"JADI begitu bapa mama. Kami ke sana naik pesawat Boeing yang besar sekali. Kami ada lima belas orang termasuk Bapa Ketua Dewan dan Pak Kadis. Acara kami di sana berjalan lancar tanpa kendala." Pria bersafari dan memakai kaca mata minus itu bicara dengan nada bariton meyakinkan di balai desa.
Pendengarnya adalah orang kampung, sebagian besar dari mereka, baik pria maupun wanita memakai kain dan sandal jepit. Umumnya berbibir merah akibat siraman rutin limbah sirih pinang. Orang kampung tampak angguk-anggukkan kepala. Spontan memompakan semangat bicara bagi pria bersafari tadi.
"Di sana kami tidur di hotel yang bersih, pelayannya ramah, ganteng dan cantik-cantik. Bukan macam kita punya di sini. Makanannya juga enak. Pagi-pagi sekali kami berangkat naik bis, macam bis Damri kita punya di sini tapi di sana lebih besar dan pakai AC. Bapa mama sudah tahu AC to? AC itu yang bikin penumpang bis tidak kepanasan. Jarak ke lokasi cukup jauh tapi karena jalannya mulus, kami ke sana tidak sampai satu jam," tutur pria itu.
Setelah meneguk air mineral dalam botol ukuran sedang yang disiapkan isteri kepala desa, pria berkaca mata minus melanjutkan kisahnya. "Tiba di lokasi kami disambut ramah Bapak ketua kelompok tani dan anggotanya. Rombongan dari sini masing-masing diberi kain selendang. Petani di sana memang hebat. Dorang (baca: mereka) kaya raya berkat hasil kebun jagung, ubi, pisang dan sayur-mayur. Saya tidak omong kosong, petani di sana rata-rata punya oto (mobil) sendiri untuk angkut hasil bumi ke pasar. Jadi begitu bapa mama, hasil studi banding kami ke sana baru-baru ini. Banyak sekali manfaatnya untuk kita di sini. Kalau bapa mama mau meniru, maka bisa hidup baik seperti mereka," ujarnya. Rekan kerja pria itu yang duduk di deretan kursi paling belakang tepuk tangan. Spontan diikuti seluruh hadirin di balai desa. Aplaus membahana. Di ini negeri tepuk tangan bisa diatur!
"Petani di sana kerja keras, rajin dan disiplin. Mereka rawat tanaman setiap hari. Mereka biasa kerja kelompok, saling menolong. Makanya bapa mama, kita di sini tidak boleh malas kerja. Kita juga bisa hidup baik seperti mereka kalau kita mau," kata pria berkaca mata mengakhiri "wejangannya".
Di papan nama dada pria itu tertulis: Thomas. Atas permintaan Thomas, nama marga atau fam-nya sonde (tidak) beta siarkan di ruangan ini. Hari itu Thomas ditemani dua rekan kerja melakukan kunjungan kerja ke desa. Ya, salah satu desa di beranda Flobamora. Dia ditugaskan kepala bagian untuk mensosialisasikan program pemerintah yang sedang giat digalakkan. "Jangan lupa you sampaikan juga hasil stuba (studi banding) kita baru-baru ini dan buatkan laporan tertulis untuk Pak Kadis," kata si bos sebelum Thomas meninggalkan kantor sehari sebelumnya.
***
"SAYA sebetulnya tidak suka cara sosialisasi begini karena tidak ada manfaat apa-apa buat petani. Dari dulu saya tidak setuju studi banding di bidang pertanian tanpa melibatkan petani. Tapi mau bilang apa, budaya kami di birokrasi pemerintah tidak boleh membantah perintah atasan. Ya, jalani saja," kata Thomas.
Thomas menyesal? Tentu. Saat kuliah S1 pertanian dan menjadi aktivis mahasiswa, Thomas getol berteriak tentang keberpihakan nyata bagi petani, populasi terbesar di Nusa Tenggara Timur. Dia sering menulis di banyak media tentang nasib petani kecil. Idealismenya luruh ketika menyandang status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Makin terjepit ketika memangku jabatan struktural. "Cara kerja PNS punya logika sendiri, bung!" katanya. Kutahu dia sekadar menghibur diri.
Begitulah tuan dan puan. Cukup banyak manusia seperti Thomas di sekitar kita. Mereka tahu sesuatu keliru, tapi tak sanggup meluruskannya. Mereka terpaksa menjalani tugas setengah hati agar tidak dicap membangkang.
Menyimak tutur kata Thomas menyampaikan hasil studi banding di atas, betapa jauh panggang dari api. Thomas cuma mewartakan kisah perjalanan yang datar, tidak berisi. Substansi studi banding tak tersentuh. Pertemuan di balai desa hari itu cuma kunjungan rutin. Pertemuan yang hampa. Thomas pulang dengan hati masygul. "Kalau para petani itu diajak studi banding untuk lihat sendiri, saya tidak perlu omong kosong seperti tadi, kawan!" kata Thomas terbahak.
Tuan dan puan (sebagian besar) warga Nusa Tenggara Timur kiranya familiar dengan figur Thomas. Thomas dikenal sebagai manusia yang tak mudah percaya. Prinsip Thomas: lihat dulu baru percaya! Maka studi banding menemukan habitatnya di beranda Flobamora. Orang kita umumnya mengidolakan figur Thomas sehingga rajin studi banding ke mana-mana, bahkan hingga mancanegara. Studi banding adalah menu harian di kampung kita. Tidak penting amat berapa biaya yang digelontorkan untuk tiket, makan minum, hotel dan SPPD. Ratusan juta hingga miliaran rupiah terkuras bukan masalah. Inilah negeri Thomas!
Celakanya peserta stuba kerap tanpa seleksi sesuai kebutuhan. Seperti disentil seorang pakar ekonomi NTT, studi banding pertanian, pesertanya staf Dinas Pertanian dan anggota Dewan yang membidangi masalah pertanian. Bukan petani! Studi banding tentang perikanan, ya jatah pimpinan dan staf Dinas Perikanan. Nelayan yang hari-hari bekuk ikan, tunggu saja hasil sosialisasi dari mereka.
Dua tahun sudah pemerintah propinsi ini canangkan propinsi jagung. Eh, studi banding baru terlaksana barusan oleh Wakil Rakyat yang Terhormat (Yth). Benar juga kata temanku Thomas, Yth di gedung anggun sana "punya logika sendiri". Apakah itu logika sendiri? Sorry, beta tidak mengerti.
Yang pasti beta termasuk kelompok fanatik pendukung stuba. Studi banding itu perlu demi Flobamora yang lebih baik. Perkara kita tinggal mengubah kemasan stuba agar rasional dan mutlak dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Urusan kita lebih pada perubahan sikap. Bertahun-tahun laporan stuba cantik manis di atas kertas. Laporan stuba tak pernah dibaca ulang dan menjadi dokumen resmi pembangunan. Laporan stuba selalu habis dimakan rayap. Dewan berganti, studi banding topik yang sama terulang lagi! Tapi eitt, sabar dulu! Jangan-jangan usul ini justru memberi inspirasi baru. NTT butuh studi banding tentang cara studi banding yang baik dan benar. Oh ya? Hidup Thomas! (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang edisi Senin,8 Maret 2010 halaman 1