ilustrasi saja |
Dengan pola bertahan yang sangat kokoh, formasi 6 2 1 saat bertahan dan 4 4 2 sewaktu menyerang, Italia memiliki tembok pertahanan paling kokoh di dunia. Filosofi Italia adalah mengutamakan kemenangan bukan seni atau keindahan. Dengan tujuan utama seperti itulah sistem catenaccio dibangun. Segala cara harus ditempuh guna menekan sekecil mungkin risiko kemasukan gol.
Tetapi Italia menghadapi perkembangan sepakbola dunia yang sangat pesat dengan tuntutan berbeda. Sejak goyang Samba memainkan jogo bonito yang menawan sejak Piala Dunia 1958 lewat kebesaran Pele dan Belanda memperkenalkan aliran total football dalam Piala Dunia 1974 dan 1978 melalui kepiawaian Johan Cruyff dkk, dunia sepakbola memulai fase baru yakni sepakbola menyerang.
Sepakbola menyerang dalam perjalanan sejarahnya tidak gampang terwujud di bumi Azzurri. Tahun 1982, Dino Zoff adalah salah satu pelaku utama sepakbola ultra defensif yang membawa Italia memenangkan Piala Dunia untuk ketiga kalinya. Pada waktu itu, Italia dipuji sekaligus dihujat dunia. Pujian untuk kekokohan pertahanannya. Namun, lebih dominan kritik pedas kepada negeri ini yang dilukiskan sebagai anti sepakbola menyerang yang telah merebut hati penggemar bola semenjak awal 1970 an.
Italia tak peduli dengan semua itu. Dan sejarah pun mendukungnya. Cuma tahun 1982 itulah terakhir kalinya ada pesta besar bangsa Italia merayakan kemenangan di ajang paling bergengsi sepakbola dengan senjata grendelnya. Tahun tahun sesudah itu Italia mencoba formula sepakbola menyerang, tapi selalu gagal bahkan cukup sering ketika tinggal beberapa langkah lagi mencapai puncak. Tahun 1990 cuma merebut nomor tiga. Tahun 1994 nomor dua.
Dalam kompetisi Piala Eropa lebih mengecewakan. Italia terakhir kali menjadi juara 32 tahun silam. Kemarin, di Stadion De Kuip Rotterdam, pesta besar itu sebenarnya sudah menunggu dalam tempo hanya sekitar 30 detik. Tetapi dalam waktu yang sesingkat singkatnya itu, Azzurri pingsan melalui gol Wiltord kemudian mati kaku lewat sontekan Trezeguet.
***
BARANGKALI Anda pun bertanya seperti beta, mengapa Italia harus menelan kekalahan? Rasanya tidak fair kalau menyebut kemenangan Perancis semata mata karena faktor keberuntungan sekalipun dalam jagat sepakbola faktor itu senantiasa ada dan perlu. Kalau pun kita memakai kaca mata keberuntungan, lalu apa salahnya bila pada musim panas tahun ini Perancis yang mendapatkannya? Toh mereka tidaklah buruk.
Menyimak pertandingan final Euro 2000, sepertinya ada yang "salah" dalam tubuh tim nasional asuhan Zoff. Zoff sebenarnya hampir saja meraih sukses dengan kemampuannya menjaga harmonisasi pertahanan dan penyerangan sebagaimana telah ia lakukan dengan baik dalam lima penampilan terdahulu. Meskipun sangat kental warna catenaccio dalam tubuh Italia asuhan Zoff, tetapi tidak berarti ia mengabaikan sepenuhnya attacking foorball yang menjadi tuntutan sepakbola modern. Zoff tetap mengutamakan serangan dalam skema 4 4 2 kesukaannya itu.
Penampilan Squadra Azzurra selama 89 menit ke Rotterdam justru bertolak belakang dengan permainann defensifnya saat membantai tim Oranye Belanda 3 1 di semifinal. Sejak menit awal, Zoff menurunkan duet striker berkarakter penyerang murni yakni Francesco Totti dan Marco Delvecchio. Dugaan bahwa ia menurunkan duet Del Piero Inzaghi ternyata meleset.
Italia langsung menyerang pertahanan Perancis. Dalam lima menit pertama, Squadra Azzurra telah mendapat dua kali sepak pojok. Pada menit ke 3, Delvecchio bahkan hampir saja menjebol gawang Fabien Barthez setelah mendapat set piece matang dari Stefano Fiore. Perancis justru bermain sebaliknya. Les Bleus yang biasanya langsung tancap gas dengan agresivitas terkesan lebih hati hati dalam menyerang, sehingga cuma mendapat satu peluang emas selama 45 menit pertama melalui Youri Djorkaeff.
Babak kedua pun demikian. Italia lebih mendominasi permainan dengan ball possession sekitar 60 persen. Pemain Italia tujuh kali tertangkap offside (Perancis 6 kali) juga menunjukkan bahwa Italia cukup menyerang, tidak seperti melawan Belanda yang seluruhnya cuma bertahan di daerah permainan sendiri.
Zoff malah memberi kesan "berani mati" ketika ia menarik keluar Fiore menit ke 53 dan memasukkan Alessandro del Piero. Padahal Fiore adalah gelandang bertahan, sedangkan Del Piero merupakan second striker. Demikian juga sewaktu ia menggantikan Luigi Di Baigio dengan Massimo Ambrosini menit ke 66.
Semua pemain bugar yang dimasukkan Zoff bertipe penyerang bukan bertahan. Itulah realitas Italia di grandfinal Euro 2000 yang boleh disebut sebagai "kesalahan" Zoff, karena sejak menit ke 55 Italia sudah unggul 1 0 melalui gol Delvecchio. Memakai logika catenaccio, mestinya Zoff memperkokoh pertahanan lebih rapat agar tidak sampai kecolongan. Untuk itu dibutuhkan pemain bertahan seperti Ciro Ferrara atau Paolo Negro.
Ketika pertandingan tinggal empat menit, Zoff malah menarik Delvecchio serta memasukkan Montela, sehingga Italia saat itu bermain dengan tiga penyerang: Totti Del Piero Montela. Keberanian Zoff melahirkan malapetaka. Pada 15 menit terakhir, Lemerre justru memasukkan tiga penyerang maut; Sylvain Wiltord, David Trezeguet dan Robert Pires. Pada saat itulah Perancis mulai memainkan serangan agresif dengan lebih apik. Palang pintu Azzurri pun jatuh bangun karena sudah kehabisan bensin.
Pesta meriah yang sudah disiapkan pun buyar dalam 30 detik. Usai sudah perjuangan Azzurri. Kehormatan itu harus dimulai dari awal lagi berjuang keras meraih 2004 di Portugal. Dan, untuk Anda semua penggemar Italiano yang kecewa berharaplah agar Italia lolos ke Jepang Korea dua tahun mendatang. Sampai jumpa lagi di negeri kuning. *
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Selasa, 4 Juli 2000. Artikel ini dibuat menanggapi hasil pertandingan final Euro 2000 yang dimenangi Perancis dengan skor 2-1.