MENJAHIT fakta sosial dalam nada dan langgam yang indah, dalam cara rupawan. Mencubit tanpa meninggalkan sakit hati. Keras menghela tanpa melukai, mencandai realitas tanpa hujat mempermalukan.
Itulah sosok Marsel Robot. Guru, pendidik dan terutama dia seorang penulis cerdas dan piawai. Pejuang kata sepanjang hidupnya yang menghibur, membesarkan hati dan menawarkan harapan bagi sesama ciptaan Tuhan.
Maka membaca tulisan Marsel Robot selalu menarik rindu. Rindu untuk baca dan baca lagi. Sang penulis jauh dari menggurui. Dia hanya bercerita dan sidang pembaca menikmati cerita itu lalu meresapi dan memahami pesannya. Pesan renyah gurih yang merasuk jauh hingga ke sumsum, otak dan hati.
Menggerakkan batin untuk introspeksi dan terus bertanya. Menggugat. Mempertanyakan lagi. Siapakah diriku. Siapakah sesamaku manusia? Apa dan bagaimana seharusnya bersikap menghadapi fakta sosial budaya agar adab hidup lebih bermartabat, agar tata dunia baru sungguh adil bagi semua.
Coretan tangan Marsel Robot senantiasa telanjang menghentak kesadaran. Gemas menggaruk ingatan bahwa di kolam kehidupan ini janganlah dikau sekadar memancing atau menatap birunya langit, tetapi bergeraklah lebih dalam untuk menggapai makna kehidupan yang lebih hakiki. Berilah kontribusi, tidak cuma kata manis di bibir.
Buku ini memang hanya menceritakan tentang secuil kegelisahan sosial di aula
sejarah. Itu kata sang penulis. Temanya lahir dari situasi tertentu dan dibesarkan dalam konteks-konteks tertentu pula. Aromanya berganti bersama musim namun senantiasa merajam nalar dan rasa. Marsel Robot membawa pembaca bukunya ke suatu masa, menyajikan pesan galau, gelisah dan ceria dalam selimut kesadaran reflektif, introspektif, aksi.
Buku ini sungguh sebuah aula sejarah nan kaya, setidaknya dalam dua dekade terakhir. Marsel merekam, mencatat dan meramunya dengan apik. Mulai dari masalah politik, sosial budaya, sastra, pendidikan hingga soal ekonomi dan infrastruktur dasar kebutuhan masyarakat. Dari Sebutlah Presiden Kita Ini: Ibunda Si Mulut Sunyi hingga Manggarai Timur, Sepanjang Jalan, Aku Retang Bao.
Susur sejarah artikel karya Marsel mempertemukan lagi pembaca dengan Opera Osama Bin Laden, kisruh Ambon Manise, Ambon Menangise, Sidang Tahuan DPR-MPR juga sentilan bagi Pers sebagai Lembaga Politik. Kadang bikin ngakak terkekeh, juga pilu menikmati sentilan nan satir.
Sebut misalnya Tuhan Yesus: Keluar Gereja Naik Bemo, Mengecup Kening Manggarai pada Peristiwa Lonto Leok, Adegan Pembangunan di Tepi Lapangan, Selamat Datang Manggarai Timur, Selamat Datang Kesedihan, Tentang Wajahmu di Tikungan Itu, Gayus dan Menara Pasir atau Parodi Kontekstual Ahok.
Hebatnya lagi, Marsel Robot ogah tergoda membuat benang merah. Silakan tuan dan puan menautkan sendiri peristiwa itu dalam konteks waktu tertentu. Begitulah sejatinya sifat buku. Dia hanyalah sebuah undangan kepada sidang pembaca untuk menyusuri parit-parit yang mengalirkan fakta agar dapat menemukan sumber kegalauan sosial, kemudian menarik simpul sendiri.
Watak buku pun sama dari waktu ke waktu, dari purnama ke purnama. Buku ibarat jendela yang memberi ruang kepada siapa saja boleh melongok memandang dalam langgam kaya perspektif.
Baca buku ini jadinya sungguh asyik. Tuan bebas memilih topik sesuai selera. Marsel Robot tidak meminta pembaca untuk misalnya harus baca dulu artikel M untuk memahami artikel N. Sebab, masing-masing artikel hadir dengan cara dan sejarahnya.
Marsel mewarisi spirit intelektual sejati. Penulis yang rendah hati. Dosen dengan banyak pengagum ini menyadari sungguh tulisannya secara substansial hanya segepok ringkasan kegelisahan sosial yang dipandang amat subjektif dengan horison pengetahuan cuma seluas testa. Antena diskursiflah yang menangkap riuh-rendah di aula sejarah.
Dengan begitu sang penulis mengajak siapa pun untuk berdiskusi, mengkritisi pikiran, gagasan dan argumentasinya. Berbeda pandangan adalah lumrah. Justru menjadi humus penyubur daya kritis yang memang dibutuhkan dalam menyikapi dialektika sosial. Benar adanya, pembaca pun diuntungkan dari pertengkaran yang merimbunkan pengetahuan tersebut.
Tidak banyak penulis cerdas menghantar makna dalam cara bercanda. Guyonan memukau. Mencumbui realitas tanpa kehilangan selera humor. Marsel Robot adalah pengecualian karena memiliki kemampuan itu. Masalah politik, ekonomi dan sosial budaya yang pelik dan rumit diraciknya sedemikian rupa menjadi bahan bacaan yang cair menyegarkan.
Membaca tulisannya tidak membuat dahimu berkerut apalagi sampai pening kepala. Bahasanya selalu bikin kangen. Saya mengenal sejumlah penggemar setianya yang selalu minta informasi manakala Pos Kupang mempublikasikan artikel Marsel Robot. "Tolong beritahu kalau dimuat, saya mau beli Pos Kupang yang ada tulisannya itu. Sejak dulu saya koleksi tulisan-tulisan Pak Marsel," kata seorang fansnya,
Tidak mengherankan memang. Hal ini terjadi karena Marsel Robot merajut artikel-artikelnya dalam gaya bahasa gaul. Tulisannya bisa dipahami dengan baik oleh anak milenial hingga opa dan oma. Tuan dan puan tidak hanya boleh melibatkan pikiran tetapi juga melegokan perasaan. Silakan masuk ke lokus logika, mengendap ke dasar palung rasa, dari testa terus ke rasa. Duhai indahnya!
***
SEBUAH kehormatan bagi saya ikut berkata-kata sedikit mengenai isi buku di tangan Anda ini. Maklumlah beliau guru saya. Pembimbing yang telaten dan super sabar tatkala kami baru belajar merangkai kata dan kalimat.
Kami mengenalnya sejak penghujung 1980-an, terutama karena pesona tulisannya yang sudah menghiasai berbagai koran dan majalah lokal, regional dan nasional. Sebut di antaranya Mingguan Dian, Mingguan Asas, Simponi, Swadesi, Harian Bali Post, Harian Nusra dan lainnya.
Ketika saya masih mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, beliau sudah menjadi dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendikan Undana.
Saya dan teman-teman seangkatan seperti Viktus YK Murin, Anton Gelat, Mezra E Pellondou, mengaguminya. Nama besarnya sebagai penulis tak membuatnya jumawa. Dia dengan rendah hati mau berbagi. Mendidik dan mengajarkan kami tentang dunia tulis-menulis.
Dia guru dan pendidik bertangan dingin. Tak sedikit muridnya yang sukses menjadi jurnalis dan penulis dengan reputasi baik. Sebagian menjadi sastrawan, bintang teater dengan karya monumental. Sampai detik ini dia pun masih menjadi guru, pendidik dan sahabat para muridnya.
Terima kasih ka'e (kakak) Marsel Robot. Guru bagi banyak orang. Semangat menulisnya tak pernah padam. Takkan bosan bertengkar dengan kenyataan.
Spririt luar biasa itu tersembul molek di bagian akhir kata pengantarnya, "Andalah yang menyuruh saya untuk menghampiri jendela, mengusap senja, mereken gerimis yang menerpa di palkah. Sedangkan di daratan yang jengang itu, saya diminta untuk menepi, ambil biola memuja kenyataan yang tak pernah menyentuh dan merindu."
Kupang, medio Agustus 2018
Dion DB Putra
Wartawan Pos Kupang
Info Buku
Judul: Ringkasan Kegelisahan Sosial di Aula Sejarah
Penulis: Marsel Robot
Penerbit: Dusun Flobamora, Oktober 2018