Selamat Jalan, Pak Frans Seda!

Oleh Frans M Parera

Pernah dalam sebuah seminar di Hotel Mulia, Frans Seda membandingkan dirinya dengan Sutami yang bersama Bung Karno membangun jembatan Semanggi di Jakarta. Sutami orang Jawa, dia orang Flores. Usia Sutami pendek, badan kurus seperti kurang gizi. Sementara Frans Seda bisa berusia lanjut, badan tidak kurus dan menjadi cerdas karena sejak kecil selain minum susu ibu juga makan ulat bambu yang tumbuh subur di Flores.

Tokoh yang baru saja meninggal dunia pada usia 83 tahun (1926-2009) ini memang berasal dari Indonesia timur, tepatnya dari Pulau Flores, Provinsi NTT. Lahir di desa terpencil Lekebai, Kabupaten Sikka, Flores, pada masa Hindia Belanda dari keluarga pemuka setempat; bapaknya seorang guru. Belajar di Sekolah Guru Tomohon, Manado; pamannya seorang kapitan (camat sekarang), mereka tinggal di rumah beratap sirap bambu dan seng di tengah perkampungan beratap alang-alang atau daun kelapa.

Tak heran jika di dinding ruang tengah tergantung sebuah lukisan berukuran besar Danau Kelimutu di Lio-Ende, tempat kelahiran Frans Seda. Istrinya, Johanna Maria Pattinaja, berasal dari keluarga Manado, Maluku, dan Belanda, tetapi dikenal sebagai kolektor kain-kain tenun NTT.

Sejak Frans Seda meninggal sampai dikuburkan secara kenegaraan hari ini di pekuburan San Diego Hills, Karawang, begitu banyak perhatian dan minat publik terarah pada tokoh nasional ini. Para pelayat berdatangan ke rumah duka di kawasan Pondok Indah. Karangan bunga dari segala relasinya memenuhi halaman rumahnya sampai sepanjang jalan.

Memukau Bung Karno

Pembicaraan tentang dirinya, karyanya, prestasinya, serta jasa- jasanya kepada bangsa dan negara meramaikan suasana duka. Sosok ini merajut sebuah collective memory sebagai tokoh tiga zaman. Mulai masa pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, sampai NKRI berdiri selama lebih dari enam puluh empat tahun usianya. Biografinya memasuki gerbang collective memory sejarah kemanusiaan, masyarakat, bangsa Indonesia, diawali dengan sebuah peristiwa kecil di sekolahnya, yang setingkat SMP di Ndao Ende.

Peristiwa penting itu terjadi sekitar 75 tahun lampau di lingkungan sekolah Katolik tempat dia belajar di Ndao. Pada waktu itu Bung Karno dibuang dari Sukamiskin, Bandung, ke Ende dan ditempatkan di lingkungan kauman Ende, komunitas kecil beragama Islam. Polisi rahasia menyebarkan isu kepada kalangan gereja Katolik di Flores bahwa tokoh yang dibuang itu seorang komunis-marxis. Mereka tahu bahwa musuh utama gereja Katolik sedunia pada tahun tiga puluhan adalah partai komunis internasional dengan misi propaganda ateismenya. Gereja Katolik adalah lembaga politik antikomunis terutama sejak revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917.

Bung Karno dikaitkan sebagai anggota aliran komunis dan ateis. Ketika Bung Karno menyampaikan keinginannya mau mengunjungi SMP Ndao, pemimpin sekolah pada dasarnya menolak kedatangan Bung Karno. Namun, Bung Karno menunjukkan sikapnya dengan sungguh-sungguh mau mengunjungi sekolah Katolik itu, maka kepala sekolah mempersiapkan kedatangan tokoh pergerakan politik itu dengan mengemas acara penerimaan yang sederhana. Seorang murid yang sudah pandai berbahasa Belanda diminta mempersiapkan diri berpidato dalam bahasa Belanda menerima kunjungan Bung Karno yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Bung Karno terkesan dengan penampilan seorang anak kecil tetapi cerdas, anggota keluarga kapitan perbatasan Lio dan Sikka/Maumere, Lekebai. Bocah itu bernama Frans Seda.

Sekitar sepuluh tahun kemudian ketika Frans Seda ikut berjuang sebagai Tentara Pelajar di Yogyakarta dan Jakarta mendapat kesempatan bertemu dengan Presiden Soekarno di Yogyakarta. Frans Seda memperkenalkan dirinya dari Flores. Memori Bung Karno dibuka kembali dengan kisah kunjungannya ke Ndao. Nasib Frans Seda berubah karena perkenalan dengan Bung Karno di Yogyakarta dan selanjutnya di Jakarta. Pak Frans Seda menjadi menteri kepercayaan Bung Karno; sahabat dekat Bung Karno dengan keluarga besarnya sampai sekarang.

Kini beberapa pihak sedang memperjuangkan agar Ende menjadi heritage, di mana Bung Karno memikirkan persatuan suku-suku di Indonesia untuk menjadi sebuah bangsa, bangsa Indonesia. Pancasila lahir di kota itu. Pancasila menjadi abadi juga di kota itu karena Bung Karno empat tahun hadir dan berada di tengah denyut dinamika orang Flores.

Bila di Jawa Uskup Soegijopramoto mengambil sikap cepat mendukung perjuangan para pendiri NKRI, maka berbeda sekali sikap uskup-uskup di Indonesia timur yang antikomunis. Biarpun Vatikan merupakan salah satu negara yang mengakui eksistensi NKRI, gereja Katolik Indonesia timur tidak demikian cepat bersimpati dengan NKRI karena adanya PKI sebagai partai resmi NKRI pada waktu itu.

Komunis harus dihadapi dengan gerakan kesejahteraan rakyat yang merata, maka uskup-uskup Flores mengirim anak-anak muda Flores belajar segala macam ilmu di Belanda. Frans Seda disuruh belajar ilmu ekonomi pembangunan, ekonomi kerakyatan.

Pahlawan keuangan RI

Peranan nasional Frans Seda meningkat ketika IJ Kasimo surut dari permainan politik istana bersama Natsir dari Masyumi, mereka menolak kehadiran partai komunis dalam kabinet Presiden Soekarno. Dengan dukungan Angkatan Darat yang antikomunis, Frans Seda diterima dalam lingkungan kabinet era Bung Karno, mulai dari menteri perkebunan dan pertanian, melanjutkan kebijakan pertanian yang dirintis dalam Kasimo Plan.

Para menteri yang menjadi tim pembantu presiden baik era Bung Karno maupun era Soeharto mengenang Frans Seda, diberitakan secara luas di media masa pada tahun enam puluhan ketika dia menjabat sebagai menteri keuangan. Dia dipercayai oleh Soeharto pada awal masa kepresidenannya. Menteri Emil Salim yang amat mengenalnya sampai memberi gelar kepada Frans Seda Pahlawan Keuangan Indonesia. Ini dinyatakan Emil Salim di Unika Atma Jaya, Jakarta, ketika menghormati 80 Tahun Usia Frans Seda,

Lalu mengapa Frans Seda begitu singkat masanya menjadi menteri keuangan pertama Orde Baru? Penyebabnya adalah perbedaan tradisi transparansi dan kontrol yang dipelajari Frans Seda di Belanda tidak klop dengan tradisi rahasia militer rezim Orde Baru. Naskah akademis Undang- Undang Keuangan Negara yang disiapkan Frans Seda dan anggota staf Departemen Keuangan ditolak oleh kalangan militer. Mereka menolak maksud baik Frans Seda untuk menyehatkan keuangan negara miskin karena mismanajemen hampir di segala bidang.

Di pengujung tahun 2009, ketika Indonesia sebagai sebuah sekolah raksasa diguncangkan oleh kehebohan dalam bagian administrasi keuangan, meninggal dua guru inspiratif, guru bangsa yakni Gus Dur dan Frans Seda. Mereka mempunyai kesamaan dan kemiripan membangun kembali moral sekolah ini dengan konsep moral force baru, yakni moralitas dibangun dari agama, intelektualitas/rasionalitas dan keuangan (kapital) untuk kesejahteraan umum karena dibedakan dengan tegas milik publik dan milik sendiri.

Akhirnya sesudah bergumul dengan berbagai komplikasi penyakit selama beberapa waktu, Frans Seda meninggal dunia di rumahnya di Pondok Indah pada tanggal 31 Desember 2009 pukul 05.00. Berita meninggalnya tokoh nasional ini tersebar cepat di tengah perhatian publik terarah pada proses penguburan jenazah Gus Dur di Jombang. Banyak pelayat datang menjenguk dan mendoakan arwahnya.

Telah pergi seorang manusia yang telah mengisi kehidupannya sebagai the man of values. Bagaimana publik memberikan penghormatan pada tokoh yang baru meninggal ini, sudah memperlihatkan memori kolektif di mana tokoh ini sudah berperan aktif dan mewariskan hal-hal permanen di tengah masyarakat. Selamat jalan, Pak Frans Seda! RIP!

Sumber: Kompas, 2 Januari 2010
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes