Kambali Meniti Jalan Sunyi


Kambali (kiri) serahkan buku kepada Sunarko
KAMI  biasa menyapanya  Cak Ali atau  Mas Ali.  Nama lengkapnya Kambali Zutas.  Anak  Nganjuk,  Jawa Timur.  Energik.

Ukuran tubuh mini mirip diriku.  Hobinya bikin makanan enak.
Sedap. Segar. Sehat.  Selalu dinanti pasukan redaksi di Ketewel Sukawati Gianyar.

Keistimewaanya, dia jurnalis  dan penulis  muda  yang tekun dan produktif.

Salut!

Baru saja  Cak Ali  meluncurkan buku.

Topiknya asyik: Euforia Sepak Bola Bali (Tonggak  Media,  Maret 2020).

Sebagai pemuja sepak bola, saya senang tak terkira  menyambut karya tulis editor Harian Pagi Tribun  Bali ini.



Setidaknya saya boleh mengecapi dan menimba lagi larik  lirik pesan bola dari sana.

Pesan sportivitas, perjuangan, kekalahan, kemenangan, perayaan, pesta dan juga air mata.

Air mata bola.

Sepak Bola Bali  bukan Sepak Bola di Bali.

Mirip tapi beda makna, kawan.

Cak Ali meracik  diksi apik.

Mengandung  makna historis, heroik  sekaligus  romantis.

Tepat amat judul  buku karya sarjana sastra Indonesia jebolan Universitas Jember tersebut.

Pulau  Surga ini baru saja berpesta.

Merayakan gelar  juara liga 1 2019, kasta tertinggi  kompetisi  sepak bola Indonesia.

Adalah klub Bali United alias Serdadu Tridatu  yang membuat Semeton Dewata boleh tersenyum bangga.

Setelah lama menanti  berpuluh-puluh tahun.

Menapaki onak dan duri. Jatuh bangun.

Pria kelahiran 14 Juli 1982 ini  merajut buku dalam narasi khas jurnalis.

Ringan bernas,  renyah mengalir  melegokan nalar dan rasa.

Setebal 236 halaman, buku Eurofia Sepak Bola Bali terbagi dalam lima bagian atau bab.

Cak Ali mengantar pembaca  masuk sejenak ke sejarah masa lalu sepak bola Bali.

Tersaji  lengkap bagaimana dinamika  prestasi sepak bola di pulau peristirahatan eksotik ini.

Ali kemudian menampilkan euforia teranyar kala Serdadu Tridatu meraih trofi juara di penghujung 2019.

Dia melukiskannya sebagai babak baru.

Bagian  kedua menyentuh arena pelatih.

Arsitek dari bibir lapangan hijau yang menentukan irama permainan si kulit bundar.

Catatannya padat berisi.

Mulai dari nyanyian akar rumput ala pelatih kondang Indra Sjafri sampai rahasia dua gelar beruntun seorang polyglot.

Di sini sidang pembaca  akan menemukan  pergumulan  Widodo Cahyono Putro (WCP) serta Coach Stefano Cugurra Teco  yang membawa kultur Brazuca Brasilia  bercita rasa Catenaccio.

Tak lupa arena   pemain yang selalu  menebar pesona.

Itu bagian ketiga buku Euforia Sepak Bola Bali.

Ada secuil kisah pengayu Nano Sukadana.

Esai  menarik tentang Stefano Lilipaly  jadilah  Douwes Dekker.

Pun refleksi spiritual  Ngurah Nanak, Yabes Roni Malaifani dan Miftahul Hamdi.

Masih di bab yang sama pembaca dimanjakan  kisah  Maulana “Fellaini”, the legend  Fadil Sausu,  Mihael Essien, gol bunuh diri  Willian Pacheco, aksi memikat Spider Wan di bawah mistar gawang hingga gocekan si  tampan Irfan Bachdim yang bercerita tentang Bali sebagai surga  pelipur lara.

Bagian keempat menelisik  pemain  keduabelas.

Siapa lagi kalau bukan penonton?

Bola tanpa penonton  laksana  sayur tanpa garam. Hambar.

Kehilangan rohnya.

Kursi  penonton  selalu punya kisah sendiri.

Manis dan pahit.

Penuh canda tawa serta air mata lara.

Cak Ali antara lain mengungkap Deklarasi Sanur yang melahirkan Semeton Dewata, adanya suporter instan, fans dadakan sampai kericuhan di kafe.

Dan, bagian penutup ibarar extra time  (tambahan waktu) dalam sebuah laga bola.

Berisi perbincangan  dengan sejumlah tokoh olahraga seperti Ketua KONI Provinsi Bali, Ketut Suwandi dan Ketua Asosiasi Provinsi  (Asprov)  PSSI  Bali, Ketut Suardana.

Mereka menyampaikan pandangan yang memperkaya isi buku.

Paling  akhir terbersit kerinduan kapan  Bali memiliki  stadion megah berstandar internasional.

Sejauh ini Bali mengandalkan Stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar.

Stadion lain  kondisinya masih jauh dari ideal.

Pencapaian Bali United mestinya momentum emas Bali membangun fasilitas olahraga berkelas dunia.

Singkat kata,  Kambali  Zutas menulis Euforia Sepak Bola Bali sebelum, saat dan sesudah Bali United juara Liga 1 Indonesia musim 2019.

Berisi esai saling bertautan yang mengurai  tentang bahasa dan sastra, psikologi dan sosiologi, kultur Bali dan Indonesia dalam bingkai sepak bola.

Semacam melihat  Bali dan Indonesia dari lapangan  bola.

Di balik catatan yang apik, tentu saja ada  kekurangannya di sana-sini.

Namun yang pasti, buku ini  telah memperkaya  referensi tentang sepak bola khususnya di Bali yang jumlahnya tak  banyak.

Referensi  akademis  menghibur. Setitik oase di tengah kerontangnya prestasi sepak bola Indonesia.

Bagi saya  ada sisi lain yang  juga menggembirakan. Euforia Sepak Bola Bali  itu  Tribun Bali banget.

Penulis, editor sampai gambar cover karya awak Tribun Bali.

Editornya  I Putu Darmendra dan  Miftahul Huda.

Gambar cover goresan tangan seniman  I Putu Nana Partha Wijaya.

Nana dan Huda memang tak lagi bersama Tribun Bali.

Belum genap lima purnama yang lalu mereka memilih  medan bakti lain.

Sebelum mengucapkan sayonara  kepada  kami di  Mabes Ketewel  (baca: Kantor Redaksi  Tribun  Bali),  mereka berkolaborasi menghasilkan karya yang akan lama dikenang.

Pemimpin  Redaksi  Harian Tribun Bali, Sunarko,  memang  memberi ruang seluas  mungkin kepada seluruh awak redaksi.

Ruang dan waktu untuk berkreasi dan berinovasi mengembangkan bakat dan talentanya demi menghasilkan karya yang bermanfaat bagi banyak orang.

Tribun Bali  setidaknya berkontribusi memberi ruang yang tampan kepada sederet jurnalis dan penulis muda yang goresan penanya keren.

Sebut misalnya  Ni Ketut Sudiani,  AA Seri Kusniarti,  Eviera Paramita Sandi, I Putu Supartika dan lainnya.

Meniti Jalan Sunyi

Keputusan Kambali  Zutas terbitkan buku  mengundang takjub karena dia telah  meniti jalan sunyi.

Mengapa begitu? Ini zaman virtual bung. Era kejayaan digital.

Manusia menyembah Google lebih dari apapun.  Mau tahu segala hal,  mereka bertanya kepada Google, bukan buku.

Gugling saja beres.

Di tengah arus sedemikian deras itu,  Cak Ali kok malah  menerbitkan buku. Cetak pula.

Padahal era print sudah senjakala.

Di ambang rembang zaman baru.

Aneh bukan?

Butuh keberanian luar biasa untuk melakoninya.

Berbagai survei dan riset terbaru  membuktikan kecenderungan  tren masyarakat membaca  buku menyusut.

Orang beralih ke e-book serta bahan bacaan digital  yang melimpah ruah.

Bahan tersebut mudah  diperoleh dan praktis pula pendokumentasiannya.

Bisa diakses kapan saja jika seseorang membutuhkan.

Berbeda dengan buku cetak yang makan ruang khusus.

Pun dianggap  kurang gaul bagi kaum milenial, generasi keseringan merunduk menatap layar gadget  yang  lebih doyan jelajah virtual ketimbang meraba kertas.

Cak Ali  memilih jalan senyap sebab tak banyak jurnalis, editor atau redaktur media  yang sudi meluangkan waktu merajut esai  atau menganyam serpihan tulisan  terserak menjadi sebuah buku.

Utuh tersaji bagi pembacanya.

Sejauh pengalamanku  ada sejumlah alasan yang mereka ungkapkan.

Yang klasik adalah ketiadaan biaya cetak. Sulit mendapatkan sponsor dan lainnya.

Padahal itu faktor tersier.

Sesungguhnya problem umum editor atau redaktur adalah larut dalam rutinitas.

Enggan berkeringat lebih untuk menghasilkan karya monumental.

Saya ingat  kiat Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Trias Kuncahyono yang produktif menulis buku terutama tentang masalah Timur Tengah.

Penulis buku best seller,  Jalur Gaza:  Tanah Terjanji, Intifada dan Pembersihan Etnis tersebut mengaku selalu mengalokasikan waktu khusus untuk menulis buku di sela pekerjaan pokoknya sebagai wartawan Kompas.

Dia mematok deadline bagi diri  sendiri.

Setiap hari minimal satu sampai dua jam dia merajut bahan tulisan.

Kadang dia bangun lebih pagi atau tidur agak larut ketika ide sedang mengalir.

“Pokoknya agak paksa diri kita untuk menulis. Kalau tidak begitu, satu buku pun nggak pernah jadi-jadi.” ujarnya suatu ketika.

Saya  menduga selama enam hingga tujuh bulan terakhir, Cak Ali telah memaksa dirinya  untuk menulis di sela tugas rutin sebagai redaktur olahraga dan bisnis Harian Tribun Bali serta aneka kegiatan sosial dan keagamaan.

Kalau tidak demikian, maka buku Euforia Sepak Bola Bali takkan  hadir tepat pada waktunya.

Hampir bersamaan dengan kelahiran anaknya yang ketiga, seorang putri.

Sebagai karya tulis yang masuk Katalog Dalam Penerbitan (KDT) dan label ISBN, Euforia Sepak Bola Bali kiranya ikut memperkaya koleksi buku  nasional.

Meskipun tingkat literasi Indonesia terbilang rendah dibandingkan negara tetangga  di Asia Tenggara, namun soal penerbitan buku tersembul fakta menggembirakan.

Menurut data  London Book Fair 2019, Indonesia merupakan negara paling aktif menerbitkan buku di antara  negara anggota ASEAN.

Saban tahun setidaknya 30 ribu judul buku yang terbit  di persada Ibu Pertiwi.

Malaysia berada di posisi kedua dengan 19 ribu judul buku per tahun.

Thailand di posisi ketiga dengan 17 ribu judul buku per tahun.

Menyusul Singapura dengan 9.952 judul buku per tahun dan Filipina dengan 7 ribu judul buku per tahun.

Hanya urusan minat baca peringkat  bangsa kita terbilang  rendah.

Dari 61 negara yang disurvei  The World’s Most Literate Nations (WMLN), Indonesia di posisi ke-60.

Dalam daftar tersebut, negara-negara Nordic menempati peringkat teratas seperti Finlandia, Islandia, Denmark, Swedia dan Norwegia.

Di Asia, peringkat teratas dipegang Korea Selatan (22), Jepang (32), Singapura (36), China (39), Malaysia (53), Thailand (59) dan Indonesia (60).

Pengelola Perpustakaan Nasional  RI tentu berterima kasih kepada penulis seperti Kambali Zutas yang ikut menyumbang karya dengan harapan mendorong minat baca.

Sudah semestinya para jurnalis dan penulis  berkontribusi serupa itu mengingat mereka memiliki kapasitas, pengetahuan dan keterampilan merangkai kata.

Langkah sunyi  Mas Ali semoga menular kepada yang lain.

Negeri ini masih membutuhkan banyak penulis buku.

Orang  bilang buku adalah mahkota seorang wartawan.

Kambali Zutas dalam usia muda mulai merintis jalan  memahkotai dirinya.

Euforia Sepak Bola Bali merupakan buku keduanya setelah tahun lalu dia meluncurkan antologi puisi berjudul  Laila Kau Biarkan Aku Majnun (Tonggak Media, 2019).

Berharap  Kambali Zutas  kembali menghadirkan karya-karya terbaru.

Teruslah menulis  Cak!

(dion db putra)

Sumber: Tribun Bali
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes