Si Bodot

Gus Dur
 "KALAU anda ingin menegakkan negara dalam negara, kita berhadapan. Ini bukan kehendak saya, tetapi kehendak Anda."

    Penegasan bernada ancaman itu disampaikan Presiden Gus Dur sebagai jawaban atas pernyataan salah satu tokoh masyarakat Irian jaya yang mengklaim diri sebagai pemimpin besar Papua. Theys H Eluay. "Keinginan untuk merdeka bukan keinginan segelintir orang, tetapi telah menjadi keinginan seluruh bangsa Papua," kata Theys

    Keinginan untuk merdeka alias membentuk negara sendiri dengan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah menjadi isu hangat selama beberapa tahun sampai menjelang berakhirnya tahun 1999 lalu. Aceh ingin merdeka, masyarakat di Propinsi Riau juga demikian. Bahkan segelintir orang di Sulawesi Selatan bertekad ingin mendirikan negara sendiri menyukul kekecewaan karena idola mereka tidak terpilih menjadi presiden di negara berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini pada Sidang Umum MPR lalu.

    Bersyukurlah, masyarakat NTT tidak atau belum terpengaruh oleh isu-isu seperti itu. Meskipun kecenderungan untuk itu mungkin telah tumbuh pula dalam benak satu dua orang di antara tiga juta lebih penduduk daerah ini yang tidak ingin dinilai ketinggalan kereta. Bagi orang-orang di dalam hati kecilnya sudah mempunyai kecenderungan seperti itu barangkali mereka sedang menunggu momentum yang tepat atau menunggu datangnya dukungan sang provokator dari luar NTT baik yang kelahiran NTT, berdarah keriting NTT atau berdarah lain tetapi sesama bangsa, Bangsa Indonesia. Nah, bila mereka muncul dengan macam-macam argumentasi logsinya, barangkali kita perlu berkepala dingin menanggapinya. Tidak perlu takut dicap adem ayem saja.

    Bersyukur pula bahwa dalam percaturan politik lokal di daerah ini, khususnya dalam suksesi kepemimpinan tingkat kabupaten dibeberapa daerah tingkat dua, kita belum pernah mendengar masyarakat beraksi dengan mengancam membentuk kabupaten sendiri karena calon dari sukunya tidak terpilih sebagai bupati. Dengan demikian, Gubernur NTT tidak perlu mengeluarkan pernyataan berna ancamana sebagaimana diucapkan Presiden Gus ur tehradpa tokoh di IRian Jaya ini.

    Lalu, apa arti semua ini? Barangbali inilah dampak positid dari sisa-sisa keikutsertaan banyak orang NTT dalam penataran P-4 (Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila) yang tleah ditiadakan dengan dibubarkannya lembaga penyelenggaraan, BP7 (Bdan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) oleh Pemerintah Transisi pada masa Presiden BJ Habibie

    Kembali kepada cara berpikir sektarian emosional yang menjadi cara, potret birokasi dimana-mana di Indonesia termasuk di NTT, masihkah kita harus berpegang pada konvensi bahwa kalau bupati dari Suku A, maka wakil buapti harus dari suku B dan KEtua DRD II-nya harus dari suku C, mialnay? Masihkah ktia tetap menganut pada kesepakatan kebetulan, bahwa posisi Anu yang kebetulan diduduki si Bodot harus tetap menajdi jatah orang-orang yang berseikatan emosional dengan si Bodot? Masih relevankah ktia harus membentengi posisi kita dngna macam-macam pagar?

    Politik kancil boleh-boleh saja dijalankan asal saja demi kepentingan, keamanan dan kesejateraan seluruh rakyat, seluruh subetnik betapapun kecilnya daerah itu. Dna, yang utama, hasilnya nyata dirasakan rakyat, tidak sekedar lip servoce yaitu slogan demi kepentingan seluruh rakyat tetapi nyatanya  hanya kamuflase bagi kepentingan golongan seikatan emosi

    Mungkin ini baik sebagia renungan, introspeksi dalam mengarungi tahun 2000 ke depan demi menjaga kesatuan, persatuan dengan mulai dari lingkup lokal dan regional sebagia kontribusi terhadap keutuhan bangas dan negara tercinta. Memang, ke depan, bagiamana juga kita lebih menginginkan birokrat-birokrat moderat, demokaratis dan pragmatik. (marcel weter gobang)


Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin, 3 Januari 2000 hal 1


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes