Kampung


MALAM itu di beranda rumah tua warisan leluhur, kutatap bulan di langit bening. Semilir dingin bayu dari selatan menebarkan aroma gunung. Sungguh melonggarkan rongga dada. Bulan sedang meluluhkan seluruh raganya ke bumi, menerangi halaman rumah berdinding bambu. Sunyi!

Ketenteraman memang terasa di sini. Di kampung terpencil ini. Alangkah damai. Tapi kurasakan secuil kehilangan. Dulu saat purnama tersenyum, anak-anak bermain petak umpet. Perawan dan perjaka bersenandung di pojok kampung. Pantun berbalas pantun. Syahdu merindu. Ada nada syukur dan puji. Kepasrahan kepada sang Dia. Juga syair cinta monyet.

Dulu saat purnama tersenyum, kaum bapak bercengkerama di kuwu (semacam balai pertemuan di tengah kampung) sambil menikmati ubi rebus dan sambal olahan ibu-ibu. Mereka melepas lelah sambil berdiskusi masalah hidup dan kehidupan kampung. Mereka tutur bercakap hingga mata mengajak rebahan.

Malam itu dan malam-malam purnama sebelumnya, kebiasaan itu tak ada lagi.Kampung sepi sunyi. Para penghuni asyik sendiri-sendiri. Para bapak, mama dan anak-anak larut nonton tivi dengan listrik bersumber dari genzet. Mereka terbius acara take me out. Mereka hafal alur cerita Cinta Fitri dan sinetron Realigi. Mereka cakap kisahkan ulang prahara rumah tangga Anang-Krisdayanti.


Di sudut beranda bernama tenda bewa, keponakanku yang laki-laki, dropout SMP kelas dua dan sudah siap nikah, goyang-goyang kepala sendiri sambil entakkan kaki, mengikuti irama musik dan lagu dari wahana MP3 dengan headset di kuping. Keponakanku yang perempuan tertawa genit cekikikan di rumah paman sebelah. Dia dan teman-teman putrinya sedang menghabiskan pulsa hape via SMS. Kirim sms cinta atau sekadar guyon, entahlah.

Keponakanku perempuan dan laki-laki adalah bagian dari muda-mudi yang masih bertahan di kampung itu. Jumlahnya kecil. Tak lebih dari dua puluh orang. Puluhan lain telah pergi. Yang laki berbondong-bondong menjadi TKI di negeri encik. Yang perempuan bangga menyandang status TKW di Hong Kong sana.

Malam itu, saat purnama tersenyum di kampung leluhur, kusadari kampung yang ketiadaan tenaga produktif. Kampung yang hanya dijaga sekelompok kakek-nenek dengan batuk bersahut saat senja mengembangkan sayapnya. Mereka yang sehat dan kuat memilih pergi. Pergi ke tanah terjanji Malaysia, Hong Kong, Singapura atau Saudi. Pembangunan tanpa manusia produktif, apakah mungkin?

Semangat pergi itu nyaris tak terkendali, meski Malaysia suka menanam luka, Singapura kerap mengaumkan nestapa, Hong Kong dan Timur Tengah bukan tanpa prahara. Nafsu tinggi bekerja di luar negeri meninggalkan rumah tangga berantakan di banyak dusun dan desa. Geger budaya, gegar cara hidup. Perilaku melanggar norma sosial. Sebagian dari mereka rajin mengirim devisa, sebagian lagi pulang sebagai orang dengan HIV/AIDS. Sindrom kekebalan tubuh itu kian gila mengganas. Diam-diam membunuh generasi kampung kita. Mati dalam kemiskinan. Siapa peduli?

Oh Flobamora! Inilah zaman ketika bidadari dusun tak lagi cakap menanam, menenun dan menumbuk padi di dalam lesung. Pangeran kampung tak mahir lagi mengiris tuak, canggung menunggang kuda berpelana tikar usang yang bikin pantat lecet luka. Inilah zaman ketika kuda sudah berganti Honda, Suzuki, Yamaha. Pemuda desa lebih mahir mengojek ketimbang sadap moke sebagai penopang ekonomi keluarga. Tugas kerbau diambil over traktor tangan. Sapi kurus kering karena tak lagi para gembala dan pakan yang cukup. Alam meranggas karena serakah. Lalap daun kacang sudah berganti mie instan.

Mau apa lagi tuan dan puan? Urbanisasi sungguh tak terelakkan. Pragmatisme hidup melanda kampung-kampung kita di beranda Flobamora. Minyak tanah, bensin dan solar naik sedikit, semua meringis jerit. Tanpa mie instan dan bakso, makan seolah tak lengkap. Hape telah menggantikan sapaan. Ladang kebun tak serius digarap karena pasar dipercaya menyediakan segalanya.

Inilah zaman ekonomi uang! Uang dan uang. Inilah zaman bantuan langsung tunai yang menjerat rakyat jadi peminta-minta. Suka menadahkan tangan! Tidak penting tanam jagung, ketela dan kacang-kacangan untuk kebutuhan rumah tangga. Uang lebih dipercaya meski tak sanggup menggusur busung lapar. Tak mujarab menihilkan gizi buruk berkepanjangan.

Ribuan desa di NTT sekarang apakah masih sebuah desa? Apakah masih komunitas bernama orang kampung? Komunitas yang tanpa gegas diburu waktu, tak resah menyongsong hari dan tiada perkara yang menggayut sepanjang waktu? Komunitas yang mampu menghidupi diri sendiri karena alam memang menyediakan lebih dari cukup? Ribuan tahun leluhur kita hidup di kampung. Beranak-pinak hingga darah mereka masih mengalir dalam tubuh kita sekarang. Kampung adalah anugerah. Kampung adalah kehidupan itu sendiri. Tak harus pergi untuk tetap hidup.

Malam itu, malam purnama di kampung leluhur, kusadari pesona desa yang hilang. Kampung yang meredup. Aih, jangan-jangan malah cara berpikirku yang kampungan. Tidak paham moderninasi. Tidak mengerti globalisasi. Tidak adaptif terhadap gempuran urbanisasi. Lupa diri bahwa dunia berubah. Tidaklah mungkin orang mundur ke zaman batu.

Kemajuan, apakah mesti menggusur nilai-nilai adiluhung kampung? Jujur, beta takut kehilangan kampung yang dulu. Harap maklum, beta lahir dan besar di dusun. Siapa tidak merindukan kampung? Bercanda dengan sungai, menggerayangi ngarai, mendekap lembah, memeluk gunung, menciumi amis lumpur muara dan mendengar ocehan burung-burung? (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 15 Maret 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes