JEFFREY A WINTERS adalah seorang profesor ekonomi politik pada Northwestern University, AS. Selama lima belas tahun dia bekerja sebagai konsultan. Indonesia termasuk salah satu negara di antara negara-negara di Asia Tenggara yang dibidik dalam kajian dan penelitiannya. Tulisan-tulisannya berupa kupasan-kupasan politik dan ekonomi tentang Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara itu ia sebarluaskan di berbagai media massa di luar negeri, dan tentu saja masuk juga ke Indonesia. Maka jadilah santapan rohani bagi para cerdik cendekia negeri ini.
Oleh beberapa cerdik cendekia negeri ini, tulisan-tulisan dari hasil analisis Jefrrey Winters menyangkut sepak terjang Soeharto selama periode pemerintahannya bersama elit politik yang mengitarinya pada kurun waktu 1993-1998 disusun secara kronologis. Maka jadilah sebuah buku berjudul Dosa-dosa Politik Orde Baru.
Terserah Anda, apakah yang dilukiskan Jeffrey Winters tentang pelaku berpolitik pada era Soeharto itu disebut dosa atau bukan. Tapi yang jelas, inspirasi yang datang dari judul buku itu sepertinya telah membuat orang-orang belakangan ikut-ikutan kalau tidak disebut latah-latahan. Kekhilafan - mengikuti gaya Orba, ucapan lebih santun untuk ungkapan kesalahan - seorang pejabat disusun dan dijadikan semacam satu litani panjang: Daftar dosa.
Tersebutlah baru-baru ini di Kabupaten Sikka. Seorang kepala sekolah (Kepsek) diamankan ke bagian administrasi di Kantor Depdikbud setempat. Sanksi pengamanan terhadap diri sang Kepsek konon sebagai sanksi atas dosa-dosa yang dilakukannya. Total dosa yang dilakukannya ada sembilan belas. Rinciannya, sembilan dosa penyelewengan keuangan dan sepuluh dosa nepotisme. Jumlah ini bahkan belum terhitung dosa otoriter sang Kepsek.
Ya, itulah nikmatnya menyusun daftar dosa orang lain. Sang Kepsek dimutasikan, kolega dan para orangtua murid yang ditinggalkan merasa lega. Entahlah nasib sang Kepsek selanjutnya.
Itu kejadian di daerah terpencil di Bola, desa selatan di Kabupaten Sikka. Desa yang dikenal memiliki kenangan religi. Yaitu tatkala orang Portugis meninggalkan tanda mata berupa tiang balok berpalang satu sehingga membentuk tanda salib - suatu tanda yang menjadi kiblatnya kaum kristiani - di atas batu karang di pantai laut Bola yang dikenal dengan sebutan Watukrus.
Daftar dosa seseorang yang ada kaitannya dengan pengabdian kepada publik memang lagi ngetrend. Karena itu, tidak salah kalau kita memakai kesempatan emas ini untuk menyampaikan unek-unek. Tapi unek-unek disertai landasan nalar yang kokoh, bukan seperti kelakuan anak-anak dari Taman Kanak-Kanak (TKK).
Terhadap Presiden Gus Dur sendiri bahkan orang mulai mengumpulkan 'dosa-dosanya'. Mereka mulai dengan pernyataan-pernyataan yang dinilai kontroversial. Setelah lengser keprabhon seperti halnya Soeharto, mungkin saja orang menyebut 'dosa terbesar' Presiden Gus Dur adalah menyamakan para anggota Dewan terhormat dengan murid-murid Sekolah Taman Kanak-Kanak.
Kalau Presiden saja orang sudah berani mulai menginventarisasi 'dosa-dosanya', apalagi yang di bawah-bawahnya. Ketua MPR juga sudah diusik-usik. Bila saja Aceh nanti memilih merdeka dan lepas dari negara kesatuan Republik Indonesia, barangkali, 'dosa terbesar' yang dikenakan pada Amien Rais adalah gara-gara gagasan dia membentuk negara federal.
Ya, memang tak lama setelah Presiden Soeharto lengser keprabhon 21 Mei 1998, masyarakat Indonesia ibarat kuda jantan lepas kandang. Yang dulu tabu, kini tidak ditabukan. Dulu takut terkena petrus (penembak misterius) atau segolongannya karena blak-blakan menyebut dosa-dosa pejabat, kini orang tidak ambil pusing lagi.
Barangkali ini pertanda baik menuju era buka-bukaan yang sebenarnya tanpa harus adanya rasa risih apalagi dendam. Semuanya untuk kebaikan semua. Bila demikian, pantas kalau kita mengatakan Oh, dosa yang membawa nikmat!
Maka, bersiap-siaplah Anda untuk menerima daftar dosa dari rakyat Anda, dari anak buah Anda. (marcel weter gobang)
Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 22 November 1999 hal 1