Puasa Berciuman


ilustrasi
KAMIS pagi yang adem setelah rinai gerimis menyapa Denpasar, saya menerima pesan WA yang bikin ngakak.

Pesan dari teman karib semasa kuliah yang sedang pulang kampung menemui orangtua dan keluarga.

Kendati sejak penghujung 1990-an dia bekerja di Jakarta, kalau dengan saya gaya komunikasinya tetap berdialek melayu Kupang. Isinya demikian.

“Dion e…, beta nih lagi di Kupang. Pulang tengok mama yang sakit. Maklum umur su (sudah) 79 tahun. Lu (kamu) tahu, yang bikin beta kesal, gara-gara corona beta harus tahan diri ko sonde (tidak) berciuman hidung deng (dengan) mama dan sodara (saudara) yang lain.”

Ya, coronavirus alias Covid-19 yang masih bergentanyangan itu memang bikin dongkol dunia, termasuk sebagian besar masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang punya tradisi berciuman hidung saat bersua.

Di Malaka, teritori eksotis NKRI di beranda terdepan yang berbatasan dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste, bupati harus turun tangan.

Bupati Stefanus Bria Seran yang seorang dokter mewanti-wanti masyarakatnya agar hentikan dulu urusan cium hidung.

"Ciuman hidung memang budaya kita untuk saling sapa, tetapi untuk sementara, jangan dulu," ujarnya seperti diberitakan Kumparan, Selasa (3/3/2020).

Wajar bila Bupati Malaka, Stefanus Bria Seran mengajak puasa cium hidung atau cium Sabu itu.

Sebab sebagian besar masyarakat NTT khususnya di Sabu, Rote, Timor dan Sumba akan merasa kurang afdal kalau tidak bersalaman “hidung bertemu hidung” yang bermula dari tradisi masyarakat Pulau Sabu tersebut.

Tradisi yang dalam bahasa Sabu disebut henge’do ini dapat dilakukan kapan, di mana pun dan dengan siapa saja, tak memandang usia, perbedaan gender, strata sosial dan lainnya.

Lazimnya dipraktikkan saat menyambut atau bertemu seseorang.

Maknanya adalah tanda persaudaraan, kekeluargaan dan penghormatan.

Hidung merupakan alat pernapasan agar manusia tetap hidup.

Masyarakat Sabu Raijua memaknai henge’do sebagai unsur yang dapat menghidupkan rasa kekeluargaan dan persaudaraan walaupun baru pertama kali berjumpa.

Tradisi luhur itu pun telah berkembang jauh menjadi kebiasaan masyarakat Tenggara Timur.

Sebagai pembanding, cium hidung ala Sabu mirip hongi dari Suku Maori di Selandia Baru.

Kembali ke laptop! Coronavirus memang mensyaratkan kita mengurangi kontak fisik sehingga cium tangan atau berjabatan tangan hari-hari ini agak dibatasi.

Bahkan puasa sementara dulu seperti cium hidung di Nusa Tenggara Timur itu.

Di Kabupaten Gianyar, Bali pimpinan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat telah mengeluarkan imbauan agar semua sekolah menghentikan salam jabat dan cium tangan antara murid dan guru.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gianyar, I Wayan Sadra mengajak para murid dan guru menggunakan salam namaste atau mencakupkan tangan di dada.

“Bersalaman dan mencium tangan guru selama ini adalah bentuk etika. Namun, karena kondisi seperti saat ini (epidemi corona) untuk sementara waktu, sikap salaman itu diubah menjadi namaste,” kata Wayan Sadra kepada Tribun Bali, Rabu (4/3/2020).

Dia juga mengimbau kepala sekolah dan guru memantau kondisi anak didiknya.

“Bila ada siswa demam, batuk dan flu segera kontak tim medis. Namun saya berharap tindakan jangan berlebihan yang dapat membuat panik. Sebab saat ini musim hujan, penyakit demikian (batuk, flu) umum terjadi di Indonesia,” ujarnya.

Jangan berlebihan. Itulah kata kuncinya.

Nah seorang kerabat bercerita betapa corona bikin dirinya parno (paranoia).

Apalagi sejak Presiden Joko Widodo mengumunkan dua warga negara Indonesia (WNI) positif
terjangkit corona pada 2 Maret 2020.

Dia yang biasanya gesit bersalam-salaman seusai ibadah mendadak takut bersentuhan tangan.

“Saya takut kena corona,” katanya. Belakangan dia sadar kecemasan itu over dosis.

Mendadak mengubah kebiasaan tanpa menjelaskan alasan berpotensi membuat teman, kolega atau orang lain tersinggung.

Untuk sementara waktu memang dapat dimaklumi harus puasa cium hidung, cuti cipika (cium pipi kiri kanan) dan jabat tangan.

Namun, tidak boleh mengurangi respek dan hormat.

Kita toh masih mungkin menatap mata lawan bicara, cangkupkan tangan di dada atau salam hormat membungkukkan badan ala Jepang.

Pengembaraan corona yang belum bertepi memang mengandung sejumlah konsekuensi yang mesti disikapi secara cerdas dan bijaksana.

Kewaspadaan tetap tinggi namun tanpa mengganggu aktivitas kehidupan masyarakat umumnya.

Bagi umat Katolik, misalnya, ada ritual cium salib saat perayaan Jumat Agung (peringatan wafat Yesus Kristus) awal April 2020 nanti.

Otoritas Gereja tentu sudah punya rencana terbaik. Apakah tetap cium salib sebagaimana berlaku saat ini atau berbeda caranya. Beberapa opsi sudah dikedepankan.

Kisah Indah Corona

Sampai detik ini sebaran kasus virus corona meluas ke sedikitnya 77 negara di seluruh dunia.

Tapi kabar baiknya jumlah pasien yang sembuh dari virus yang awalnya menyebar di Wuhan, China tersebut juga semakin banyak.

Bahkan beribu kali lipat dibandingkan jumlah yang meninggal dunia.

Artinya corona tak melulu kabar seram mematikan.

Ada kisah indah yang menumbuhkan harapan.

Peta persebaran COVID-19, Coronavirus COVID-19 Global Cases by John Hopkins CSSE melansir, hingga Rabu 4 Maret 2020, jumlah pasien yang sembuh tercatat sebanyak 48.252 orang.

Sampai kemarin virus corona di seluruh dunia mencapai 92.860 kasus dengan korban meninggal 3.162 orang, terbanyak di China.

Masih dari sumber yang sama seperti dikutip Kompas.Com, jumlah pasien yang sembuh mengalami peningkatan cukup signifikan.

Di China, lebih dari 50 persen pasien virus corona sembuh.

Dari total 80.151 kasus di negeri Tirai Bambu itu, 47.270 di antaranya sudah sembuh.

Adapun jumlah terbesar pasien yang sembuh terletak di Provinsi Hubei yakni sebanyak 36.167 orang.

Hubei merupakan tempat pertama kali corona bercamuk.

Menyusul di urutan kedua provinsi Henan dan Guangdong dengan masing-masing pasien sembuh berjumlah 1.225 serta 1.084 orang.

Kantor berita Associated Press, Selasa 3 Maret 2020 mewartakan, jumlah kasus baru di China terus menurun yakni hanya sebanyak 202 orang.

Hal tersebut merupakan jumlah terendah sejak 21 Januari lalu.

Tingkat kesembuhan 100 persen terjadi di beberapa negara, yaitu Vietnam, Kamboja, Oman dan Sri Lanka.

Di Vietnam tercatat 16 pasien yang terkonfirmasi positif covid-19.

Kemudian di Kamboja, Oman dan Sri Lanka, masing-masing jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak satu kasus.

Seluruh pasien di tiga negara tersebut sembuh dan pulang ke rumah dengan senyum bahagia.

Coronavius memang menakutkan tapi serentak pula si virus itu menumbuhkan optimisme, merajut solidaritas, menyadarkan.

Betapa manusia tidak bisa hidup sendirian. Egoistis.

Sepasang pria dan wanita paruh baya, entah siapa, membagi-bagikan masker di sebuah perempatan jalan di Kota Denpasar.

Di tengah kekosongan masker karena diborong kaum cemas dan serakah, di tengah kasus penimbunan, masih ada orang samaria.

Selalu ada manusia berhati mulia di tengah sengkarut kemelut.

Aih jadi malu, kira-kira apa yang bisa kubuat dalam riuh-rendahnya virus corona sekarang?

Mungkin tengok tetangga yang kena demam berdarah atau sakit paru-paru, ODHA, ODGJ, kanker atau penyakit sosial lainnya.

Mereka pun tak kalah galau dibandingkan penderita covid-19 dan keluarganya.

Mereka butuh bahu untuk sekadar bersandar, sekilas tatapan atau salam sapa, hai saudaraku …kamu tidak sendirian. (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes