Negara


PUKULAN bertubi-tubi, tendangan berkali-kali serta hantaman batu kayu, parang dan belati entah dari siapa membuat Ahmad Tajudin (26) sesak napas. Hanya dalam hitungan detik Tajudin mati bersimbah darah. Sekujur tubuhnya penuh bilur-bilur luka. Peti kemas menggunung di Tanjung Priok menjadi saksi bisu, Tajudin mati ketika menjalankan tugas atas nama negara.

Hari itu Rabu 14 April 2010, Aida Afriyanti (23) kehilangan sang kekasih. Tajudin dan Aida sudah pesan cincin kawin. Rencana mereka naik pelaminan tepat tanggal 10-10-10 (2010) remuk berderai. "Itu semua tinggal kenangan," kata Aida sambil terisak saat mengantar jenazah kekasihnya menuju liang lahat. Aida-Tajudin sungguh mengalami tragedi kasih tak sampai karena kematian.

Ahmad Tajudin adalah satu dari tiga anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang menjadi korban dalam tragedi penertiban Makam Mbah Priuk di Koja, Jakarta Utara 14 April 2010. Dua rekan Tajudin juga mengalami nasib yang sama, yakni Warsito Soepomo (44) dan Israel Jaya Mangunsong (27).


Tajudin punya ikatan dengan makam itu. Dia sering berziarah dan berdoa di sana sehingga menjelang waktu penggusuran dia kirim SMS minta maaf kepada teman-temannya. "Sebelum kejadian dia kirim SMS meminta maaf bahwa dia akan menggusur bangunan keramat di Tanjung Priok. Dalam hati sebenarnya dia tidak mau," kata Ahmad Alhabsi, salah seorang teman Tajudin.

Hatinya tidak mau tapi Tajudin mesti bersikap profesional. Panggilan tugas sebagai anggota Satpol PP mengikatnya untuk melaksanakan tugas penertiban lahan di makam Makam Mbah Priuk sebagaimana perintah Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Maka bergabunglah dia bersama sekitar 400 lebih anggota Pol PP dari berbagai wilayah di ibukota negara RI tersebut. Mereka mengepung Mbah Priuk.

Negara yang hadir di Priok Rabu pagi itu sungguh berwajah sangar. Wajah berani mati berperang melawan rakyat sendiri! Satuan Pol PP yang sejak lama identik dengan kekerasan sebagai tukang gusur Pedagang Kaki Lima (PKL), tukang grebek lokasi prostitusi, jalur hijau dan lainnya tampil garang dan angkuh. Jumlah mereka begitu besar untuk menertibkan lahan makam tak seberapa luas.

Tak dinyana rakyat memilih cara sangar yang sama. Lu jual, beta beli! Dan, terjadilah perang terbuka negara vs rakyat. Rakyat melawan habis-habisan bersenjatakan batu, kayu, kaleng bekas, pisau, pentung dan parang. Sepanjang hari Rabu itu kita menyaksikan lewat layar televisi perang memalukan. Pol PP dan Polisi kejar-kejaran dengan massa. Mereka bakupukul, bakulempar, bakutendang sampai bakubunuh. Situasi tak terkendali selama berjam-jam. Bayangkan tuan dan tuan, peristiwa itu berlangsung di ibu kota republik tercinta. Disaksikan dengan perasaan geli komunitas masyarakat internasional.

Massa membumihanguskan sekitar 50 unit mobil dan truk milik Pol PP dan Polisi. Ekspresi kebencian binal bergulir. Asap hitam membubung tinggi, memperkaya langit Jakarta yang polutan. Simbol-simbol negara gosong seperti pantat priuk. Yang tersisa hanyalah rangka besi menghitam. Wajah Indonesia Raya sontak kembali ke zaman barbar.

Negara adalah musuh, begitulah yang terekspresi dari tragedi Mbah Priok yang mencabut tiga nyawa serta melukai 146 orang. Ketika rakyat melawan simbol negara atau simbol pemerintah secara spartan, kewibawaan negara sungguh luruh berderai. Mosaik keruntuhan itu utuh menyembul di Priok Rabu lalu. Boleh jadi inilah akumulasi kekecewaan selama bertahun-tahun. Inilah puncak kemarahan rakyat yang terlalu lama diperdayai negara. Sudah terlalu menderita dilinggis pemerintahan negeri.

Negara berdagang dengan rakyat, negara memperkosa hak rakyat, negara memusuhi rakyat bahkan tega membunuh rakyat atas nama kepentingan umum bukan isapan jempol. Kiranya benar kata banyak orang bahwa dalam hal mengelola negara dan pemerintahan kita seperti menari poco-poco. Maju selangkah, mundur dua langkah! Indonesia akan memasuki usia 65 tahun. Selama itu kita tidak pernah bergeser dari titik nol. Ironis memang!

Jujurlah tuan dan puan. Bukankah tuan lelah menyaksikan negara tidak sanggup menyelesaikan persoalan dengan cara humanis-inklusif? Banyak urusan gawat menyentuh hak asasi rakyat justru tak sanggup dikelola negara ini dengan benar. Geram betul menatap negara tidak tegas terhadap mereka yang menghujat dan menganiaya kelompok umat agama tertentu. Negara bersikap banci menanggapi aksi pembakaran rumah ibadah yang kerap terjadi atau pengusiran secara paksa sesama saudara yang hendak menjalani ibadah agamanya.

Hati kita perih menyaksikan negara cuek bebek alias masa bodoh menghadapi rakyat mati hari demi hari akibat gizi buruk dan kelaparan. Ketika anomali iklim meradang akibat kerakusan manusia merusak alam, negara pun diam-diam saja. Banjir bandang urusan rakyat. Tanah longsor peduli amat. Musim kering berkepanjangan, salahkan alam! Bencana datang, negara bergaya ala petugas pemadam kebakaran.

Negara seolah merasa bukan perkara besar menghadapi gempuran narkoba dan epidemi HIV/AIDS yang membunuh anak bangsa hampir setiap menit. Negara mati angin dan tebang pilih menindak koruptor yang kian berani beraksi menggarong duit. Ketika Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita digerayangi, diperkosa bahkan dibunuh secara keji saat mencari sesuap nasi di negeri orang, negara terlihat tak bergigi, sontoloyo dan bodoh. Hidup di negara yang lemah dan rakyat yang gampang marah, kira-kira begitulah wajah kita. Berbuat sesuatu atau memilih diam? Silakan pilih tuan dan puan. (dionbata@gmail.com)

Pos Kupang edisi Senin, 19 April 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes