"MANUSIA yang bikin saya jengkel adalah bendahara gaji," kata Dorus dengan mimik serius saat kami `makan sore' di Wae Lengga, perbatasan antara Kabupaten Manggarai Timur dan Ngada pekan lalu. Jarum jam menunjukkan pukul 15.43 wita ketika kami menikmati menu masakan Padang di Wae Lengga yang diguyur gerimis sore itu.
Beta berkenalan dengan Dorus di dalam mobil Avansa plat kuning sejak meninggalkan Kota Ruteng. Di Pulau Flores, mobil plat kuning seperti itu populer disapa trevel (mungkin untuk membedakan dengan bus umum yang sudah lama dikenal). Di dalam mobil dengan tujuh kursi penumpang, hanya kami berdua penumpang dasar Ruteng-Ende. Lima kursi lain diisi bergantian oleh penumpang jalan. Ada yang naik dari Borong tujuan Aimere. Dari Aimere tujuan Bajawa dan terakhir dari Watujaji-Bajawa tujuan Nangapanda-Ende.
Penumpang dasar dan penumpang jalan adalah istilah khas para sopir angkutan umum di Flores. Dasar artinya penumpang sesuai trayek. "Kalau semua penumpang dasar, itu baru telak, Om," kata Roy, sopir Avansa yang kami tumpangi dengan logat Bajawa yang kental. Ternyata diksi telak mencerminkan kabar gembira bagi sopir di sana lantaran pendapatan mereka sesuai patokan majikan.
Kita kembali ke Dorus yang kesal dengan bendahara tadi. Dorus pegawai negeri golongan II. Sehari-hari mengabdi sebagai penyuluh di pedalaman. "Saya pegawai kampung, sama dengan guru SD terpencil dan bidan desa," katanya sambil terkekeh. Saban bulan Dorus wajib ke kota untuk terima gaji dari bendahara demi menyambung hidupnya selama sebulan
Kenapa jengkel? Meluncurlah kisah tentang perilaku bendahara dari mulut pria setengah baya itu. Menurut dia, ada dua tipe bendahara gaji. Bendahara lurus dan licik. Sebagai pegawai negeri yang telah mengabdi lebih dari 15 tahun, Dorus telah merasakan pelayanan dari kedua tipe bendahara tersebut. "Sekarang lagi sial, kami berurusan dengan bendahara licik," katanya.
Mobil bergerak meninggalkan Wae Lengga. Dorus melanjutkan kisahnya. Bendahara licik adalah bendahara mata duitan. Bendahara yang mengharapkan uang terima kasih. Tanpa uang terima kasih, urusan bayar gaji jadi rumit. Si bendahara pura-pura sibuk. Pegawai dari pedalaman mesti lama menunggu. Bisa seharian bahkan harus bermalam di kota. "Itu rahasia umum. Beberapa teman pegawai terpaksa menyelipkan satu dua lembar uang lima ribuan agar pembayaran gaji lancar. Mereka anggap itu lumrah. Saya tidak! Mungkin karena itu saya sering dipersulit," kata Dorus.
Selain butuh imbalan, bendahara licik punya motif cerdik. Ini berkaitan dengan ketersediaan doi lo'o (baca: uang kecil atau uang recehan). Misalnya gaji Dorus bulan Januari 2010 - setelah dikurangi potongan ini itu -- sebesar Rp 1.250.350. Syukur kalau bendahara punya uang receh. Lazimnya bendahara licik beralasan tidak punya uang kecil, sehingga yang dibayarkan kepada Dorus hanya uang pas Rp 1.250.000. Sisa Rp 350 masuk kantong bendahara sendiri.
"Bayangkan 50 pegawai diperlakukan seperti itu. Orang anggap remeh dengan pecahan uang kecil. Kalau dikumpul jadi banyak to Pak? Teman-teman bilang saya manusia pelit. Ini bukan soal pelit atau murah hati. Bendahara digaji negara untuk bayar gaji. Kenapa dia bikin macam-macam lagi?" tutur Dorus.
Avansa merangkak pelan. Meliuk-liuk di punggung bukit Kajuala yang berkabut tebal dengan jarak pandang hanya empat meter. Beta dapat kuliah kehidupan dari Dorus. Pegawai kecil dari pedalaman kerap diperlakukan kurang adil. Ironis, mengingat banyak pegawai negeri enggan mengabdi di dusun. Kalaupun mau, pengabdiannya setengah hati. Juga tentang oknum bendahara berperilaku purba. Tega 'mengkadali' sesama pegawai. Tuan dan puan mungkin pernah mengalami pengalaman serupa. Cuma tak peduli perilaku koruptif kelas teri semacam ini.
Mobil melintasi Mangulewa, kampung halaman Ros Woso, salah seorang wartawati senior Pos Kupang. Kisah bendahara dari mulut Dorus belum usai. Kali ini tentang bendahara lurus. "Bendahara lurus banyak. Saya kagumi mereka," ujarnya.
Mereka tak pernah minta imbalan. Uang kecil pun bukan alasan untuk menipu. Toh bank selalu menyiapkan uang nominal kecil hingga tertinggi. Koin Prita yang terkumpul hingga Rp 800 juta merupakan bukti betapa uang kecil tak mungkin habis stoknya. "Bendahara lurus membayar gaji kami dalam amplop tertutup. Uang yang kami terima utuh, sesuai dengan slip rincian gaji. Ada uang kecil lima puluh dan seratus rupiah. Pokoknya persis seperti angka dalam dalam slip," kata Dorus. Pengertian bendahara lurus bagi Dorus kira-kira begitu.
Darimana bendahara mendapatkan uang receh? Bukankah hal itu tak mudah? "Jangan salah, Pak. Bendahara lurus punya trik tersendiri. Dalam lacinya selalu tersedia uang kecil. Selain dari bank, uang kecil dia tukar di pom bensin (SPBU) atau pemilik toko dan kios kenalan. Bisa juga dari penjual sayur," kata Dorus. Beta termangu. Si Dorus paham betul lika-liku kerja bendahara.
Sontak terkenang Bapak Aloysius, pensiunan sebuah BUMN di Kupang. Selama 29 tahun jadi pegawai BUMN, Bapak Alo dipercaya sebagai bendahara. Apakah dia kaya? Punya rumah mewah? Tidak! Bapak Alo sungguh hidup dari gajinya saja.Kiranya banyak bendahara seperti Bapak Alo. Mereka bekerja dengan jujur.
Masih ada lagi tipe bendahara. Sikapnya plin plan, seperti kerbau dicocok hidungnya. Ikut saja perintah pimpinan meski dia tahu perintah itu salah alias melawan hukum. Pengalaman seorang teman anggota polisi berikut ini mungkin bisa menjadi contoh. Saat bertugas mengamankan jalannya pilkada suatu daerah di beranda Flobamora, mereka dapat honor pengamanan (Pam Pilkada) Rp 1 juta per orang. Tiba waktu pembayaran, bendahara menyodorkan kwitansi yang wajib ditandatangani. Tanda tangan kwitansi Rp 1 juta tapi yang diterima cuma Rp 750 ribu. "Kata bendahara, Rp 250 ribu dipotong untuk jatah bos-bos. Kita maklumi saja. Mau protes bisa bahaya. Hehehe," kata teman polisi itu.
Demikianlah tuan dan puan. Banyak bendahara masuk penjara karena ikut perintah secara membabi buta. Tiba di tikungan berbahaya, bendahara macam itu mudah ditumbalkan. Jadi korban kerapuhan prinsip kerja melanggar aturan dan terutama menipu hati nurani. Orang sering lupa para koruptor bergentayangan di mana-mana. Dan, koruptor itu bisa siapa saja. Tapi orang baru buka mata jika melihat uang yang dikorupsi dalam jumlah besar. Uang kecil dianggap biasa.
Maka waspadalah selalu dalam kemampuan kita yang rapuh ini. Ingatlah akan praktik korupsi yang telanjang terpajang di ruang publik. Hari-hari ini tuan dan puan melihat orang besar masuk penjara. Menatap orang yang dulu kuat kuasa tak berdaya digelandang ke lapas. Siapa yang memasukkan tuan ke dalam penjara? Ya, tuan dan puan sendiri. Sudahlah bos. Jalani saja! (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang, Senin 18 Januari 2010 halaman 1