ilustrasi |
Di Istana Merdeka Jakarta hari Senin 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua Warga Negara Indonesia (WNI) positif terjangkit virus corona.
Gempar! Televisi berita bikin breaking news berjam-jam. Media online perbaharui informasi detik demi detik. Media cetak mengemas laporan dari beragam sudut pandang. Media sosial jangan bilang lagi. Riuhnya minta ampun.
Kekhawatiran coronavirus (Covid-19) positif masuk Indonesia sesungguhnya berembus sudah lama, sejak Januari 2020 ketika virus yang bermula dari Kota Wuhan, China itu mulai menyebar ke beberapa negara Asia.
Pertama Filipina, Singapura, Korea Selatan, Malaysia, Jepang dan negara lainnya. Pada bulan Februari 2020, Eropa, Amerika, Australia pun terjangkit virus mematikan tersebut.
Sempat muncul sejumput keraguan apakah benar Indonesia yang berada di jantung benua Asia ini aman-aman saja?
Positive thinking mesti tetap dikedepankan. Pemerintah Indonesia tentu tak bermaksud menutup-nutupi.
Pemerintah harus memastikan secara medis baru umumkan kepada publik adanya WNI yang terjangkit. Dan, itu sudah disampaikan sendiri oleh Kepala Negara RI Joko Widodo.
Entah apa yang tiba-tiba merasukinya, reaksi sebagian saudara kita sebangsa dan setanah air agak mengejutkan. Di Jakarta dan beberapa kota, orang mendadak borong sembako serta kebutuhan rumah tangga lainnya.
Terlihat antrean panjang di pusat-pusat perbelanjaan. Keranjang belanja penuh sesak. Mereka seolah takut kehabisan stok pangan sehingga beli sebanyak mungkin untuk persiapan. Berpikir seakan besok akan kiamat.
Permintaan terhadap masker pun menjulang tinggi hingga stok habis di berbagai toko dan apotek. Kalaupun ada harganya selangit. Uniknya lagi orang tetap saja beli.
Sulit memungkiri bahwa virus dari Wuhan telah membuat dunia terbirit-birit. Tunggang langgang. Setidaknya dalam 60 hari terakhir, kecemasan merebak hampir di seantero bumi lantaran angka kasus corona meningkat saban hari.
Sampai 2 Maret 2020, covid-19 terkonfirmasi menyebar di 65 negara dengan jumlah kematian 3.006 orang dan 88.227 lainnya terinfeksi. Bisa dipastikan angkanya akan terus bergerak naik hari demi hari.
Begitulah sisi kelam dunia tanpa sekat alias globalisasi. Batas-batas geografi dan teritori tak punya arti lagi. Dunia ibarat sebuah kampung kecil. Di era 4,0 ini malah bumi hunian kita semakin mengerut.
Seolah cuma seukuran gadget di telapak tangan yang terhubung dengan jaringan internet selama 24 jam nonstop. Itulah sebabnya hari ini bukan hanya manusia, barang dan jasa yang bebas keluar masuk batas negara, penyakitpun menyebar bebas ke seluruh bumi. Serentak sekejap.
Virus corona yang bermula dari Wuhan hanya dalam hitungan detik ikut melahirkan kengerian di banyak negeri.
Terulang fenomena epidemi penyakit global yang lebih dulu bikin geger seperti SARS, flu burung, flu babi atau sapi gila yang menyeruduk membabi buta ke pelbagai belahan dunia.
Lalu bagaimana sebaiknya kita menghadapinya? Baik kiranya menyimak kisah anekdot dari Anthony de Mello berikut ini.
Suatu hari wabah menuju ke Damaskus dan melewati seorang kafilah di padang gurun. “Mau ke mana kau wabah?” tanya kafilah.
“Saya akan ke Damaskus, mau merenggut 1.000 nyawa,” jawabnya. Sekembali dari Damaskus, wabah bertemu lagi kafilah itu. Si kafilah protes. “Hai wabah, mengapa kau merenggut 50.000 nyawa, bukan 1.000 orang seperti katamu?”
“Tidak,” kata wabah. “Aku benar-benar hanya ambil 1.000 nyawa. Sisanya mati karena ketakutan.”
Pesan moral anekdot tersebut tentunya bukan candaan yang tak lucu. Kita petik pesannya sebagai ikhtiar bersama menghentikan kengerian dan kepanikan atas coronavirus sekarang juga!
Toh bukan muskil virus itu sejatinya merenggut nyawa ribuan orang saja, tetapi jumlah yang mati bisa puluhan ribu hingga jutaan orang karena takut, rumor dan stigma yang mendera.
Tanggung jawab pertama itu ada di tangan jurnalis dan pengelola media massa apapun platformnya. Media mestinya tidak hanya mewartakan hal-hal yang mencemaskan. Publikasikan pula secara proporsional upaya mencegah dan menyembuhkan.
Sejauh ini jurnalis belum banyak menulis dari sudut pandang mereka yang sembuh dari serangan corona, langkah mitigasi serta rupa-rupa ikhtiar jajaran kesehatan dan semua pemangku kepentingan menghadapi pagebluk global tersebut.
Beberapa jam setelah Presiden Jokowi mengumumkan dua WNI positif terjangkit corona, beberapa media menyebut nama korban dan alamatnya secara gamblang. Televisi menayangkan kediamannya.
Media abai terhadap misi perlindungan kepada korban. Media boleh menulis korban secara jelas kalau yang bersangkutan memang menghendakinya. Tapi sedapat mungkin tidak. Hindari eksploitasi.
Transparasi korban hendaknya tetap dalam konteks kepentingan medis saja demi penanganan dan pencegahan virus itu meluas. Otoritas kesehatan tentu butuh data rinci korban dan siapa saja yang pernah kontak fisik dengannya.
Dengan demikian penanganan akan lebih mudah. Namun, rincian data tersebut tidak serta merta menjadi konsumsi publik melalui pemberitaan.
Sebab korban bisa saja dibully dan mendapat perlakuan kurang elok lainnya. Poinnya adalah di tengah ketidakpastian sekarang, media tak patut menambah demam kepanikan.
Wartakanlah yang menumbuhkan harapan dan optimisme. Good news is good news. Bukan bad news news is good news. Kabar baiknya adalah lebih banyak penderita corona yang sembuh. Di China, hingga 3 Maret 2020, dari total 80.151 kasus 47.270 di antaranya sudah sembuh.
Di Vietnam seluruh 16 pasien bisa disembuhkan. Pun di Amerika Serikat 7 pasien corona sembuh berdasarkan laporan dua hari lalu. Total seluruh dunia yang sembuh 48.212 orang. Artinya lebih banyak yang selamat bukan?
Tanggung jawab media bersama elemen masyarakat untuk terus mendorong pengelola fasilitas publik, institusi pendidikan dan perusahaan merajut sistem higienis yang membantu mengurangi dampak penyebaran virus corona.
Ujian Solidaritas
Serangan virus corona merupakan ujian seberapa tangguh umat manusia dapat menghadapinya. Kebersamaan dan solidaritas menjadi kunci.
Kuat kesan dunia hari ini tercerai-berai. Masih berpikir dan bertindak sendiri-sendiri. Mirip perilaku selfi. Foto diri, puji dan kagumi diri sendiri. Psikologi selfi dekat amat dengan selfish. Mementingkan diriku, bangsaku, negeriku. Egoistis.
Masyarakat dunia tidak boleh lupa bahwa kita ini ibarat menumpang kapal pesiar yang sama. Berlayar di tengah samudera menuju pelabuhan tujuan yang sama jua.
Maka tatkala lambung kapal bocor tertikam gunung karang dan karam, siapapun penumpang di dalamnya akan menghadapi risiko tenggelam bersama-sama.
Karena itu kapal harus kita jaga bersama-sama supaya tidak karam terserang corona. Namanya saja penyakit, covid-19 bisa menyerang siapa pun tanpa kecuali.
Tak peduli kaya miskin, dikau cantik rupawan atau buruk rupa. Dunia harus bersatu. Cari antivirus ini selekasnya. Basmi virus tersebut sehingga kehidupan berjalan normal seperti sediakala.
Kalau masih berpikir dan bertindak sendiri-sendiri ya susah bung. Yang paling mencemaskan adalah terjadi resesi ekonomi. Coronavirus cuma pemicu, dampaknya liar berlari ke mana-mana.
Sinyalnya sudah terendus jelas. Sebagai misal di bidang olahraga. MotoGP Qatar ditunda. BWF pending sejumlah turnamen bulu tangkis. Liga sepak bola Serie A Italia libur.
Olimpiade Tokyo dan kejuaraan sepak bola Piala Eropa (Euro) 2020 dalam bayangan waswas apakah mungkin terlaksana sesuai jadwal.
Belum seorang pun pakar yang memprediksi kapan serangan virus ini akan berujung. Dunia pun takkan pernah tahu setelah corona nanti berlalu, virus apalagi yang bakal berkunjung?
Penting diingat siklus epidemi global belakangan ini makin pendek jaraknya dengan daya rusak mengalirkan air mata lara.
Covid-19 pada akhirnya mengirim pesan kuat bahwa epidemi global tersebut merupakan masalah kemanusiaan. Dia jauh melampaui batas kedaulatan negara, sekat suku, agama dan bangsa.
Ketika menyentuh urusan kemanusiaan, maka setiap insan wajib peduli, bekerjasama, saling mendukung, menopang dan meneguhkan. Hadapi corona secara rasional serta tangan dan hati yang merangkul sesama. (dion db putra)
Sumber: Tribun Bali