ilustrasi |
Tetapi sial. Selagi bersama seorang 'peliharaan' di suatu hotel, siaran malam televisi (juga surat kabar esok harinya) yang dua pekan lalu besar-besar menyiarkan berita peresmian proyek, tiba-tiba melaporkan bahwa proyek itu ambruk. Di saat kejadian, kata siaran televisi, laut tenang, tidak ada gempa atau tsunami. Juga tidak hujan, rintik sekalipun. Maka semua pihak yang kepalanya ikut dijamin untuk hutang luar neeri sampai tujuh turunan guna pembiayaan proyek, heboh dan bertanya-tanya. "Mengapa ini? Siapa tanggung jawab? Dan sebagainya... dan sebagainya...!
Bagi kalangan pers, dua peristiwa di atas tentu saja luar biasa menarik. Maka setelah besar-besar memberitakan acara dua pekan sebelumnya, ihwal ambruknya proyek yang diduga menyimpan seribu keanehan, menjadi berita besar. Musabab ambruknya proyek, korban yang terjadi, berbagai aspek pembangunan proyek menjadi kejaran pers. Namun upaya ini sia-sia. Dari pidato menggelear dua pekan sebelumnya, pejabat AA tutup mulut. Juga pelaksana lapangan dan aparat pengawas.
Namun "bocoran orang dalam" mengungkapkan adanya serangkaian penyimpangan teknis sebagai penyebab ambruknya proyek. Hasil observasi "diam-diam" sejumlah arsitek pun membenarkannya. Seorang aparat hukum pun nimbrung dengan ancaman hukuman mati bagi penanggung jawab proyek. Tetapi yah, meski sudah luar biasa pewartaan tentang ambruknya proyek, kasusnya seolah masuk peti kemas. Para wajib pajak menumpakan amarah dan ingin tahunya. Kenapa pers tidak tutas, ke mana aparat hukum, jaksa dan sebagainya?
Pejabat AA, sebagaimana kebanyakan pejabat lain, lalu marah-marah. Dan, setelah berhari-hati tutup mulut dia lalu lantang membantah keterangan tentang penyebab ambruknya proyek lalu serta merta menganjurkan agar masyarakat jangan percaya media massa, koran, radio maupun televisi meski diam-diam dia sendiri terus baca koran dan nonton televisi.
Ilustrasi peristiwa di atas, bukan luar biasa, bukan fiksi. Memang terjadi di sekitar kita hari-hari ini. Tentang pejabat yang tidak paham tentang informasi. Tetang komunikasi dan peranan pers yang menjadi pilar informasi. Tentang rendahnya modal dan tanggung jawab aparat dan pejabat hubuk warisan Orde Baru. Tentang kepelacuran sebagaian besar profesi dan para ahli berbagai cabang ilmu hanya karena uang dan materi. Tentang kredibilitas pers yang jauh lebih baik sehingga semakin menjadi tumpuan pengaduan orang kecil dan melarat ketimbang omongan verbal dan petentengan sejumlah aparat dan pejabat di belakang meja. Tentang janji bohong penegakan "benang basah" hukum. Dan, yang paling utama di negeri Republik ini ialah menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi tentang apa saja yang patut dan menjadi haknya. Oleh siapa pun di negeri ini tidak terbantahi bahwa perslah kini andalah utama masyarakat untuk dititipi harapan hati nuraninya tentang keadilan dan kepastian hukum, hidup-matinya, susah-senangnya meski masyarakat kadang ragu pada kekuatan pers.
Memang, pers bukan polisi, jaksa atau pun hakim yang bisa menangkapi, menyidik dan menghukum bandar judi kupon putih, misalnya. Pers hanyalah pemberi informasi yang bertanggung jawab, mendorong agar orang mau membuang budaya judi dan minum mabok, menyegarkan agar orang terbangun dari putus asa, malu terhadap diri jika terima disogok-suapin penjudi, hina jika mengkhianati ilmu dan sumpah jabatan.
Jika fungsi pers yang demikian tidak dipahami, terutama jika itu dilakukan oleh yang memahami aturan dan hukum, maka orang pers boleh menyebutnya blose (blo'on sekali). (damyan godho)
Sumber: SKH Pos Kupang, Senin 9 Agustus 1999 hal 1