Danau Tondano |
MINGGU (12/1/2014) siang, Tribun Manado bertemu pria itu di kediamannya di Kelurahan Taler Kecamatan Tondano Timur. Kulit dari ayah dari satu anaknya ini tampak memerah. Tak heran, terik mataharilah yang tiap hari menemaninya mencari ikan. Cuaca cerah adalah waktu yang pas untuk memanah.
Sekitar sepuluh tahun sudah ia menggeluti profesi ini. Tak sembarang orang bisa melakukannya, butuh keahlian khusus. Yang pasti harus bisa menyelam, jeli dan harus punya nyali. Awalnya ia hanya ikut-ikutan dengan teman-temannya. Masih belajar dan hanya iseng-iseng saja. Ternyata ia betah dan terus menekuninya, hingga mahir seperti sekarang ini. Jarak selam maksimal yang bisa ditempuhnya yakni sedalam 12 meter ke bawah, dengan durasi waktu maksimal satu menit. Bukan hal mudah bagi orang yang tak punya keahlian khusus itu.
Berbekal perahu motor, peralatan selam berupa kaki katak dan kacamata, serta pemanah yang serupa dengan senjata laras panjang dengan peluru besi tajam seukuran satu meter. Dan satu hal senjata yang tak boleh dilupakan, "Berdoa," ujar Marino. Setiap hari kecuali hari Minggu, ia pergi ke danau.
Kata Marino, suasana di dalam danau mengerikan bagi mereka yang tak terbiasa. Terlihat seperti berada di dunia lain. "Air laut beda dengan air danau. Di danau airnya agak keruh, dan banyak rumput liar yang tumbuh. Gelap, hanya beberapa cahaya yang terpancar di sela-sela rumput. Jarak pandang dalam air, jika benar-benar terang hanya lima meter. Kalau hujan dan angin keras airnya pasti keruh," terangnya.
Ikan yang biasanya didapat berupa jenis ikan mas, kabos, payangka kodok dan mujair. Ukurannya kadang kecil kadang besar, tapi Marino pernah dapat ikan seberat 20 kilogram. "Itu jenis ikan mas. Kalau dapat ikan besar paling hanya dua atau tiga paling banyak. Kalau yang kecil, seperti mujair, meski kecil tapi jumlahnya banyak," ujarnya.
Hasil tangkapannya, dijual ke Pasar Tondano. Ia juga sering mendapat pesanan, sehingga tak perlu menjajakkannya di pasar. Pendapatannya per hari dinilai cukup untuk kebutuhan keluarganya. "Rata-rata Rp 200 ribu. Kadang lebih kadang juga kurang. Beberapa juga untuk dimakan sendiri," ungkapnya.
Ia beberapa kali bertemu ikan raksasa yang besarnya hampir sama dengan ukuran perahunya. Menurutnya, itu ukuran ikan air tawar yang sangat asing bagi masyarakat. Tapi bukan malah senang dan mengejarnya, ia malah membiarkan ikan itu lewat. "Terlalu besar untuk ditangkap, bisa-bisa saya dibawa ikan itu. Panah saya juga bisa rusak. Ikan seberat 20 kilogram saja saya kadang kewalahan menariknya," ujarnya.
Hal-hal mistis dan aneh juga sering dialaminya. Tak hanya dia, juga teman-temannya yang lain. Misalnya, saat ia ketemu ikan mas besar yang begitu dekat dengannya, setelah dipanah, malah hilang tiba-tiba. Ia juga menceritakan kisah temannya yang tiba-tiba tak bisa bicara saat melihat ikan raksasa. "Macam-macam kejadian yang terjadi. Memang hal seperti itu banyak terjadi, tapi harus beranikan diri. Menghadapi hal seperti itu harus berani," ujar Marino.
Risiko kematian dan kerusakkan pendengaran mengancamnya. Menghadapi hal itu ia punya teknis tersendiri. Suatu waktu ia pernah tenggelam dan hampir tak bisa naik ke air. Saat itu keadaan badannya sedang tak fit. "Itu kurang kemurahan Tuhan, kalau tidak saya takkan muncul ke permukaan lagi. Karena saat itu saya sudah lemas sekali," kenangnya.
Marino belum tahu hingga kapan ia akan menjadi pemanah ikan di Danau Tondano. Selama masih memungkinkan ia akan terus melakukannya. "Ikan di Danau Tondano takkan pernah habis, tinggal bagaimana semuanya memungkinkan untuk dijalani," tutupnya. (finneke wolajan)
Sumber: Tribun Manado 13 Januari 2014 hal 24