Copas


POSISINYA tidak mencolok mata. Tidak eye catching menurut terminologi media. Agak tersudut di pojok halaman terujung. Sekilas lihat bisa terlewatkan. Jika tak cermat gagal jumpa. Kalimatnya singkat, padat dan jelas. Isinya kurang lebih demikian. "Konsultasi skripsi dijamin tuntas sepekan. Jl. Duren III Gg Rona No. 2. Hub Dimas 081335667xxx. Tarif nego."

Skripsi tuntas dalam sepekan. Waw? Iklan baris itu beta temukan di sebuah koran harian yang bermarkas di salah satu kota pelajar di Pulau Jawa. Setelah ditengok ternyata tidak cuma satu iklan. Masih ada beberapa yang menawarkan jasa sejenis. Bukan cuma skripsi. Mereka bahkan menawarkan bantuan untuk tesis. Wuih!

"Itu mah udah biasa di sini," kata seorang teman seprofesi. Diksi konsultasi sungguh berbobot akademis. Artinya lembaga yang mengiklankan dirinya itu menyiapkan tenaga konsultan yang siap menuntun mahasiswa atau mahasiswi menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi. Luar biasa! Selain dosen pembimbing di kampus ternyata para mahasiswa dimungkinkan mendapat bimbingan di luar kampus. Wajar bila mereka cepat merampungkan skripsi.


"Tunggu dulu, bung jangan terkecoh iklan. Konsultasi hanya label. Faktanya adalah pratik copas alias copy and paste. Penyedia jasa konsultasi memiliki banyak contoh skripsi atau tesis. Tinggal pilih yang cocok dengan jurusan atau program studi. Makanya mereka jamin seminggu beres," lanjut temanku tadi. Sebagai jurnalis dia pernah membuat investigasi tentang praktik copas. Ada uang, skripsi tuntas!

Begitulah tuan dan puan. Pragmatisme telah merambah hampir seluruh lini kehidupan, termasuk dunia pendidikan yang idealnya memintal karakter manusia berbudi luhur. Gampang betul jadi mahasiswa zaman ini, entah mahasiswa S1, S2 maupun S3. Tak perlu susah payah belajar. Tugas akhir tinggal copy paste milik orang lain. Tinggal ganti nama, lokasi penelitian serta sedikit utak-atik data.

Beranda Flobamora belum seberani itu. Di kampung besar Nusa Tenggara Timur belum ada "konsultan skripsi" iklankan diri lewat media massa cetak pun elektronik. Tapi praktik semacam sudah berlangsung sejak dulu. Pada masa beta remaja naik badan dua puluhan tahun lalu, promosinya lewat bisikan mulutgram alias dari mulut ke mulut. Sekarang so pasti lebih canggih.

Menurut seorang dosen di Kupang, modus copas di Flobamora menggunakan trik malu-malu kucing dan bergaya bunglon. Tanpa wujud baku namun berbisnis riuh. Dosen itu menyebut contoh sejumlah rental komputer yang tidak seratus persen rental. Ada main samping. Menyediakan contoh skripsi dalam jumlah puluhan bahkan ratusan. Yang mau tinggal beri duit. Beres! Ada pula oknum dosen dan sarjana nganggur yang "buka praktek" bikin skripsi. Promosinya manis, membantu mahasiswa (dengan imbalan uang). Tidak percaya? Silakan telusuri sendiri.

***
FENOMENA copas bukan hal baru dan tidak semata mengoyak keagungan semesta akademik. Dalam lapangan hidup lainnya hal yang sama juga terjadi secara telanjang. Unsur eksekutif dan legislatif kita cukup akrab dengan cara kerja copas. Misalnya dalam menyusun peraturan daerah (perda). Daripada pening kepala merumuskan pasal dan ayat, paling enteng copy paste perda dari daerah lain. Ketika ratusan perda di NTT dibatalkan pihak berwenang negeri ini, aroma copy and paste itu sulit sekali dipungkiri.

Bagaimana dengan program pembangunan? Lagi-lagi sulit berkata tidak. Orang kita amat cekatan dan piawai melakukan copy paste sehingga program pembangunan daerah kehilangan rohnya. Serba tanggung, cuma hafalan yang tunggang-langgang pada level implementasi. Program tidak membumi karena bukan hasil kreasi sendiri disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Jika tuan sangsi, cobalah telisik visi- misi para calon kepala daerah yang hari-hari ini getol menjual diri kepada rakyat. Bisa dipastikan visi dan misi mereka yang tebal berlembar-lembar itu hasil copy paste.

Kiranya benar bila banyak orang berkata, copy paste telah menjadi epidemi di negeri ini. Epidemi yang menggerogoti hampir semua bidang kehidupan. Dalam dunia kewartawanan, ada oknum jurnalis merasa tak berdosa melakukan kloning berita. Berita orang lain dikopi lurus tanpa sentuhan baru. Di bidang seni budaya pun setali tiga uang. Banyak yang ingin cepat tenar dan kaya harta dengan cara yang cemar. Jiplak-menjiplak karya sesama!

Kita adalah bangsa yang rapuh melapuk. Bangsa yang terus kehilangan karakter adiluhung akibat kentalnya mental menerabas seperti diingatkan Koentjaraningrat abad yang lalu. Semua ingin serba cepat. Cepat sarjana, cepat jadi doktor, profesor, cepat berkuasa atau lekas kaya materi tanpa kucurkan keringat dan air mata.

Nurani menjerit perih tatkala media massa mewartakan mereka yang sangat terpelajar sontak ketahuan sebagai profesor doktor plagiat. Kita tidak menutup mata banyak pula profesor jujur. Banyak juga doktor cerdas berkat kerja keras mengasah otak dan hati. Tapi mau bilang apa, epidemi plagiarisme akhir-akhir ini sungguh menohok semesta intelektual. Bak kata pepatah, nila setitik merusak susu sebeha. Oh maaf, maksudku susu sebelanga. Hahaha... Gladiatorkan para plagiator. Ayo! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang Senin, 1 Februari 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes