SETELAH Petrus, bangsa Merah Putih yang suka membuat akronim kini melambungkan Markus. Di zaman Soeharto penembak misterius disapa Petrus. Sekarang di zaman Reformasi, makelar kasus dipanggil Markus. Dulu Markus kini Petrus. Tapi yang lebih menjulang sepekan ini pastilah Gayus. Gayus Pajak!
Ya, nama Gayus Tambunan sungguh mencoreng institusi pajak yang bulan Maret ini getol mengimbau bahkan berkali-kali mengingatkan seluruh rakyat Indonesia yang telah memenuhi syarat sesuai UU untuk bayar pajak agar menyerahkan SPT Tahunan. Deadline tinggal dua hari. Ingat dua hari lagi, 31 Maret 2010.
Dari pemberitaan media massa, tuan dan puan pastilah sudah tahu secuil duduk perkara kasus Gayus Tambunan. Pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak itu telah melarikan diri ke luar negeri (Singapura) setelah mendapat vonis bebas dari Pengadilan Negeri Tangerang.
Kasus ini mengemuka karena diduga berkaitan dengan praktik makelar kasus alias markus. Gayus disebut-sebut memiliki rumah mewah di Jakarta serta uang Rp 25 miliar di rekeningnya. Uang itu diduga bersumber dari pajak rakyat. Wah!?
Kisah pelarian Gayus ke Singapura menarik perhatian. Warta terbaru dari Dirjen Imigrasi menyebutkan, sewaktu terbang dengan Singapore Airlines Rabu lalu, Gayus tidak memakai nama Gayus Halomoan Tambunan. Menurut deteksi Imigrasi, Gayus menggunakan nama Gayus Halomoan Partahanan. "Dia pakai nama Gayus Halomoan Partahanan. Nggak ada Tambunannya," kata Direktur Bidang Penindakan Dirjen Imigrasi, Muchdor kepada Tribunnews, Minggu (28/3/2010). Cerdik betul Gayus. Imigrasi kita terkecoh. Sudah berkali-kali terkecoh atau baru kali ini ya? Sungguh terkecoh atau pura-pura kecolongan?
Gara-gara Gayus Tambunan, jagat maya pun heboh. Penggemar bukumuka alias facebook membuat grup bertajuk Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung BOIKOT BAYAR PAJAK untuk KEADILAN. Saat beta iseng berkunjung, Kamis (25/3/2010) lalu, baru tercatat 3.422 facebooker yang menjadi anggota. Eh kemarin siang, jumlahnya pesat melonjak. Sudah menembus angka 35.277 anggota. Hari ini dan besok jumlah pendukung bakal lebih banyak lagi. Gerakan bukumuka untuk isu-isu yang sedang hangat di masyarakat biasanya amat lekas dan dashyat.
Gerakan tersebut jelas mencerminkan ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap kasus penggelapan pajak yang masih saja terjadi. Grup ini memakai slogan Gerakan pembangkangan nasional terhadap pengelola negara. Tolak bayar pajak untuk kemewahan dan kepentingan pejabat! Komentar pedas menghiasi laman grup itu. Umumnya mereka kecewa karena merasa dikhianati. "Bayar pajak cuma buat dinikmati Gayus dan teman-temannya? No way!" tulis seorang anggota grup.
Memboikot pembayaran pajak tentunya bukan saran yang bijak. Sebagai warga negara yang baik, tuan dan puan serta beta wajib membayar pajak guna membiayai roda kehidupan kita bersama sebagai Satu Nusa Satu Bangsa. Oknum seperti Gayus di lembaga perpajakan masih banyak dengan beragam modus manipulasi.
Bila ada tikus di kantor pajak, jangan bakar kantornya tetapi tangkap tikus-tikus di sana, proses hukum dan jebloskan ke dalam penjara. Beta tahu, banyak petugas pajak yang jujur berhati mulia. Terima uang miliaran rupiah, tetapi dia hidup layak dari gajinya saja. Uang rakyat masuk ke kas negara. Bukan rekening pribadi.
Memang celaka dua belas bila kasus Gayus Tambunan dibiarkan menguap begitu saja seperti kasus pelarian lainnya yang hidup makmur di negeri orang dengan uang hasil rampokan dari Indonesia. Kasus Gayus merupakan praktik mafia peradilan yang tergolong berat. Pelakunya tidak semata petugas pajak. Ada tali- temali erat dengan aparat penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan.
Dampaknya sungguh merusak moral masyarakat. Kesadaran warga negara membayar pajak bisa turun ke titik nol. Kalau sampai terjadi, bahaya besar sedang mengancam Indonesia. Bayangkan sebuah negara hidup tanpa pajak rakyat?
Suatu ketika beta pernah mewawancarai seorang mantan petugas pajak yang kini mengisi masa pensiunnya di Kupang. "Hal yang sangat menyakitkan saya adalah melihat uang rakyat dikorupsi dan pemerintah gagal memenuhi kewajibannya terhadap rakyat lewat pengadaan fasilitas umum yang layak," katanya.
Kata-kata itu beta ingat sampai sekarang. Selalu terngiang kembali bila mengingat kewajiban membayar pajak. Betapa menyenangkan bila setelah rutin membayar Pajak Penerangan Jalan, tidak lagi merayap dalam kegelapan malam di jalan raya, sebagaimana lazimnya jalan-jalan di beranda Flobamora.
Betapa indahnya jika setelah bayar Pajak Bumi dan Bangunan, setiap warga di lingkungan RT/RW tidak terwarisi saban tahun dengan jalan--jalan yang berlubang. Jalan-jalan dengan aspal nyaris tak berbekas. Alangkah bahagianya setiap warga negara yang hendak bepergian jika terjamin keamanannya dari alat angkut seperti kapal yang fisiknya selalu diremajakan. Bukan kapal tua yang sekali terhempas gelombang, terjun bebas ke laut dalam. Betapa nikmatnya menjadi warga negara yang setia membayar pajak bila sekolah dan biaya rumah sakit murah sungguh nyata, tidak sekadar kampanye omong-kosong menjelang pemilu lima tahunan.
Belum pernah terjadi di beranda Flobamora rakyat memboikot pembayaran pajak. Rakyat kampung besar ini amat sadar memenuhi kewajibannya. Yang kerap terdengar justru lagu lama. PDAM selalu rugi, PLN rugi melulu, kapal Pelni dan Ferry masih mengeluh. Retribusi jalan terus! (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang edisi Senin, 29 Maret 2010 halaman 1