Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam prosesi pemakaman Gus Dur menyatakan bahwa almarhum adalah Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme. Sultan Hamengku Buwono X juga menyebut Gus Dur sebagai pejuang pluralisme, Kamis (31/12).
Kematian Gus Dur sungguh mengejutkan seluruh pihak. Doa senantiasa menggema di jagat republik ini, termasuk dalam pesta malam Tahun Baru yang lalu. Penulis sangat terharu ketika melihat langsung ratusan ribu warga menyambut kedatangan jenazah almarhum di pesarean Pesantren Tebuireng. Mereka melambaikan tangan sembari melafadzkan pujian kepada Tuhan dan Muhammad SAW, sebagaimana lazimnya dalam tradisi NU.
Salah satu jasa besar Gus Dur adalah mengukuhkan panji-panji pluralisme. Sebab itu, pernyataan Gus Dur sebagai bapak dan pejuang pluralisme merupakan sebuah realitas yang tidak terbantahkan lagi. Meskipun demikian, pernyataan tersebut meninggalkan dua hal: harapan dan tantangan.
Harapan, karena pluralisme masih menjadi laku sosial-politik. Mereka yang mendukung tegaknya kebinekaan merupakan kelompok mayoritas. Sebaliknya, mereka yang menolak pluralisme adalah kelompok kecil yang kadang kala suara mereka lantang di permukaan. Meskipun suara mereka lantang, tetapi kehendak publik pada pluralisme tidak akan mampu ditundukkan oleh ambisi dan tendensi mereka.
Gus Dur berada di barisan garda depan untuk memperkuat pluralisme di republik ini. Istimewanya, pluralisme yang dikembangkan Gus Dur tidak hanya pada tataran pemikiran, melainkan menjadi sebuah tindakan sosial-politik. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Gus Dur secara eksplisit menjadikan kebangsaan sebagai pijakan utamanya. Padahal, partai tersebut didukung sepenuhnya oleh basis kalangan Muslim tradisional. Gus Dur telah mampu menggabungkan antara pemikiran dan tindakan pluralisme.
Gus Dur juga memperlakukan kelompok-kelompok minoritas, terutama mereka yang tertindas, sebagai warga negara yang mempunyai hak sama di depan hukum. Tatkala menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur juga memulihkan hak politik etnis Tionghoa. Gus Dur selalu menegaskan bahwa kelompok minoritas mempunyai hak sipil-politik ataupun hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sama dengan hak-hak kelompok ”pribumi”. Eksistensi mereka dilindungi oleh konstitusi. Dalam hal ini, pemikiran tentang pluralisme sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan makin memperkukuh. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan.
Tantangan
Meskipun demikian, harus diakui bahwa pluralisme masih menghadapi tantangan yang serius, terutama pasca-fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme. Beberapa hari lalu, dalam sebuah khotbah Jumat di salah satu masjid di Ciputat, penulis masih mendengarkan seorang khatib yang mengutip fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme.
Fatwa semacam ini merupakan tantangan serius dalam membangun harmoni dan kebersamaan. Karena seolah-olah ketika berhubungan dengan kelompok lain yang berbeda, maka dianggap akan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Padahal, dialog dan perjumpaan justru dapat menjadi kekuatan dan potensi, terutama dalam konteks kebangsaan.
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.
Pluralisme makin mendapat tantangan karena tindakan intoleransi sepanjang tahun 2009 masih menjadi momok yang menakutkan. Setidaknya, menurut pemantauan Moderate Muslim Society, ada sekitar 59 tindakan intoleransi. Puncaknya adalah aksi terorisme yang membuktikan bahwa ekstremisme dengan mengatasnamakan paham keagamaan tertentu masih mengemuka. Pelaku dan jaringannya berhasil ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi paham dan habitatnya masih terus berkembang.
Fatwa keagamaan berupa penyesatan dan pengharaman terhadap kelompok minoritas dalam intra-agama sepanjang tahun 2009 juga menjadi tantangan serius. Fatwa tersebut dapat digunakan untuk melakukan tindakan hukum yang dapat dianggap sebagai diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas. Fatwa tersebut kerap kali dijadikan sebagai landasan untuk melarang kegiatan dan memejahijaukan mereka dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. Di samping itu, kelompok minoritas harus mendapatkan perlakukan tidak manusiawi oleh sekelompok masyarakat yang tidak beridentitas, baik penyerangan maupun pengusiran.
Oleh sebab itu, Pew Forum on Religion and Public Life (2009) dalam rilisnya tentang indeks diskriminasi yang dilakukan pemerintah, Indonesia termasuk negara dalam kategori high dan very high karena masih ada undang-undang dan hukum yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan tindakan intoleran, baik berupa restriksi, dehumanisasi, dan opresi. Bahkan, diskriminasi yang terjadi di republik ini menyerupai Pakistan dan Afganistan.
Dalam hal ini, menghidupkan dan mengembangkan kembali pemikiran Gus Dur menjadi sangat relevan. Di antaranya diperlukan pandangan keagamaan yang berorientasi kebangsaan, yang dapat melindungi seluruh warga negara, apa pun agama, keyakinan, kelompok, ras, dan sukunya. Dalam buku Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, Gus Dur menegaskan bahwa umat Islam Indonesia harus mengembangkan pandangan keislaman yang berorientasi kebangsaan. Salah satu pesan yang kuat dalam Al Quran adalah bahwa Muhammad SAW diutus oleh Tuhan untuk membangun persaudaraan bagi seluruh umat (QS al-Anbiya [21]: 107).
Istilah tersebut menjadi salah satu prinsip yang menonjol di lingkungan Nahdlatul Ulama, yaitu Islam Rahmatan lil ’alamien. Islam menyebarkan ajaran tentang perdamaian dan toleransi, bukan ajaran yang menebarkan konflik, apalagi kekerasan. Gus Dur senantiasa menyatakan bahwa keberislaman yang berkembang di Tanah Air berbeda dengan keberislaman yang berkembang di Arab Saudi. Interaksi kebudayaan di antara berbagai kelompok di Tanah Air telah menjadikan Islam sebagai agama yang terbuka terhadap perbedaan dan keragaman, bahkan mendorong demokratisasi.
Oleh karena itulah, dalam rangka memberikan penghormatan terhadap Gus Dur sebagaimana dilakukan oleh Presiden Yudhoyono, akan sangat baik apabila MUI menarik kembali fatwa pengharaman terhadap pluralisme. Dan, hal tersebut sama sekali tidak mengurangi wibawa MUI. Tradisi penangguhan dan koreksi fatwa dilakukan oleh ulama terdahulu, sebagaimana dilakukan oleh Imam Syafi’i dengan diktum pendapat lama (qaul qadim) selama masih di Irak dan pendapat baru (qaul jadid) ketika menetap di Mesir.
Tentu, pada masa mendatang, kehidupan berbangsa dan bernegara yang relatif toleran dan harmonis ini harus didukung oleh kebijakan publik dan pandangan keagamaan yang secara sungguh-sungguh dapat memperkuat kebinekaan. Itulah sesungguhnya yang menjadikan Gus Dur sebagai pendekar pluralisme di republik ini. Zuhairi Misrawi, Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate Muslim Society.
Sumber: Kompas, 4 Januari 2010