasah pemain Bulgaria menjadi bintang yang tak kalah piawainya dengan bintang negeri-negeri lain di Eropa. Sehingga tidaklah mengherankan bila tim nasional mereka begitu perkasa, tak terkalahkan dari enam kali bertanding di penyisihan grup VII Piala Eropa 1996.

    Dengan menjadi juara empat pada Piala Dunia tahun 1994, Bulgaria sebetulnya telah membuka mata bumi, betapa berharganya sebuah kebebasan. Kebebasan selalu lebih bernilai dari emas.

    Nah, di sinilah letak arti penting kata-kata Kaisar Franz, mega bintang yang sukses membawa Jerman menjadi juara dunia ketiga kalinya tahun 1990 silam. Dalam peluang yang kian tipis menuju Stadion Wembley Inggris, Berti Vogts perlu melakukan refleksi diri, membenah kekuatan anak asuhnya, menyadari bahwa masa emas Jerman mulai memasuki titik renta. Kepada Juergen Klinsmann dkk pantas diingatkan, belajarlah dari kata-kata sang “Kaisar”.  **

Sumber:  Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra.Artikel ini dibuat setelah Jerman ditaklukkan Bulgaria 3-2 pada babak kualifikasi Piala Eropa 1996. Pertandingan berlangsung di Sofia.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes