Damyan Godho |
Saya baru tertarik, ketika suatu hari, dua truk penuh pasukan polisi, bedil dan mortir, muncul dari Boawae, tempat lahir saya dan langsung bergerak ke utara Boawae, sekitar 15-20 kilometer. Begitu tiba, sejumlah kawasan bukit yang dilaporkan sebagia ‘sarang’ sejumlah Kahar Muzakar, langsung dihujani ribuan peluru. Namun, hasil pengamatan setelah operasi ini, tidak menemukan sedikit pun tanda-tnada bahwa daerah ini memang sarang gerombolan.
Maka dua warga, Tangi dan Logo, sumber informasi dan penunjuk jalan, menjadi sasaran pertanyaan polisi yang kelelahan setelah turun-naik menyisir kawasan bukit sehari penuh. Akhirnya Tangi dan Logo dengan tergagap-gagap mengaku salah dan minta maaf. Kata mereka, cerita tentang gerombolan Kahar Muzakar hanyalah omongan main-main (mungkin juga sok tahu) di antara sesama kala minum moke. Tetapi, tanpa diduga, omongan main-main ini beredar begitu cepat sehingga warga jadi resah dan takut, Kepala Kerajaan kerepotan dan akhirnya polisi harus didatangkan
Lain lagi di Kupang, suatu hari di tahun 1965. Dua kawan saya, Yos (sudah almarhum) dan yang satu, Michael (masih hidup). Keduanya tiba-tiba dijemput polisi berkaitan dengan ‘kabar’ jatuhnya pesawat DC3/Dakota Garuda dalam penerbangan Kupang– Maumere-Denpasar sehari sebelumnya. Kepada polisi, Yos Mengaku bahwa berita itu didengarnya kala memangkas rambut di kawasan Kampung Solor Kupang. Michael lalu meneruskannya kepada temannya, yang ternyata diteruskan lagi dari mulut ke mulut dengan sangat cepat. Akibatnya, Kantor Garuda kebingungan menghadapi jejalan puluhan warga yang mencari tahu nasih anggota keluarganya. Setelah diusut polisi, terungkap bahwa berita ini ‘bohong’. Berasal dari seorang penumpang yang tidak kebagian tempat di pesawat. Karena kesal, di tempat pangkas rambut Kampung Solor,ia tumpahkan amarahnya dengan kata-kata lepas ‘masuk lautlah pesawat itu!”
Yos, yang mendengar kata-kata itu samar-samar lalu menyampaikan kepada Michael bahwa pesawat Garuga jatuh ke laut. Dan tersebar luas berita menggelisahkan masyarakat Kupang ini hingga keduanya dijemput polisi.
Dua kisah nyata di atas menggambarkan bahwa cerita iseng atau juga cerita sok tahu oleh Tangi dan Logo serta Yos dan Michael yang meneruskan kabar yang tidak benar, secara tidak sadar telah melakukan provokasi. Tangi dan Logo menyebabkan warga Boawae resah, takut dan bisa berbuat nekad serta berakibat polisi membuang-buang peluru. Sedang Yos dan Michael, membikin warga Kupang resah dan untung saja kantor Garuda diserbu. Namun, perbuatan provokasi Tangi, Logo, Yos dan Michael tidak berdampak luas karena akar ceritanya segera diketahui.
Pekan lalu, menjelang Hari Damai Natal 1999, berkaitan dengan batalnya testing Calon Pegawai Negeri Sipil di Wilayah Kota Madya Kupang dan Kabupaten Kupang, Gubernur NTT Piet Tallo mengungkapkan kepada pers bahwa dil ingkungan Pemda NTT ada provokator yang mau menjatuhkannya dari jabatan Gubernur NTT. Seorang Gubernur tentu saja tidak asal omong. Dan seorang Piet Tallo yang kini Gubernur NTT, rasanya tidak mungkin mau meresahkan masyarakatnya sendiri, jika tidak ada buktinya.
Tetapi susahnya ialah, orang lalu hanya bisa mereka-reka apa alasan Gubernur berkata demikian? Mengapa pula pembocoran bahan testing Calon Pegawai Negeri Sipil di Kupang sepertinya kronis dan seolah merupakan tradisi? Namun yang pasti, pelaku pembocoran sebenarnya bermaksud agar adik, kakak, saudara/i, konco atau relasinya bisa lolos testing. Orang ini mungkin tidak membayangkan bahwa yang dilakukannya itu termasuk perbuatan provokatif. Artinya, bias memancing dan/atau melahirkan ketidakpuasan ‘politisi’ dan Gubernur menjadi sasaran tembak.
Tetapi bisa juga suatu provokasi untuk menghantam Piet Tallo, Gubernur NTT melalui rekayasa yang sistematis memang sedang dimainkan. Caranya, dengan membocorkan bahan testing Calon Pegawai Negeri Sipil di Kupang sehingga terbangkitlah ketidakpuasan massal. Mengapa di Kupang? (Kota Madya Kupang dan Kabupaten Kupang)? Karena di sini berkumpul politisi dan birokrat-politik yang bisa dan biasa berpolitik, campur-aduk. Otak provokasi dan pelaku pembocoran mungkin saja berharap, “syukur-syukur” bisa terulanglah semacam peristiwa berdarah di Sumba Barat setahun lalu dan pada gilirannya Gubernur yang bertanggung jawab.
Jika rekaan di atas benar, maka ungkapan Gubernur bahwa ada provokator di lingkungan Pemda NTT memang tidak bisa disangsikan kebenarannya. Artinya ada. Dan yang seperti ini berbeda dengan Tangi, Logo, Yos dan Michael. Yang terakhir ini, semuanya orang-orang partikulir, rakyat kebanyakan tanpa NIP dan Karpeg yang hanya karena omong iseng bisa dianggap provokator.
Sebaliknya, pelaku pembocoran bahan testing calon pegawai negeri sipil sudah pasti adalah birokrat yang punya NIP dan Karpeg. Ia mungkin sekali sedang berprovakasi alias berpolitik terhadap gubernurnya melalui birokrasi. (damyan godho)
Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 27 Desember 1999 hal 1