Pantai Kuta 21 Maret 2020 |
Sehari setelah Gubernur Bali Wayan Koster menginstruksikan wali kota dan bupati menutup objek wisata di daerahnya masing-masing.
Instruksi Gubernur Bali mewajibkan semua objek wisata baik yang dikelola pemerintah, swasta maupun desa adat untuk sementara tidak menerima kunjungan wisatawan mancanegara, nusantara maupun lokal.
Efeknya nyata.
Suasana tampak lengang di kawasan jalan Legian dan Monumen Ground zero, Kuta, Sabtu, (21/3/2020). Hanya terlihat beberapa kendaraan melintas di kawasan tersebut.
Suasana tampak lengang di kawasan jalan Legian dan Monumen Ground zero, Kuta, Sabtu, (21/3/2020). Hanya terlihat beberapa kendaraan melintas di kawasan tersebut. (Tribun Bali/Rizal Fanany)
Dua rekanku jurnalis Harian Pagi Tribun Bali Rizal Fanany dan Zaenal Nur Arifin melaporkan, suasana tampak lengang di kawasan jalan Legian dan Monumen Ground Zero Kuta sepanjang Sabtu
(21/3/2020).
Hanya terlihat beberapa kendaraan melintas di kawasan yang arus lalu lintas biasanya padat merayap tersebut.
Restoran dan lapak suvenir tetap buka. Namun, pengunjung nyaris kosong.
Menurut seorang polisi lalu lintas yang piket di depan Monumen Peringatan Bom Bali alias Ground Zero, kawasan Legian sudah mulai sepi sejak Jumat (20/3/2020).
"Sudah kemarin terlihat sepi,” ujarnya.
Sepinya wisatawan pun diakui Nurianto, pedagang suvenir. Dia mengatakan, kawasan Ground Zero dan sepanjang jalan Legian lebih santai daripada biasanya.
"Ya tahu sendiri, Legian nggak pernah sepi, kendaraan pasti mengular. Tapi dua hari ini sepi, " kata Nurianto.
Tidak hanya Legian yang lengang. Jalan menuju pantai dan kawasan pantai Kuta pun senyap.
Jumlah pengunjung bisa dihitung dengan jari. Inilah pertama kali Kuta tanpa wisawatan sejak terakhir 2005 pascainsiden Bom Bali II.
Nasib yang sama melanda Pantai Pandawa dan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park di Kuta Selatan. Bali Zoo, Ubud dan objek wisata lainnya.
Bajra Sandhi, Monumen Perjuangan Rakyat Bali di Lapangan Niti Mandala, Renon pun ditutup untuk umum tanggal 21-30 Maret 2020.
Bisa dilukiskan pariwisata Bali kini lockdown selama dua pekan dan berpeluang diperpanjang tergantung seberapa dahsyat amukan Virus Corona hari-hari mendatang.
Menyimak tren datanya, kepedihan ini agaknya belum segera bertepi.
Sepi sebelum Nyepi
Sepi sebelum hari raya Nyepi 25 Maret 2020 akhirnya benar-benar terjadi di Bali. Sebuah keputusan rasional realistis di tengah pandemi global Covid-19 yang menelan korban jiwa hampir 10.000 orang sejagat.
Di Bali hingga 21 Maret sudah 4 orang yang positif, 2 meninggal dunia dan 21 pasien dalam pantauan (PDP).
Instruksi Gubernur Bali menutup objek wisata sejalan dengan keputusan Pemerintah RI menangguhkan kebijakan visa-on-arrival selama satu bulan terhitung sejak hari Jumat 20 Maret 2020.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Sebagian kalangan sesungguhnya mengharapkan pemerintah menutup objek wisata lebih lekas mengingat Bali merupakan tempat persinggahan paling ramai manusia dari seantero dunia.
Pesona Pulau Dewata tak memudar bagi wisatawan meski Corona sudah membunuh ribuan orang di Wuhan pada Februari lalu.
Al Jazeera melaporkan, sebelum Presiden Jokowi mengumumkan kasus Corona pertama di Indonesia 2 Maret, sebanyak 400.000 wisatawan dari Australia, Rusia, Korea Selatan, India, Jepang dan lebih dari 100 negara lain menuju Bali.
Dalam 12 hari pertama bulan Maret ini bahkan masih 114.000 orang asing yang datang.
Itulah mengapa pesimisme sempat mencuat tatkala kebijakan social distancing bergulir pada 16 Maret 2020 sementara Bali tetap menerima kunjungan wisatawan.
Ironis. Yang di dalam diminta berdiam di rumah sementara dari luar silakan berdatangan.
Syukurlah hari-hari ini semua telah dikunci untuk sementara sambil berharap prahara Covid-19 segera berlalu dari buana.
Memang bisa dipahami bila Bali tidak serta merta menutup objek wisata.
Kita maklumi kehati-hatian pemerintah. Di pulau peristirahataneksotik ini lebih dari tiga perempat geliat ekonomi terkait pariwisata.
Pariwisata merupakan sumber utama sehingga penutupan objek wisata berpeluang menjadi bencana besar bagi populasi 4,2 juta orang.
Ada secuil adagium, tanpa turis Bali akan mati! Sekitar 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Bali bersumber dari pariwisata.
Bali tak memiliki sektor penopang ekonomi alternatif yang kokoh. Menutup kran wisata berarti mengganggu peri kehidupan khalayak.
Banyak orang menganggur. Kehilangan pendapatan sehari-hari. Kelompok rentan tentu paling berisiko.
Di sinilah kita mengerti mengapa agak lama baru pemerintah menutup objek wisata seiring pemberlakuan jaga jarak, hindari kerumuman dan berdiam di rumah saja atau social distancing.
Benar bahwa Bali bergantung pada pariwisata.
Tapi saat ini tidak penting lagi membicarakan itu karena hampir semua negara melarang warganya bepergian di tengah pandemi Corona yang terus menelan korban saban hari.
Toh kepedihan ekonomi yang sama karena penutupan objek wisata pun telah mendera Singapura, Roma, Barcelona, Paris, Monaco, Karibia dan negara-negara lain yang merupakan magnet bagi para wisatawan dunia.
Tak sepenuhnya benar tanpa turis Bali akan mati.
Dari purnama ke purnama Bali tangguh menghadapi cobaan, tidak mengeluh berlebihan dan pasrah begitu saja.
Ketika ada masalah mereka berusaha menemukan solusinya.
Dalam dua dekade terakhir Bali telah mengalami kegetiran ekonomi berulang kali. Kerusuhan Mei 1988, bom Bali 2002 dan 2005, prahara keuangan global tahun 2009 dan letusan Gunung Agung tahun 2017.
Pada setiap momen krisis itu, wisatawan berbondong-bondong melarikan diri dari pulau ini. Semua negara menetapkan travel warning.
Objek wisata hening. Tapi setelah badai berlalu mereka selalu kembali lagi ke Bali dalam jumlah yang jauh lebih gemuk.
Begitulah Bali. Segudang pesona ada di sini. Pemandangan alam indah, akomodasi wisata nyaman memanjakan, penduduk yang ramah dan keutamaan budaya klasiknya yang paling unik dan paling terpelihara di bumi.
Dikau tidak akan menemukan di belahan dunia manapun.
Ketika tahu saya bertugas di Bali sejak tahun lalu, Natalia, temanku asal Ukraina mengirim pesan, “Dion, kamu sangat beruntung.
Bali adalah kerinduanku yang belum terwujud. Saya tetap akan ke sana suatu hari nanti.”
Secercah Harapan
Prahara Corona hari ini sungguh mendebarkan. Namun, bukan berarti tanpa secercah terang di ujung terwongan.
Kesembuhan sudah terbukti ada dan jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang meninggal dunia.
Pemerintah pun tidak tinggal diam. Dalam segala keterbatasan, berbagai upaya terus bergema. Inilah sejumput kabar baik agar optimisme tetap berkibar-kibar.
Pemerintah sudah memulai tes massal Covid-19 dari wilayah paling rawan yaitu di Jakarta Selatan.
Wisma Atlet Jakarta mulai tanggal 23 Maret disiapkan untuk 2.000 pasien corona.
Sebanyak 2 juta masker, sedang disiapkan dalam waktu dua minggu ke depan.
Lima ratus ribu test kit Covid-19 sudah diorder dari China dan masuk ke Indonesia secara bertahap. Pemerintah akan gelar drive-thru di beberapa titik untuk tes corona ala Korea Selatan.
Rumah sakit NU, Muhammadyah dan Aisyiyah, siap tangani pasien Corona. Hotel Patra Jasa akan dimodifikasi menjadi rumah sakit khusus pasien Corona.
Acara Ijtima Jamaah Tabligh Akbar di Gowa yang rencananya melibatkan puluhan ribu jamaah, dibatalkan. Jamaah menjalani karantina.
Gereja pun menerapkan perayaan ekaristi dan peribadatan secara online dan streaming.
Seorang pejabat tinggi daerah di Kalimantan membatalkan resepsipernikahan anaknya meski undangan sudah beredar.
Makanan dibagikan buat panti asuhan. Banyak orang lain memilih langkah serupa.
Solidaritas sosial tumbuh mengental. Wardah menyumbang Rp 40 miliar untuk penyediaan prasarana kesehatan. Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia menggalang dana bantuan senilai Rp 500 miliar.
Banyak organisasi masyarakat dan kelompok-kelompok berkontribusi dalam aneka bentuk, semisal bagi-bagi masker gratis, hand sanitizer dan makanan.
Dukungan moril kepada dokter dan terus perawat berdatangan.
Solidaritas bergaung di berbagai belahan dunia.
Para pemain bola professional rela memotong gaji, para atlet dan pesohor kaya mendonorkan dana miliaran dolar demi membantu pencegahan Corona.
Jack Ma, misalnya, lewat Jack Ma Foundation dan Alibaba Foundation menyumbangkan 2 juta masker, 150 ribu test kit Covid-19, 20 ribu baju pelindung wajah, 20 ribu pelindung wajah ke empat negara Asia Tenggara teramasuk Indonesia.
China mengirim dokter terbaiknya ke berbagai negara yang terinfeksi.Para pakar tengah berjuang menciptakan vaksin Covid-19.
Semoga dalam waktu dekat siap produksi massal.
Api harapan tak pernah padam bukan? Kalau demikian bolehlah tuan dan puan mematuhi arahan negara (pemerintah) agar social distancing tidak merana nasibnya.
Namun, sepekan berlalu kebijakan ini masih jauh panggang dari api. Kerumunan masih terlihat di berbagai sudut Bali.
Pun demikian di belahan lain Indonesia semisal Nusa Tenggara Timur (NTT), kampung halamanku, yang jumlah PDP naik signifikan dalam sepekan.
Terbetik kabar masih ada seminar, pertemuan dan hajatan pesta. Oh Tuhan.
Jujurlah. Kita adalah bangsa tidak disiplin. Kurang tertib. Anggap remeh, lengah bahkan ceroboh. Jatuh korban dulu baru tergopoh-gopoh.
Lihat itu negeri adidaya Amerika Serikat. Pemimpinnya jumawa, anggap remeh Corona, rasis menyebut virus China.
Amukan Corona bikin Amerika tunggang-langgang di pekan terakhir Maret, saat China hampir pulih
total dan aktif membantu banyak negara sahabat.
Dua negara bagian Amerika, California dan New York kini memilih lockdown. Ratusan juta orang dilarang keluar rumah. Langgar dapat hukuman.
Meski Presiden Trump bilang seluruh Amerika tak perlu lockdown, siapa tahu besok akan berubah.
Coronavirus tidak pandang bulu bung. Kesombongan dan kepongahan akan membunuhmu.
Maka kalau tuan sayang diri dan sesamamu, hentikan sikap pandang gampang.
Ajakan pemerintah menjaga jarak, hindari kerumunan massa, berdiam di rumah saja dan tetap mengusung pola hidup sehat merupakan pilihan rasional demi mencegah penyebarluasan pagebluk Covid-19. (dion db putra)
Sumber: Tribun Bali