PANITIA pembangunan sebuah rumah ibadah sungguh dibikin repot. Batu bata, pasir, besi dan semen sudah tersedia. Demikian pula dengan seng, kosen pintu dan jendela. Dana cadangan pun sudah siap. Panitia tinggal mencari tukang untuk merampungkan rumah ibadah tersebut.
Selain mengumumkan lewat mimbar rumah ibadah saat kebaktian dan iklan lewat radio, anggota panitia juga mendatangi para tukang yang mereka kenal. Apa daya. Dari limabelas orang tukang yang dibutuhkan, yang mendaftarkan diri hanya tiga orang. Dengan tiga tenaga tukang, mustahil pembangunan rumah ibadah itu selesai tepat waktu. Rencana mulia tertunda.
Panitia menelusuri lebih jauh mengapa jumlah tukang yang mendaftar sangat minim. Padahal upah untuk mereka sesuai standar yang berlaku umum. Panitia kemudian mendapat jawaban mengejutkan. Sebagian besar tukang sudah mendapat order pekerjaan proyek fisik pemerintah dan perorangan. "Saat begini baru orang menyadari betapa pentingnya seorang tukang," kata arsitek rumah ibadah tersebut. Dia tergolong arsitek terkemuka di beranda Flobamora.
Tak mudah mendapatkan tukang rupanya bukan masalah NTT saja. Seorang teman asal Manado mengisahkan pengalaman serupa. Saat membangun gedung kantor surat kabar dan percetakan di ibu kota Propinsi Sulawesi Utara tersebut tahun lalu, pekerjaan sempat terbengkelai gara-gara kesulitan tukang di Manado.
Demi memenuhi target waktu, mereka mendatangkan para tukang dari Propinsi Jawa Timur. Meskipun menambah ongkos, keputusan tersebut harus diambil agar pembangunan kantor sesuai rencana perusahaan. Para tukang asal Jawa Timur diterbangkan dengan pesawat ke Manado. Mereka bekerja fulltime selama tiga bulan hingga gedung selesai.
Contoh lain, pemerintah dan pengusaha Malaysia pernah kelimpungan pada tahun 2007-2008 saat negeri itu mengusir secara paksa ratusan ribu TKI ilegal asal Indonesia. Selain bekerja di perkebunan atau rumah tangga, TKI asal Indonesia umumnya bekerja sebagai tukang. Saat mereka pulang ke Indonesia, pembangunan properti di Malaysia terbengkalai. Mereka mau mendatangkan Tenaga Kerja asal Filipina, tetapi upahnya jauh lebih mahal ketimbang TKI. Masalah ini menjadi laporan utama media massa di negeri itu. Pengusaha setempat menjerit lalu mendesak pemerintah Malaysia agar sedikit "melonggarkan" aturan bagi TKI.
Begitulah cerita remeh-temeh tentang tukang. Beta yakin tuan dan puan pernah mengalami kesulitan mencari tukang, entah untuk membangun rumah tinggal, kantor, tempat usaha atau bangunan lainnya. Tuan harus jauh-jauh hari menghubungi seorang tukang agar dia dapat mengerjakan pesanan tuan sesuai rencana. Cukup sering tuan mesti antre menunggu karena banyaknya order si tukang.
Tukang adalah profesi yang tak pernah masuk daftar utama cita-cita anak Indonesia. Juga putra-putri Flobamora. Sama seperti nihilnya cita-cita menjadi petani, nelayan, loper koran, penjual bakso dan atau penjual sayur di pasar. Tukang adalah profesi yang malu dimasukkan orang di dalam kolom kartu tanda penduduk (KTP).
Cara berpikir kebanyakan dari kita masih sama dan sebangun. Spirit gantungkan cita-citamu setinggi langit dimengerti sebagai cita-cita menjadi pilot, dokter, polisi, tentara, PNS, anggota DPR, gubernur, bupati, walikota, presiden. Gantungkan cita-cita setinggi langit dimaknai sekadar pekerjaan atau profesi yang dianggap "bersih". Bukan menjadi tukang kayu dan batu.
Beta ingat kata-kata bijak. Sebuah kota dibangun oleh para tukang, bukan dokter, bukan pilot. Bukan polisi atau tentara. Tukang menyumbang kontribusi besar terhadap peradaban manusia yang gilang-gemilang lewat berbagai wujud bangunan terkenal.
Ketika orang mengagung-agungkan Tembok Cina, Borobudur, Taj Mahal, Monas, Menara Eiffel bahkan kini Burj Dubai sebagai bangunan tertinggi di dunia, orang melupakan tukang yang telah menyusun batu, pasir, semen dan baja untuk kemegahan itu.
Jejak dunia adalah jejak para tukang. Itulah yang banyak orang lupa. Dunia hanya mengenang arsiteknya atau penguasa yang memerintah saat bangunan itu didirikan.
Jadi, tak ada salahnya mendorong putra-putri Flobamora menekuni pekerjaan tukang. Coba lihat sekitar tuan dan puan, siapakah tukang las, siapakah tukang mebeler, tukang fermak (baca: rombak) kursi sofa dan lain-lain. Mereka bisa hidup makmur dan sejahtera sebagai tukang.
Barangkali kita perlu belajar dari Om Lipus, tetanggaku asal Kefamenanu, Timor Tengah Utara (TTU) yang berprofesi sebagai tukang. Seperti umumnya anak TTU yang bekerja sebagai tukang, dia sangat bangga dan mencintai pekerjaannya. "Beta sewa anak kuliah karena tukang. Bisa bangun rumah tembok karena tukang. Beta bisa hidup karena tukang," begitu kata-kata Om Lipus. Bangga dan mencintai profesi apa pun yang kita jalani. Kiranya itu pelajaran dari Om Lipus. Terima kasih para tukang sedunia. (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang Senin, 11 Januari 2010 halaman 1