ilustrasi |
Dalam keriuhan pandemi Virus Corona alias Covid-19 sekarang, sekurang-kurangnya mengemuka dua tipe manusia yaitu kepala batu dan tikam kepala.
Yang pertama semua paham maksudnya. Kalau belum ya sebaiknya buka kamus KBBI sekarang.
Nah, yang kedua perlu saya jelaskan agar tak salah paham atau salah sangka.
“Tikam kepala” bukan bermakna menikam kepala dengan suatu benda tajam semisal pisau, gunting, bayonet, tombak atau lainnya.
Tikam kepala itu majas populer di bumi Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk Flores, kampung halaman saya yang eksotik alamnya.
Orang-orang di sana umumnya mengerti pesan di baliknya.
Tapi biar lebih bening benderang lagi saya kutip penjelasan guru dan mentorku, dosen senior program studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Marsel Robot.
Menurut Marsel Robot, frasa "tikam kepala" tergolong majas hiperbola.
Yakni melebih-lebihkan sesuatu atau menggambarkan sesuatu secara berlebihan dengan menggunakan kata-kata dramatis.
Contoh, Ibu adalah malaikat tak bersayap.
Menjelang hari raya Nyepi, harga barang pokok di Bali meroket.
Tikam kepala juga dipadankan "bekerja sangat keras" hingga kepala ke bawah, kaki ke atas.
Padanan lain, jungkir balik, berusaha sekuat tenaga agar berhasil. Contoh kalimat.
“Sejak suami meninggal, ibu Anita bekerja tikam kepala untuk membiayai tiga orang anaknya.”
Jadi tikam kepala di sini bercerita ihwal kerja keras.
Kerja sungguh-sungguh.
Dengan sepenuh hati.
Siapa yang bekerja tikam kepala di tengah pandemi Covid-19?
Banyak yang bisa disebut.
Namun, tempat pertama tentu para dokter, perawat, tim medis.
Singkatnya tenaga kesehatan.
Ketika banyak orang diminta menjaga jarak, tinggal di rumah saja dan menjauhi kerumuman, tenaga kesehatan justru sebaliknya.
Mereka berada di lini terdepan melawan Corona.
Merawat sesama sejak dia sakit bahkan hingga memakamkannya.
Para dokter dan perawat kerja tikam kepala.
Rela mempertaruhkan nyawa sendiri.
Mereka tak mundur meskipun sudah ada dokter dan perawat yang menjadi korban pagebluk yang belum ada obatnya tersebut.
Dua hari lalu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia merilis enam orang dokter meninggal dunia akibat Virus Corona.
Keenam dokter yaitu Dokter Hadio Ali dari Jakarta Selatan, Djoko Judodjoko (Bogor), Laurentius (Jakarta Timur), Adi Mirsaputra (Bekasi), Ucok Martin (Medan) dan Toni Daniel Silitonga (Bandung).
Tidak hanya di Indonesia.
Dokter dan perawat pun gugur di berbagai belahan dunia dalam usaha mereka menyelamatkan penderita Covid-19.
Nasib tenaga medis yang masih hidup pun mengalirkan lara.
Mereka meninggalkan keluarga, suami, istri dan anak-anak di rumah.
Mesti bekerja di rumah sakit atau klinik.
Tidak selalu boleh pulang ke rumah sebagaimana lazimnya karena berpotensi terpapar virus sehingga dapat menularkan kepada orang-orang terdekat.
Di Indonesia, tenaga kesehatan bekerja dalam kondisi Alat Pelindung Diri (APD) minim.
Di Bali baru kemarin datang APD sebanyak 4.000 unit dari kebutuhan ideal sekitar 20.000.
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat (NTB) baru kebagian 500 unit.
Mengingat kondisi wilayah NTT yang demikian luas dan berpulau-pulau sudah terbayang betapa secuilnya 500 APD itu.
Bekerja merawat pasien Corona tanpa APD merupakan tindakan bunuh diri.
Namun, kita tetap bersyukur karena barang penting ini sudah ada daripada tidak sama sekali.
Sudah banyak cerita betapa kejamnya korban Covid-19.
Jika tuan dan puan sakit jangan menanti kunjungan keluarga atau kekasih hati.
Dilarang keras atau mereka ikut terpapar hingga akhirnya terjangkit juga.
Mereka yang meninggal dengan status positif covid-19 tak boleh dikuburkan oleh sanak famili.
Di Italia, misalnya, pemakaman massal diambil alih militer.
Kisah di negeri China, Denmark. Inggris, Iran, Amerika Serikat dan lainnya setali tiga uang.
Perkembangan terakhir Corona hingga 24 Maret 2020 pukul 12.00 WIB masih bermuram durja.
Di Indonesia jumlah kasus 686, sebanyak 55 orang meninggal, 30 sembuh.
Ketambahan 107 pasien baru dan 6 orang meninggal dari sehari sebelumnya. Untuk level dunia hingga 23 Maret, sebanyak 378.287 orang terinfeksi, 100.958 sembuh dan 16.497 meninggal dunia.
Tren kasus masih terus meningkat.
Artinya kebijakan memutus mata rantai penyebaran virus merupakan langkah terbaik.
Kita di Indonesia tidak memilih lockdown (mengunci sebagian wilayah atau seluruh negara) seperti Italia, Denmark, Filipina, Malaysia, Amerika Serikat dan negara lainnya. Kita ambil opsi social distancing atau gampangnya menjaga jarak.
Kalau demikian patuhilah komando pemerintah yang hari-hari ini tikam kepala mencari segala cara melawan Corona.
Ibarat perang melawan Corona, pemerintah adalah panglimanya.
Etika yang berlaku di palagan perang, patuhi perintah panglimamu.
Tuan jangan kepala batu.
Kepala batu itu beda tipis dengan kepala angin.
Malu kan disebut kepala angin?
Puan jangan kepala batu.
Berdiam dirilah di rumah selama dua pekan ke depan sambil tetap mengusung pola hidup sehat dan tak lupa berdoa.
Bunuh nafsumu jalan-jalan untuk kepentingan tak mendesak.
Jaga jarak.
Jangan bergerombol mengumbar gosip.
Cerita keburukan orang lain.
Main kartu atau catur berjam-jam sampai muka pucat pasi atau begadang berjudi.
Kalah judi itu stress, bung.
Stres bikin fisikmu loyo, imunitas badan terbang jauh, memudahkan si corona masuk tubuh.
Keok!
Di Bali, pemerintah provinsi dan kabupaten kota meminta seluruh masyarakat tetap berada di rumah hari Kamis, 26 Maret 2020 atau sehari setelah Nyepi.
Tidak boleh jalan-jalan.
Kebijakan ini menegaskan social distancing yang telah bergulir sejak pekan silam.
Semoga tak ada yang keras kepala melawan.
Lihat kisah kehancuran Italia.
Awalnya Corona hanya bersiul kecil di utara negeri Pizza.
Saat pemerintah mengunci wilayah tersebut, warganya berbondong-bondong ke tengah dan selatan.
Bahkan ketika Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte umumkan lockdown seluruh negara pada 9 Maret, kebanyakan warga tetap keras kepala.
Kepala batu.
Masih berkunjung ke bar, mal, bioskop, restoran.
Jalan-jalan.
Bebas merdeka.
Pandang gampang Corona.
Mereka tidak sadar menyebarluaskan virus yang semula hanya secuil di utara negeri Valentino Rossi.
Dokter dan tim medis dari China yang ikut membantu di Kota Milan geleng-geleng kepala menyaksikan perilaku
demikian.
Anda tahu kan akibatnya?
Italia sekarang tunggang-langgang.
Air mata deras mengalir.
Kematian terbanyak di dunia.
Menembus angka 6.077 orang hingga 23 Maret 2020.
Pernah dalam sehari jumlah yang meninggal hampir 700 orang.
Betapa repotnya tentara mengurus jenazah sebanyak itu.
Amerika Serikat (AS) yang sempat jumawa dan kepala batu kena juga dampaknya.
Kemarin, pejabat berwenang di bidang kesehatan AS melaporkan, lebih dari 100 kematian berhubungan dengan Virus Corona dalam sehari.
Ini pertama kalinya sejak wabah melanda negeri Paman Sam.
Jumlah ini menambah total kematian di seluruh wilayah AS menjadi 533 orang.
Kematian terbanyak di New York, yaitu 158 kasus.
Wakil Presiden Mike Pence dalam konferensi pers di Gedung Putih, Senin (23/3/2020), menyebut 313.000 tes corona telah dilakukan dan lebih dari 41.000 orang positif.
Pada hari Selasa (24/3/2020), total jumlah kasus di AS mencapai 43.214, dengan 552 kematian dan 0 pasien yang sembuh.
Angka kasus berpeluang bertambah kendati dua negara bagian, New York dan California sudah memilih lockdown.
Jelas pesannya, kepala batu tak ada faedah sama sekali.
Terbaik adalah tikam kepala dalam rupa dan cara yang dapat kita kerjakan.
Terakhir namun penting, kepala dingin.
Sabar dan tidak panik atau membuat orang lain panik.
Dalam situasi mencekam saat ini kendalikan betul jari-jarimu.
Kurangi sebar berita atau informasi yang berpotensi melemahkan semangat juang.
Mari kita lipatgandakan praktik cerdas, usaha terbaik, maupun aksi bersama untuk bertahan hidup.
Banyak nian wujud solidaritas sosial yang kini tumbuh di tengah arus pandemi Coronavirus yang pertama mengamuk di Wuhan China.
Jika mau kritik, carilah saluran dan cara elegan.
Jangan menghujat, nyinyir melulu, lihat sisi buruknya semata.
Kekurangan negara dan aparat itu pastilah.
Perbanyak kisah menggembirakan yang menumbuhkan harapan.
Ingat nasib orang-orang di sektor informal, yang hanya bisa makan kalau bekerja harian.
Mereka paling terpukul ketika pemerintah mewajibkan jaga jarak.
Berempatilah pada mereka.
Simak warta media massa terpercaya yang saban hari mengabarkan praktik cerdas melawan Corona.
Jangan lirik medsos 24 jam nonstop dan telan bulat banjir bandang informasi tanpa tapis dan validasi.
Tugas kemanusiaan kita hari ini adalah menghentikan mata rantai penyebaran agar Covid-19 segera berlalu dari kehidupan.
Siapa pun pasti merindukan rangkulan, dekapan, bercengkerama tak berjarak.
Tanpa hand sanitizer atau masker berlapis.
Pilihan bebas sekarang ada di tangan tuan dan puan.
Mau yang mana, kepala batu, tikam kepala atau sekurang-kurangnya kepala dingin saja?
(dion db putra)
Sumber: Tribun Bali